Apakah Menfess Aman Digunakan Untuk Berbagi Cerita Pribadi?

Dulu aku rajin banget baca menfess karena feel-nya kayak baca novel slice of life. Tapi semenjak nemu confession yang mirip banget dengan kejadian di keluarganya sendiri, aku sadar betapa tipisnya batas antara fiksi dan realita di sana. Untuk berbagi cerita pribadi? Mungkin aman secara teknis, tapi emotionally risky. Kadang kita enggak siap dengan respons orang asing yang bisa seenaknya komentar. Aku sekarang cuma pakai untuk cerita-cerita lucu atau awkward moment aja—itu pun pake akun cadangan.

Menurutku ini tergantung level 'kepribadian' ceritanya. Kalau cuma soal selera makan atau kebiasaan aneh, ya gapapa. Tapi kalau udah menyangkut data medis, pengalaman kekerasan, atau rahasia keluarga—lebih baik diem aja. Aku punya teman yang kena doxxing karena cerita soal perselingkuhan di menfess. Meski akunnya di-delete, screenshotsnya udah menyebar kemana-mana. Sekarang aku treat menfess seperti ngobrol di angkot: bahas hal umum boleh, urusan privat jangan.

Ada sesuatu yang menggelitik tentang menfess ketika pertama kali mencobanya. Platform ini seolah menjanjikan ruang aman untuk mencurahkan isi hati tanpa risiko dihakimi secara langsung. Tapi setelah beberapa kali memantau unggahan orang lain dan mencoba sendiri, aku mulai menyadari bahwa 'aman' itu relatif. Sistem anonimitas memang memberi perlindungan awal, tapi begitu cerita kita viral, siapa tahu bisa dilacak juga? Apalagi kalau detailnya spesifik. Jadi sekarang aku lebih selektif—hal-hal super pribadi tetap kusimpan untuk diary offline atau grup kecil teman dekat.

Di sisi lain, menfess bisa jadi tempat healing yang manis ketika melihat orang-orang saling memberi dukungan. Aku pernah baca curhatan soal depresi yang dibanjimi komentar positif. Tapi ingat, algoritma media sosial itu kejam. Suatu hari bisa jadi bahan ledekan, hari berikutnya jadi bahan bully. Kuncinya: pakai pseudonym kuat, hindari detail identitas, dan siapkan mental untuk segala kemungkinan.

Sebagai mantan admin sebuah forum confession, aku punya perspektif agak berbeda. Anonimitas di menfess itu seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, itu memungkinkan orang jujur tanpa takut dihakimi. Di sisi lain, itu juga membuka peluang untuk manipulasi dan penipuan. Aku pernah nemuin kasus orang membuat confession palsu untuk menjatuhkan mantan pacarnya. Untuk cerita pribadi yang sensitif, aku selalu sarankan untuk memverifikasi platformnya—cek kebijakan privasi, fitur report-nya aktif enggak, moderasinya ketat atau abai. Kalau ragu, mending cari platform khusus terapi atau konseling online yang lebih terjaga.

Dari pengalaman ngobrol dengan banyak pengguna menfess, mayoritas merasa nyaman selama pakai akun burner dan enggak terlalu spesifik. Tapi ada satu kasus bikin aku merinding: ada cewek share pengalaman KDRT, trus ada orang usil nyariin lokasi rumahnya dari detail kecil di cerita itu. Ngeri kan? Aku sendiri suka pakai menfess untuk cerita receh kayak galau pacaran atau kesal sama dosen, tapi untuk trauma masa kecil atau konflik keluarga—no way. Lebih baik cari komunitas support group yang lebih privat kalau mau bahas hal berat.