Share

Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua
Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua
Author: ArunaLys

Radio Rahasia di Loteng

Author: ArunaLys
last update Last Updated: 2025-06-24 22:15:24

Sejak hari pertama menetap di rumah mertuanya, Sekar merasa seperti sedang mengikuti ujian yang tak kunjung selesai. Setiap sudut rumah seperti ruang pengamatan diam-diam ada mata yang tak terlihat,ada noda di pojok lantai, lipatan baju tak presisi, atau piring tidak ditata sesuai urutan.

Ibu mertuanya– Bu Sri, adalah sosok yang disiplin luar biasa dalam urusan rumah tangga. Bagi beliau, menyapu bukan sekadar membersihkan debu, tapi ritual menjaga kehormatan rumah. Handuk harus dilipat tiga bagian sama besar, piring wajib dicuci tanpa bunyi, dan aroma dapur harus selalu harum setiap pagi, pertanda rumah ini hidup dan terurus.

Sedikit saja Sekar lengah, teguran halus akan datang lewat sindiran manis, “Dulu Ibu juga belajar dari mertua, meski kadang sakit hati… tapi itu yang bikin ibu kuat.”

Sekar hanya bisa tersenyum, meski dadanya terasa seperti diremas. Belum lagi ayah mertua, Pak Slamet, yang memegang prinsip hidup bak kitab warisan keluarga. Jam makan harus tetap, suara televisi tak boleh lebih dari volume empat, dan anak-anak dilarang bersuara keras saat beliau salat.

Hari-harinya menjadi rangkaian pencarian ritme yang tak kunjung ia temukan. Setiap kali hendak menjadi diri sendiri, Sekar merasa bersalah. Setiap kali ingin beristirahat sebentar, ia khawatir dianggap malas. Rumah ini besar dan nyaman, tapi entah mengapa terasa sempit di dadanya. Sekar bukan tidak mau mencoba memahami, tapi batas kesabarannya sering kali goyah di tengah tuntutan tanpa ruang untuk benar-benar dipahami.

Di malam hari, saat semua tertidur, Sekar hanya bisa menatap langit-langit kamar sambil bergumam, "Apakah semua menantu harus melewati ini? Atau aku saja yang terlalu lemah?".

-

“Cek...cek... satu, dua, tiga… suara masuk?”...

Suara pelan itu terdengar dari balik loteng rumah mertua yang penuh debu. Sekar, menantu satu-satunya dari pasangan Bapak Slamet dan Ibu Sri, sedang duduk sambil memangku sebuah laptop tua dan mikrofon kecil. Matanya berbinar, mulutnya menyunggingkan senyum penuh semangat.

Cek...cek... satu, dua, tiga… suara masuk?”...

Suara pelan itu terdengar dari balik loteng rumah mertua yang penuh debu. Sekar, menantu satu-satunya dari pasangan Bapak Slamet dan Ibu Sri, sedang duduk sambil memangku sebuah laptop tua dan mikrofon kecil. Matanya berbinar, mulutnya menyunggingkan senyum penuh semangat.

Siapa sangka, rumah tua ini menyimpan sebuah “stasiun radio” rahasia yang tak pernah diketahui siapa pun — bahkan oleh Bapak Slamet yang galak dan Ibu Sri yang cerewet. Loteng tua yang menjadi tempat mewujudkan mimpi seorang menantu.

Saat pintu loteng terbuka dengan derit pelan, udara pengap bercampur aroma kayu tua langsung menyambut. Loteng itu terlihat usang dan berdebu, tetapi menyimpan daya pikat tersendiri. Dinding-dindingnya dicat dengan warna estetik kuno — krem pudar bercampur guratan coklat dari usia panjang.

Sebuah kipas angin kecil menempel di dinding, berputar pelan,Ada lampu terang yang memberi cahaya ke setiap sudut loteng, dan tak jauh dari sana, sebuah lampu khusus bertuliskan “ON AIR” siap menyala setiap kali siaran dimulai.

Di tengah ruangan, berdiri sebuah meja dari kayu jati yang tebal dan kokoh, Sebuah tempat duduk dari kayu tua dengan ukiran klasik berdiri di depannya, siap memangku siapa pun yang siap berbicara dari balik mikrofon.

Loteng itu memang tua dan penuh debu, tetapi bagi siapa pun yang memasukinya, aura misterius dan semangat tak pernah padam terasa dari setiap sudut.

“Selamat datang di Menantu ON AIR!”

Suara Sekar terdengar renyah dari loteng kecil itu.

“Tempat para menantu bisa mencurahkan isi hati, dari soal mertua yang cerewet, saudara ipar yang gengges, hingga drama rumah tangga yang bikin pusing tujuh keliling! Stay tuned, karena kali ini kita bahas topik: ‘Saat Menantu Jadi Satpam Rumah Mertua’!”

Saat semua penghuni rumah sudah terlelap, Sekar naik pelan-pelan ke loteng, memulai siaran radio online-nya sendiri. Berbekal pengalaman kerja sebagai penyiar radio kampus, Sekar menjadikan loteng itu sebagai “studio kecil” tempat ia menuangkan unek-unek.

“Halo saya Lina. Saya dari Madura. Saya mau cerita boleh kak?,” kata suara di seberang sana gemetar.

Sekar tak menyangka ada seseorang yang menghubungi ke radio itu.

“Oh! Halo kak! Boleh boleh!,”

Sekar tak menyangka ada seseorang yang menghubungi ke radio itu.

“Oh! Halo kak! Boleh boleh!,”

Lina bercerita panjang lebar soal bagaimana perasaannya yang tak pernah dianggap oleh sang mertua.

Ia hanya mendengarkan, memberi ruang bagi Lina untuk berkata apa saja. Sekar memang percaya, sebelum memberi solusi, manusia perlu diberi kesempatan penuh untuk mengungkapkan isi hatinya. Setelah Lina selesai, Sekar dengan suara tenang berkata,

“Kamu tidak sendiri, Lina. Ada banyak yang pernah berada di posisimu, termasuk saya. Ada kalanya kita perlu memberi sedikit jarak bagi batin sendiri, memberi ruang bagi kesabaran tumbuh, sambil tetap memperjuangkan komunikasi yang jujur dan penuh kasih—

—Jika memang belum siap bicara, tak apa. Beri waktu bagi dirimu sendiri juga. Mertua juga manusia biasa yang membawa luka dan pengalaman panjang dari masanya. Kadang, memahami luka orang lain dapat membuat beban kita sendiri terasa lebih ringan.”

Sejak siaran pertama itu, “Menantu On Air” mulai mendapat tempat di hati para pendengarnya. Sekar menawarkan telinga yang siap mendengar, sebuah tempat bagi siapa pun yang merasa tak pernah didengarkan. Sekar menjadikan radio kecil itu sebagai rumah bagi para menantu dari berbagai usia dan berbagai cerita.

Saat siaran itu mengudara, Sekar melihat lampu kecil “ON AIR” itu menyala lebih terang dari sebelumnya. Ada energi dari balik kata-kata itu yang membuat para pendengarnya merasa tak sendirian. Berita dari mulut ke mulut mulai menyebar. Tak butuh waktu lama hingga saluran radio kecil itu menerima puluhan panggilan dari berbagai daerah. Mereka datang dengan cerita tentang menantu dan mertua.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    MENANTU ON AIR

    Lampu “ON AIR” menyala merah di dinding studio yang pernah menjadi saksi tawa, tangis, dan setiap getar suara Sekar di masa lalu. Ruangan itu masih sama—bau karpet lama, aroma kopi yang menempel di meja mixer, dan pantulan cahaya jingga sore yang menembus kaca. Namun ada sesuatu yang berbeda kali ini: waktu.Sekar duduk di kursi siarannya, menatap mikrofon yang dulu menjadi sahabat setianya. Tangannya sedikit gemetar ketika memutar tombol volume. Di dadanya, debar yang sama kembali terasa—campuran antara gugup, rindu, dan tenang. Di layar monitor, nama program muncul perlahan:“Menantu On Air — Edisi Perpisahan”Ia menarik napas panjang, lalu menekan tombol record.

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Waktu yang Tak Pernah Kembali

    Langit sore itu berwarna jingga muda — warna yang dulu selalu membuat Sekar ingin berhenti sejenak dari hiruk pikuk hari, sekadar memandangi langit dan mengingat masa lalu. Di beranda rumahnya yang kini sunyi, ia duduk sendiri dengan secangkir teh melati, membuka sebuah buku harian berkulit cokelat tua yang sudutnya mulai mengelupas. Di halaman pertama tertulis dengan tinta pudar:“Hari ini Jinara tertawa untuk pertama kalinya.”— Sekar, 11 Mei 2009.Sekar tersenyum lirih. Ia masih bisa mengingat dengan jelas hari itu — tawa kecil Jinara yang pecah di antara tangis dan gumam bayi, tangan Arya yang memeluk mereka berdua, dan dirinya yang menangis karena

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Renungan Batin

    Sekar berkata:“Menjadi ibu ternyata bukan sekadar melahirkan.Tapi juga melahirkan ulang diriku sendiri — dengan sabar yang tak pernah aku tahu sebelumnya,dengan cinta yang tak pernah aku bayangkan bisa sedalam ini.Ada malam-malam di mana aku menangis dalam diam, bukan karena lelah, tapi karena haru:bagaimana mungkin tangan sekecil ini bisa menggenggam seluruh hatiku?Aku belajar bahwa menjadi ibu bukan tentang sempurna, tapi tentang hadir.Bukan tentang tahu semua jawaban, tapi berani mencari bersama anakmu.Setiap tangisnya mengajarkanku arti doa,

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Malam-Malam Pertama Jinara

    Malam itu, angin berhembus pelan di luar jendela. Di dalam kamar, Sekar duduk bersandar di kepala ranjang, rambutnya terurai berantakan, matanya sayu tapi hangat. Jinara meringkuk di pelukannya, menangis pelan karena lapar. Arya dengan sigap menyiapkan air hangat di dapur kecil mereka.Sekar tersenyum samar, meski tubuhnya masih terasa nyeri pasca melahirkan.“Dulu aku pikir jadi ibu itu cuma tentang cinta,” gumamnya lirih. “Ternyata cinta juga butuh tenaga dan air mata.”Arya datang membawa botol kecil, matanya setengah mengantuk tapi masih penuh perhatian.“Cinta juga butuh begadang,” jawabnya sambil tersenyum, mencoba bercanda.Sekar tertawa kecil, suara tawanya pelan tapi tulus — seperti cahaya kecil di tenga

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    EMPAT PERAN WANITA

    Malam turun perlahan, membawa udara sejuk dan wangi bunga kenanga dari halaman. Di teras rumah yang sederhana itu, lampu kuning menggantung lembut, menciptakan cahaya hangat di antara gelapnya langit.Sekar duduk di kursi rotan, mengenakan selimut tipis di bahunya. Di pangkuannya, segelas teh hangat mengepul. Di sampingnya, Bu Ambar, ibunya, duduk sambil mengusap pelan tangan putrinya — seperti dulu, ketika Sekar masih kecil dan sering takut tidur sendirian.Dari dalam rumah terdengar samar suara tawa pelan.Pak Surya sedang berbincang dengan Arya, membicarakan hal-hal kecil — pekerjaan, tanggung jawab, dan pengalaman menj

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Ketemu Kakek dan Nenek

    Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis kamar, jatuh lembut di wajah mungil Jinara Aryasatya yang masih meringkuk di pelukan ibunya. Sekar membuka matanya perlahan, masih setengah mengantuk, lalu tersenyum kecil melihat bayinya menggeliat pelan, menguap dengan suara kecil seperti desah burung.“Selamat pagi, Nak…” bisiknya lembut, mengelus rambut hitam halus di ubun-ubun Jinara.Tak lama, Arya masuk dari dapur, masih memakai kaus yang kusut dan rambut yang berdiri acak-acakan. Di tangannya, dua cangkir teh hangat mengepul.“Selamat pagi, dua cinta hatiku,” katanya, suaranya parau tapi lembut. Ia meletakkan teh di meja, lalu duduk di tepi ranjang, menatap Jinara dengan wajah campur kagum dan gugup.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status