共有

Bab 5

作者: Evie Yuzuma
last update 最終更新日: 2022-11-08 12:12:01

Aku hanya diam, pastinya mereka mengira aku adalah orang yang paling tak punya uang di sini. Namun aku tetap memperhatikan, termasuk raut wajah Dewi yang tiba-tiba memucat. Aku hanya tersenyum di dalam dada. Setahuku, honor dari seorang pemeran figuran memang tak besar. Namun, siapa tahu Dewi punya tabungan dan benar-benar mau menolong Renata. Aku lihat kesungguhan memang terlintas pada wajahnya. 

Setahuku, pemearn figuran bahkan ada yang hanya dibayar ratusan ribu per hari, ada juga yang bahkan hanya puluhan ribu rupiah. Itulah yang kutahu dari artikel yang aku baca dan melihat wajah Dewi yang tiba-tiba pias, aku semakin yakin jika dia mungkin tak jauh dari rate para pemeran figuran tersebut. Namun, mari kita lihat apa yang akan dia jawab pada Renata. Semoga saja, Dewi beneran punya uang. 

Kami semua menunggu jawaban Dewi ketika tiba-tiba dia mengangkat telepon. Padahal tak kudengar gawainya itu bergetar. 

“Hallo, Sir! Hmmm, yes of right!” 

Dengan menggunakan bahasa inggris dia menerima panggilan itu dan berdiri dengan elegan, lalu dia mengisyaratkan pada kami dengan bahasa tubuhnya kalau minta maaf harus menjauh. Renata pun mengangguk dengan senyuman pasrah. 

“Itu yang telepon Dewi kayaknya kenalannya yang bule Amerika itu kali, ya?” Mirna memulai bahasan seperginya Dewi dari tempat kami berada. 

“Pacarnya?” tanya Harum spontan. 

“Bukan, tapi kayaknya dia tertarik buat ngajak syuting film hollywood, deh!” Salsa menimpali. 

“Wawwww, keren banget, sih!” Tika pun yang sejak tadi lebih banyak diam bersama Nina dan Nenti turut excited. 

“Iya keren banget dia. Hidupnya beruntung banget tahu gak sih? Padahal dulu di sekolah prestasi dia biasa saja, rupanya di luaran justru malah dia yang bisa sukses,” tukas Mirna. 

Lagi-lagi matanya melirik ke arahku. Aku, lebih memilih tak menanggapi. Diam adalah lebih baik dari pada bersitegang dengannya.

“Jadi bisa lah ya dia beli minimarket aku, Mir?” Renata menatap Mirna dengan tatap penuh harap. 

“Coba saja kamu tawarin ke Ayu, Re!” Tanpa kusangka, Harum---sahabatku yang kadang mulutnya ember ini nyeletuk. 

Seketika Renata, Mirna dan Salsa menoleh ke arahku yang duduk di dekat Harum. Namun, beberapa detik kemudian, Mirna dan Salsa tergelak seraya meneliti penampilanku dari atas ke bawah. 

“Rum, lo tuh kalau mau pergi ke tempat acara, bangun dulu, woy! Jadi gak ngelindur! Harga minimarket Renata itu li-ma ra-tus ju-ta! Ratus loh, Rum bukan ribu! Ayu saja kerja hanya guru TK, honorer pula. Semua orang juga tahu lah pasaran gaji honorer berapa.” Salsa memegangi perut sambil terpingkal-pingkal.

“Iya loh, Rum! Kamu jangan permalukan Ayu. Tetangga aku saja guru TK, mau beli baju seratus ribu saja ngitung berulang kali, apalagi ini lima ratus juta,” kikik Mirna ikut mendukung tawa Salsa.

Gak ada yang lucu padahal. Aku pun tak melihat ada kelucuan apapun di sana. Namun, kubiarkan saja biar Salsa puas. Sebentar lagi mungkin akan mengadu pada Dewi yang tak kunjung kembali. Entah bicara dengan siapa atau hanya alibi karena tak punya uang. 

“Jangan ngejudge apa-apa dari kover, Mir, Sa! Bisa jadi kover Dewi bling-bling tapi isinya biasa, bisa juga kover Ayu biasa tapi ternyata dia banyak tuh tabungannya!” tukas Harum. 

“Hish, Rum!” Aku mendelik padanya. 

Dia memang tahu jika aku sudah menjadi seorang novelis sejak lima tahun lalu. Pada tahun ketiga aku kuliah kelas karyawan, alhamdulilah ketiban rejeki yang gak disangka-sangka. Tanpa sengaja berkenalan dengan platform kepenulisan online dengan gajian pertama dapat satu setengah juta. Namun dari sana merangkak terus tiap bulan hingga kini tak pernah lagi kurang dari dua puluh juta yang aku dapatkan setiap bulannya bahkan kadang sampai dua kali lipatnya meski jarang, tetapi Harum memang tak tahu kisaran pendapatan bulananku dari menulis, hanya saja dia tahu jika dua novelku dipinang oleh produser dan mendapatkan tawaran yang fantastis juga.  

“Iya loh, Yu! Kalau kamu ada uang, boleh bantu aku sama suami ya, Yu! Dua kali bayar juga gak apa. Aku bener-bener capek terlilit hutang riba. Suami mau ajak aku hijrah, tapi mau lepas dulu utang-utang yang gak ketutup ini dari pemasukkan.” 

Renata menatapku dengan mengiba. Rasanya tak tega, tapi aku betul-betul bingung dan awam dalam investasi. Sudah sering mendengar investasi bodong, aku takut uang yang susah payah kukumpulkan gitu dibawa lari. Namun entah kenapa hatiku terketuk melihat wajah Renata yang memelas begitu. 

“Ahm, tapi itu status bangunannya masih sewa atau sudah milik, Re?”tanyaku. 

Seketika dua bola mata itu berbinar ketika mendengar pertanyaanku. 

“Yang dua tersisa ini sudah milik semua, Yu! Yang statusnya sewa sudah gak ada semua, gak kuat lagi kami bayar sewanya dan akhirnya di handover paksa. Kamu tertarik, Yu?” Renata menatap penuh binar harap padaku. Namun belum sempat aku menjawab, Salsa tiba-tiba menimpali dengan nada sinis.

“Yu, bangun, woyyy!” kekeh Salsa. 

“Duh, kayaknya ada yang panas, Sa! Dari tadi Dewi bahas dulu masalah kesuksesan dia. Eh, tahunya ada yang merasa lebih pantas!”timpal Mirna.

Dewi datang melenggang dengan manisnya seraya memasukkan gawai ke dalam tasnya. Lalu duduk kembali di antara dua sahabatnya itu.

“Duh, maaf tadi ada telepon dari Mr. William! Lupa akutuh kalau ada janji mau ketemuan sore nanti! Kita lagi ada kerja sama untuk investasi bernilai milyaran!” Dewi tersenyum seraya membagi pandang ke arah kami. 

“Wah, banyak ya kamu investasinya, Dew? Hmmm … berarti yang minimarket lima ratus juta punyaku diambil juga, ya, Dew!” Renata menatap penuh harap pada Dewi. 

“Ya ampuuun, Re. Tuh ‘kan akutuh suka gitu. Kebetulan uangnya memang hanya tinggal 5 M di rekening akutuh, tadi lupa aku iyain semua nilai investasinya ke Mr. William! Next time deh, ya, kalau honor aku dari syuting sudah cair lagi! Beneran lupa banget, maaf, ya, Re!” Dewi tampak memasang rasa bersalah. 

Wajah Renata mencelos kecewa. Aku tahu dia sudah berharap banyak dengan Dewi. Entah kenapa, bibir ini langsung menyambar begitu saja.

“Ya sudah, Re! Besok atau lusa aku mau lihat tempatnya dulu, ya!”tukasku pada Renata yang membuat pandangan Dewi membeliak seketika dan menatap ke arahku. Lalu, kembali gelak tawa terdengar dari Salsa dan Mirna seraya menepuk-nepuk pundak Dewi.

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード
コメント (1)
goodnovel comment avatar
Anggiria Dewi
jiwa kebaikan ayu meronta"...
すべてのコメントを表示

最新チャプター

  • DIKIRA MISKIN SAAT REUNI   Session 2 - Bab 73 (end)

    Suara tangisan bayi terdengar nyaring ketika aku dan Bang Zayd baru saja menginjakkan kakinya di rumah sakit. Senyum pada bibirku terkembang sempurna. Akhirnya adik yang kutunggu-tunggu sejak dulu, kini sudah ada. Meskipun, jaraknya teramat jauh. Dia akan menjadi paman kecil putriku. “Tuh, tadi kelamaan wara-wiri, pas datang sudah lahiran!” tukas Bang Zayd. “Ya, kan beli-beli dulu, Bang. Kalau gak aku, siapa? Ibu kan punya anaknya satu saja.” Aku mendelik ke arahnya. Namun baru saja aku mengatupkan bibir. Dari arah berlawanan tampak anak-anak Pak Hakim muncul sambil menenteng paper bag juga. Tak kalah banyak pula dariku. “Hay, Syfa!” “Hay!” Aku melambaikan tangan juga ketika Bang Zayd menyenggol lenganku sambil berbisik, “Kamu gak sendiri, Syfa. Tuh, sekarang ada mereka.”“Iya, Bang. Keknya gegara kemarin makan mie instan, kecerdasanku langsung berkurang.” “Eh, kamu makan mie lagi?” “Duh, keceplosan. Sekali lagi doang, Abang … kan waktu itu malah Abang habisin.” Lalu obrolan i

  • DIKIRA MISKIN SAAT REUNI   Session 2 - Bab 72

    “Oh, ya? Ibu serius?” Aku terkejut senang. Ibu baru saja mengabarkan jika Bapak, Mama Renita dan Mbak Merina datang ke rumah. “Ya seriuslah, Syfa. Ibu juga sampai kaget. Gak nyangka.” Kudengar Ibu menjawab disertai kekehan. Duh senang rasanya mendengar nada bicara Ibu yang riang dan ringan. Hidupnya kini tampak lebih menyenangkan. “Tulus gak tuh minta maafnya? Tumben?” tanyaku lagi. Jujurly, aku tak percaya. Kok semudah itu mereka meminta maaf. Apakah insiden kemarin benar-benar membuatnya tobat? Aku memiringkan kepala untuk menjepit ponsel yang kuletakkan di antara bahu dan telinga. Sementara itu, satu tanganku sibuk mengaduk mie instan. Rasanya aku sudah tak tahan lagi mencium wangi yang menguar ini. Mumpung Bang Zayd gak ada. Akhir-akhir ini, aku berasa di penjara. Bang Zayd protektif banget. Mau ini, gak boleh, itu gak boleh. Padahal dokter juga bilang kalau sesekali gak apa-apa. “Semoga saja tulus, Fa. Alhamdulilah kalau mereka sudah sadar. Mungkin kejadian kemarin yang membu

  • DIKIRA MISKIN SAAT REUNI   Sesion 2 - Bab 71

    Merina duduk tepekur di ruang tengah. Sudah dua hari berlalu dari kejadian memalukan di hotel itu, Merina sama sekali tak mau keluar. Dia terus-terusan mengurung diri di dalam rumah. Mentalnya tak kuat menghadapi ocehan dan cemoohan para tetangga.“Gak nyangka, ya! Ayahnya dokter, tapi anaknya mau-maunya jadi pelakor! Untung gagal nikah, ya!” “Iya, kasihan sekali istri pertamanya. Kemarin katanya pas datang ke acara itu lagi hamil besar, ya? Saya gak dateng kemarin soalnya.” “Iya Mbak e. Ya ampuun. Kita saja kaget dan shock. Apalagi pas tahu, itu duit yang dipake buat pesta, ternyata duit mertuanya si cowok!”“Masa, sih, Mbak? Gila, ya! Bener-bener itu janda bodong. Gak punya hati banget. Pasti dia goda habis-habisan itu cowok biar nempel! Gak nyangka, ya! Si Merina itu padahal anak dokter, ya!”Kalimat-kalimat cemoohan. Baik yang tak sengaja dia dengar, maupun tanpa sengaja dibacanya dari status WA dan sosial media, benar-benar merusak mood Merina. Semua menyalahkannya. Semua menyu

  • DIKIRA MISKIN SAAT REUNI   Session 2 - Bab 70

    “Kami datang, sekalian mau sebar undangan, besan!” Mama Renita berbasa-basi pada Mami Ayu. “Oh, ya? Selamat kalau begitu! Kapan acaranya?” Mami Ayu menatap Mama Renita dengan penuh senyuman. “Semingguan lagi dari hari ini. Besan wajib dateng, ya. Kami merayakannya lebih mewah dari pada yang dulu-dulu.”“Inysa Allah.” Aku hanya mendengarkan obrolan Mama Renita dengan Mami Ayu. Tetiba saja Mama Renita bilang besan, padahal kan yang besanan sama Mami Ayu, cuma Ibu. Kenapa pula dia ikutan ngaku-ngaku. Dia pun sama sekali tak menyapa Ibu, malah sibuk terus dengan Mami Ayu dan keluarganya. Ibu datang menyambut hanya bersalaman saja. Dia terus ngajak ngobrol lagi dengan Mami Ayu dan mengabaikan Ibu, aneh.“Alhamdulilah, calon suaminya sekarang itu dokter. Memang kalau keluarga dokter, coocknya sama dokter,” tukas Mama Renita sambil tertawa sumbang. Kulihat Mami Ayu merangkulnya penuh rasa persahabatan lalu mengajak Mami Renita menjauh. Ah, sayang … padahal aku tengah turut serta mendengar

  • DIKIRA MISKIN SAAT REUNI   Session 2 - Bab 69

    “Aish, gak akan bisa! We!” Aku makin senang menggodanya. Namun, aku yang lengah menubruk tubuh orang lain sehingga akhirnya Bang Zayd yang menang. Tanpa kusangka dia membopongku dan langsung membawa lari menuju cottage. “Siap-siap, Sayang!” bisik Bang Zayd yang membuat aku merinding. Suaranya berebutan dengan desau angin. Senyum pada bibirku mengembang bersama wajah yang terasa memanas. Mungkin sudah merona merah ketika langkah demi langkah akhirnya membawa kami ke cottage. Derit pijakkan lantai kayu terdengar. Bang Zayd membuka pintu dengan sikunya, lalu menjatuhkan tubuh kami sama-sama ke pembaringan. “Masih mau lari?” bisiknya. Sangat dekat sehingga degup jantungku berpacu sangat-sangat cepat. Meskipun bukan pertama kali, tapi berdekatan dengannya selalu seperti ini.*** “Ehm, Asyfa?!”Tangan Bang Zayd menguyel-uyel ujung hidungku, membuat bayangan romantis yang sedang kukenang berhamburan. “Ish, Abang!” Aku mendelik ke arahnya, sebal. Bisa-bisanya dia memanggilku di saat aku s

  • DIKIRA MISKIN SAAT REUNI   Session 2 - Bab 68

    Sebuah surat undangan kudapatkan. Arlia, gadis yang pernah membuatku cemburu pada Bang Zayd itu, ternyata berjodoh dengan Bang Irfan. Aku menggeleng sambil tersenyum sendirian menatap sepasang nama mempelai pada kartu undangan. Arlia dan Irfan. “Kenapa senyum-senyum sendiri, hmm?” “Eh, Abang. Ini … hanya pernah ingat dulu.” Aku menyimpan surat undang yang Bang Zayd bawa. Dia tak menyahut dan berlalu begitu saja, meninggalkanku dari sofa bed yang ada di ruang keluarga dan ngeloyor ke kamar. “Eh, kok kayak gak suka, ya?” Aku mengedik saja, lalu merebahkan tubuh. Syukurlah Bang Zayd ke kamar, jadinya aku bisa bebas tiduran. Tontonan yang tadi dia pindahkan pun, aku kembalikan pada tayangan semula, acara kartun yang sesekali membuatku tertawa. Cukup lama, Bang Zayd tidak kembali. Perlahan aku menguap karena rasa nyaman ini. Lalu tiba-tiba aku berada di suatu tempat yang indah. Aku sedang berada di sebuah kapal pesiar dan menikmati hembusan angin pantai ketika tiba-tiba ada seorang l

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status