[Menantumu sakit, Bu Nur? Sayang sekali. Padahal aku suka cara dia bekerja. Terpaksa aku harus cari karyawan lain,] Suara wanita di rekaman itu terdengar jelas. [Iya, Amira sudah sebulan hanya bisa berbaring saja. Kedua kakinya lumpuh. Kata dokter gejala stroke ringan. Oleh karena ini aku sangat terpukul. Sedih sekali rasanya, sebab kasihan sekali melihat Habib, karena istrinya sakit begini, Habib harus mengurus dirinya sendiri.] [Semoga Amira lekas sembuh, ya. Amiin.] [Amira tidak akan sembuh, Bu Sarah. Dia terserang stroke. Tidak mungkin sembuh lagi. Oleh karena ini aku memilih untuk menyuruh Habib menghalalkan Laila. Aku dan Habib sudah bicara soal ini dan dia setuju. Selanjutnya aku akan membicarakan hal ini pada Amira] "Ya Allah," Amira mengelus dada, lebih tepatnya ia terkesiap. [Apa? Menikahi Laila maksudnya?] [Apalagi kalau bukan? Itu bukan dosa, kenapa kau harus terkejut?]
View MoreYoona"Yoon, kamu cuma berdua saja dengan ibumu? Dari tadi perasaan aku tidak melihat ayahmu," Jordan menatap sekeliling. Hari ini Jordan beserta kedua orang tuanya datang membezuk ibu. Aku senang dia datang. Tapi pertanyaannya membuat hati ini perih. Bukan marah, hanya saja aku sedih mengakui kenyataan kalau di sini memang hanya ada aku dan ibu, tidak ada keluarga lain yang menemani sebagaimana pasien-pasien yang lain. "Ya, ayahku sedang berhalangan, jadi dia tidak bisa datang," Aku menjawab singkat. Sebenarnya aku malu jujur jika sebenarnya Ayahku sedang sibuk mau kawin lagi. Memang terlalu menyedihkan."Oh, begitu," Jordan mengangguk."Sudahlah, tak usah membahas ayahku." Aku bicara berterus terang. Sebab aku memang malas membahasnya. Mendengar kata-kata ayah saja sudah cukup membuatku muak."Baiklah. Hmm... Yoon, ini aku ada uang untukmu," ujarnya."Apaaa? Uang untukku?" Aku terkejut.Aku menatap tangan jordan, di sana terselip beberapa lembar uang merah. "Ya, aku tahu kamu pas
"Tolong percaya padaku Laila! Aku tidak mungkin melakukan yang tidak-tidak sama perempuan itu! Harus berapa kali aku mengatakan jika aku sudah tidak mencintainya lagi?" Tegasku pada Laila."Coba Mas Habib yang berada di posisiku sekarang ini, Apa Mas rela bila aku menemui mantan terus berlama-lama juga,? Apa mas Habib tidak merasakan sakit hati?" Perkataan Laila membuatku tersudut. Aku semakin bingung, bagaimana bisa aku tidak menemui Amira lagi? Sedang di sana ada dokter Albert yang kubenci keberadaannya. Jika aku tidak ke sana, bukankah sama saja denganku memberi peluang besar bagi mereka untuk semakin dekat? Waah ini tidak bisa dibiarkan. Di sampingku, Laila terus merengek-rengek. Aku sampai harus mati-matian dalam membujuknya agar kemarahan itu bisa secepatnya mereda. Aku menderita berada dalam dua masalah ini, tentang Amira dan juga kemarahan Laila. "Kalau begitu aku minta maaf Laila, aku berjanji jika menjenguk Amira, Aku tidak akan berlama-lama lagi." ucapku kemudian."Oooh,
HabibDengan membawa rasa malu yang teramat besar akhirnya aku harus angkat kaki dari rumah sakit tersebut. Akan tetapi di samping rasa malu ini, ada sebuah dugaan yang justru membuatku lebih sedikit lagi.Dokter Albert, Aku curiga pada pria itu. Dia orang asing, akan tetapi mengapa dia yang bersedia membiayai pengobatan istriku? Kuingat-ingat kembali muka dokter Albert yang terlihat mencerminkan pria berpendidikan, lengkap dengan jas dokternya, membuat rasa cemburuku semakin menjadi-jadi. Aku tak ikhlas bila Amira ada hubungan dengan pria tersebut.Memang aku sudah tidak mencintai Amira lagi, tapi bukan berarti aku akan membiarkannya bebas dengan pria lain. Statusnya masih sah sebagai istriku, jadi seharusnya dia bisa mematuhi sebagai seorang yang sudah mempunyai suami. Seharusnya dia jangan bersikap lancang menduai suami. Padahal dia tahu, seorang wanita yang nyata-nyata berkhianat tidak akan mencium wanginya surga. Apa dia tidak takut dengan ancaman Tuhan tersebut? Kalau benar, al
YoonaAku masuk dan tak sabar rasanya ingin memotong bualan ayah. Awalnya aku ingin mengatakan di depan muka ayah jika Dokter Albert lah yang membiayai ibu di sini, biar saja dia malu sendiri dengan ucapannya. Agar dia bisa tahu bagaimana akibatnya bila membual di hadapanku.Tapi mata ibu mengatakan agar aku tak melakukannya. Aku terpaksa menahan diri. Nasehat ibu benar-benar membekas di benakku. Aku menarik nafas perlahan, sekarang akal sehatku mulai berjalan lebih baik, daripada aku terus-terusan menyerang Ayah dengan kata-kata kasar lalu bertengkar, lebih baik sekarang aku lebih mawas diri. Mengurus ibu dengan baik adalah hal yang lebih penting untuk dilakukan daripada berselisih paham dengan ayah. Karena walaupun aku terus menerus mengungkapkan kebencianku padanya, toh ayah akan tetap memilih Laila juga dan akan tetap membenci kami. Hati yang mati menang akan sulit untuk di hidupkan kembali. Dan ketika aku datang, Ayah memang terdiam. Aku tak mengerti mengapa dokter Albert dia
Dan sekarang, masa-masa itu sudah berlalu. Sekarang Amira berbaring di rumah sakit dengan penyakit yang tengah menggerogotinya. Harapannya untuk sembuh begitu besar. Yoona adalah pemicu semangat terbesar dalam hidupnya. Dia harus sembuh, demi Yoona.Batin Ibu dan anak itu memang sungguh terikat satu sama lain. Terutama Yoona, anak tersebut tumbuh dengan cinta yang begitu besar pada ibunya. Cinta yang telah membuatnya berani bertindak durhaka pada ayah sendiri. Semata-mata karena ia tak rela sebab sang ayah sudah bertindak terlalu jauh menyakiti sang ibu. Sedangkan Amira, wanita beranak satu tersebut mempunyai keteguhan sekuat baja. Setelah sebelumnya bersusah payah mengumpulkan uang sedikit demi sedikit demi masa depan sang buah hati, demi keputusan yang sudah ia persiapkan sebelumnya, tapi pada akhirnya uang-uang itu harus dihabiskan untuk biaya berobat sendiri. Kenyataan yang membuat hatinya lebih sakit dibandingkan dengan pengkhianatan suaminya sendiri. Khusus untuk penghianatan
Amira"Bu, aku akan belajar sungguh-sungguh! Nanti kalau sudah besar aku ingin punya bisnis sendiri!" celetuk Yoona tiba-tiba.Dia berkata cukup serius. Terlihat dari raut wajahnya. "Ibu doakan semoga cita-citamu tercapai, Nak."Sebenarnya, perhatianku bukan hanya tertuju pada ucapannya. Tapi raut mukanya lah yang membuatku bertanya-tanya ada apa dengannya?"Ibu akan berusaha agar kamu bisa meraih impianmu,""Aku juga akan berusaha untuk belajar yang baik, Bu. Agar bisa terus mendapatkan beasiswa. Kemarin aku melihat foto wisuda Tante Rissa anaknya Bu Sarah di ponsel temanku. Tante Rissa nampak keren sekali dengan toga-nya. Nanti aku ingin seperti itu juga, Bu."Aku bahagia sekaligus terharu mendengar penuturannya yang menggebu-gebu. Anakku mempunyai mimpi yang besar. Sebagai orang tua aku memiliki keinginan kuat untuk mendukungnya.Sejak aku bekerja pada Bu Sarah, aku selalu menyisihkan uang sedikit demi sedikit. Uang itu kusimpan tanpa sepengetahuan Mas Habib. Aku hanya mengeluarka
"Beruntung sekali kamu, Mir, ditakdirkan mendapatkan suami seperti Habib. Laki-laki penyayang, yang taat juga beribadah," celetuk Bu Rina, salah satu pelanggan Bu Sarah. Aku refleks terkejut dengan penuturan itu.Sore ini aku pulang bersamaan dengan Bu rina yang baru saja memesan kue pada Bu Sarah. Kue-kue itu akan kami buat keesokan harinya. Karena jarak rumah kami dan rumah Bu Sarah tidak terlalu jauh, maka aku biasa pulang dengan jalan kaki."Aku sering kali berpapasan dengan Habib yang sedang menuju pesantren Arrahmah." ujar Bu Rina lagi."Pesantren Arrahmah?" Aku mengulang nama itu. Sejak kapan Mas Habib sering ke sana?"Iya. Suamimu kan setiap bulan memberikan sumbangsih ke sana. Bahkan Pak Haji Hasbullah juga sudah terbilang dekat sana Habib."Aku mengernyitkan dahi."Dari mana Ibu tahu itu, Bu Rin?" tanyaku."Sudah bukan hal aneh lagi, Mir. Sudah lama juga orang-orang pada tahu. Suamimu kan rajin sekali ibadah di masjid milik Arrahmah. Memangnya kamu kemana saja sampai-sampai
"Mbak Mir, ibu minta tolong sama mbak buat bantu-bantu." Elia berujar."Bantu-bantu rumah?""Iya, Mbak.""Maaf, El. Bukannya mbak tidak mau, tapi Mbak sibuk. Kamu saja yang bantu-bantu ibu ya, kan libur sekolah," ucapku.Seketika Elia mendelik."Aku?" ucapnya."Ya, kamu," jawabku."Apa mbak tidak tahu kalau aku belum terbiasa dengan seabrek pekerjaan rumah?" ucapannya seperti kurang suka demgan ucapanku tadi."Makanya harus dibiasakan, El. Kamu sudah cukup besar untuk bisa mengerjakan hal semacam itu. Kamu sudah Kelas dua SMA, sepertinya bukan anak kecil, kan?" Elia semakin tak suka. Tatapan matanya begitu tak bersahabat. "Ibuku saja tidak pernah bicara seperti itu, Mbak! Tapi baiklah, manti aku bilang ibu kalau Mbak tidak mau membantunya," Setelah selesai berbicara demikian, Elia langsung meninggalkanku dengan mulut mencibir. Anak itu memang terlalu dimanja. Aku tidak bisa terus-terusan menuruti keinginan mereka. Selain itu aku juga sibuk. Aku harus pergi ke rumah Bu Sarah. Beker
Aku sedang membereskan dapur sebelum berangkat ke rumah Bu Sarah. Kulihat mas Habib sedang memperhatikanku. Entahlah apa yang dia pikirkan."Mir!" ujarnya."Ya, Mas,""Kenapa sekarang aku lihat kamu semakin kusam saja! Penampilan semakin kucel, apa kamu tidak pernah mandi? Tidak pernah wudhu? Rambutmu juga terlihat sangat kering dan berketombe begitu!" Aku tertawa lirih mendengar perkataannya. Tapi ini bukan tawa bahagia. Ini tawa yang mewakili kesedihan."Apa aku akan jadi cantik dan glowing hanya dengan mandi dan wudhu, Mas?" Tanyaku datar."Dan rambut ini kering dan berketombe karena tak cocok dengan shampo yang kamu beli, Mas! Tak ada pelembab rambut atau apa. Jadi maklum jadi kusam begini." Ketika membeli sesuatu, Mas Habib tidak pernah memberikan pilihan padaku, termasuk shampo, dia akan membeli yang termurah dan dapat lebih banyak. Tak peduli rambutku cocok atau tidak. Untuk protes, itu tidak berguna. Aku sudah mencoba, tapi dia hanya akan mengatakan aku terlalu banyak menunt
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.