Sejak Kapan Istilah Shoujo Artinya Mulai Populer Di Jepang?

Pernah kepikiran gimana istilah shoujo akhirnya jadi kata yang lumrah dipakai orang Jepang? Aku suka ngubek-ngubek bacaan lama tentang budaya populer, dan menurut pengamatanku istilah itu bertransformasi pelan-pelan sejak akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Awalnya 'shoujo' memang kata sehari-hari buat menyebut gadis muda, tapi yang menarik adalah bagaimana kata itu dipakai sebagai label pasar: majalah, buku, dan bahan pendidikan mulai menargetkan kelompok pembaca perempuan muda.

Di era Taishō dan selepasnya, mulai muncul majalah khusus gadis yang nggak cuma isi cerita, tapi juga pola hidup, mode, dan nilai-nilai yang diarahkan ke pembaca perempuan muda. Contoh klasik yang sering disebut dalam literatur adalah majalah seperti 'Shōjo no Tomo' yang membantu memperkuat gagasan tentang 'kultur shoujo'—bukan cuma sekadar kata, tapi segmen budaya. Setelah Perang Dunia II, tahun 1950-an ke atas, penerbitan yang fokus ke pembaca perempuan makin berkembang sehingga istilah itu jadi lebih teknis: shoujo sebagai demografi pembaca dan sebagai gaya seni.

Kalau aku rangkum dari bacaanku, puncak popularisasi istilah dalam arti industri terjadi antara pertengahan abad ke-20—ketika majalah-majalah seperti 'Ribon' dan 'Margaret' menjadi arus utama—lalu benar-benar matang saat gelombang kreatif akhir 60-an dan 70-an (yang sering disebut transformasi oleh kelompok pembuat baru) memperkaya tema dan estetika. Intinya, kata itu bukan hasil loncatan tiba-tiba, melainkan proses sosial dan industri yang berlangsung puluhan tahun, dan sekarang kata 'shoujo' dipakai serba guna: untuk kategori usia, gaya cerita, dan bahkan estetika visual. Aku masih suka mikir betapa kata sederhana bisa menyimpan riwayat panjang budaya populer Jepang.

Inti singkatnya: istilah 'shoujo' mulai dipakai sejak era Meiji–Taishō sebagai kata untuk gadis muda, tetapi jadi populer sebagai label budaya dan pasar sejak awal abad ke-20 ketika majalah dan media khusus gadis bermunculan. Setelah Perang Dunia II, industri komik dan majalah anak perempuan tumbuh pesat—ini periode ketika istilah itu berubah fungsi jadi penanda demografis dan genre. Gelombang kreatif pada akhir 1960-an hingga 1970-an memperluas makna 'shoujo' dari sekadar target pembaca jadi sebuah gaya dan pendekatan naratif yang khas.

Kalau aku refleksikan, proses itu bukan instan: melainkan hasil interaksi antara perubahan sosial (peranan anak perempuan di masyarakat), strategi penerbitan, dan inovasi kreator. Sekarang 'shoujo' dipakai longgar—kadang untuk usia, kadang untuk tone cerita, kadang untuk estetika—yang menunjukkan bagaimana istilah itu sudah melekat kuat di budaya populer Jepang.

Di loteng rumah nenek aku ada koleksi majalah tua yang bikin penasaran, dan dari situ aku mulai ngeh kalau 'shoujo' nggak langsung populer begitu saja — istilah itu lekat sama perubahan sosial. Di era modernisasi Jepang kata 'shoujo' sudah dipakai, tapi baru jadi istilah pasar ketika penerbit melihat peluang besar menargetkan gadis muda dengan konten khusus: cerita, fashion, hobi, bahkan pendidikan moral.

Setelah Perang, industri penerbitan berekspansi cepat dan format komik untuk anak perempuan berkembang. Di sinilah istilah jadi familiar sebagai label genre: majalah komik perempuan bermunculan dan mematok kata 'shoujo' sebagai penanda. Yang bikin menarik adalah gelombang kreatif sekitar akhir 60-an hingga 70-an—ada banyak penulis dan ilustrator perempuan yang ngedorong batas tema dan gaya, sehingga istilah itu nggak cuma soal target umur, tapi juga identitas artistik. Sekarang kalau orang bilang 'shoujo' bisa merujuk ke jenis cerita yang romantis, emosional, atau bergaya visual tertentu, dan itu semua berakar dari proses panjang tadi.

Jadi, kalau mau titik awalnya: istilahnya sendiri ada lama, tapi kepopulerannya sebagai label budaya dan industri naik perlahan sejak awal abad ke-20 dan benar-benar melebar setelah Perang Dunia II. Aku sering terasa kagum dengan bagaimana istilah ini tumbuh bersama majalah dan komunitas pembaca—rasanya hidup banget, bukan cuma kata mati di kamus.