LOGINOrang tuaku menelepon memberitahukan diriku, mereka akan pergi ke rumah teman masa kecilku untuk menemui calon pasangan yang dijodohkan untuknya. Teman masa kecilku sedang tidur lelap di sampingku. Aku mengira itu hanya lelucon, lalu berkata pelan, "Asterius, mereka bilang sudah mencarikan kamu calon untuk dijodohkan." Dia menjawab dengan malas "hmm", lalu menarikku ke dalam pelukannya. "Wilia yang baik, nanti kamu tolong pilihkan aku baju, lalu rapikan juga gaya rambutku." Melihat diriku tidak bergeming, Asterius membuka mata dan tertawa mengejek. "Eh, kamu kenapa? Kita cuma teman seranjang. Kamu nggak mungkin mengira aku akan menikahi kamu, 'kan?"
View More"Bukannya kita ... pernah bilang mau menikah?""Kamu lupa? Kita sahabat sejak kecil. Kita tumbuh bareng. Dari kecil kita selalu bilang, kalau sudah besar akan jadi suami istri. Waktu main rumah-rumahan dulu ... kamu jadi ibu, aku jadi ayah ....""Dan kita pernah bersama hampir setahun, kita ... sangat bahagia ...."Nada suaranya yang dulu penuh gengsi dan berjarak, kini telah sirna. Asterius bahkan mulai berkata dengan suara tercekat, "Kita ... hampir menikah, 'kan?"Kamu pasti seperti sebelumnya ... cuma bilang itu karena kamu lagi marah, 'kan? Itu cuma ucapan emosi, 'kan?"Ayahku menghantam meja dan berdiri. "Maksud kamu, Wilia bohong padamu? Maksud kamu ... kita sekeluarga juga bohong ke kamu?""Tentang Ditya? Dia itu anak yang sangat baik, sopan, hormat pada kami berdua. Walau Wilia memang baru saja menerima perasaan dia, tapi sebagai orang tuanya, kami bisa melihat hubungan mereka yang serius, dan bisa sampai ke tahap pernikahan ...."Khawatir ayahku benar-benar terpancing emosi,
"Dan hubunganku pada kamu, barulah ....""Asterius." Suaraku datar, tanpa riak emosi, seolah orang di ujung sana hanyalah orang asing yang kutemui sekilas. "Kita hanya sekadar partner sementara, 'kan?"Semoga kamu nanti menemukan partner yang lebih cocok."Masih banyak hal yang harus aku kerjakan.Akhirnya aku berkata, "Jangan hubungi aku lagi. Waktu kamu memblokir kontak-ku dulu, kamu terlihat sangat tegas dan cepat. Sekarang malah jadi lengket sekali."Aku berpikir sebentar lalu menambahkan, "Sangat mengganggu."Entah karena sudah pensiun, atau mungkin memang karena iklim di sini benar-benar menyehatkan, wajah dan tubuh ayah ibu terlihat jauh lebih segar.Kalau saja bukan karena urusan balik nama dan serah terima rumah saat Tahun Baru, mereka bahkan tidak mau pulang."Biar aku saja yang pulang dan mengurus semuanya," kataku sambil tetap menatap dokumen di tangan. "Aku juga bisa mengatasinya sendiri."Ayah dan ibu saling bertukar pandang, lalu berkata, "Sudahlah, kami tetap ikut. Kami
Asterius menatapku yang tidak terluka sama sekali. "Lah, kamu kenapa nggak kenapa-kenapa? Kamu pikir aku nggak tahu sifat kamu? Waktu kecil kamu seret aku ke taman bermain sampai orang tua lapor polisi. Ujung-ujungnya, siapa yang membereskan semua kekacauan kamu?""Kamu itu selalu balas dendam kalau sudah sakit hati. Kamu marah karena Ingrida rebut apa yang dulu kamu kira milik kamu ... makanya kamu melakukan hal kayak begitu!""Minta maaf sama Ingrida, sekarang juga!"Orang-orang di kerumunan menatapku dengan sorot menyelidik, sekaligus merendahkan.Aku tertawa dingin. "Oh, ya? Mau aku minta maaf?"Asterius akhirnya mengendurkan cengkeraman. "Kamu saja bahkan nggak punya pacar. Minggu lalu kamu ngomong itu cuma untuk bikin aku jengkel, 'kan? Kamu bilang kamu ....""Aku minta maaf," gumamku pelan, lalu tiba-tiba aku teriak keras. "Minta maaf buat kepala Ibu kamu!"Tanpa ragu, aku memutar badan, menampar Ingrida yang sembunyi di belakangnya, tepat di pipi yang tadi aku pukul.Aku lalu m
Dia segera meraih lengan Asterius, tersenyum lembut, lemah lembut sekali.Aku membalas dengan senyum sopan, meletakkan botol anggur yang tadi kugenggam ke lantai. Setelah itu, aku menarik napas dalam-dalam. Aku kembali menenggelamkan pikiranku ke obrolan dengan senior di sebelahku.Aku tidak melihat, bagaimana tatapan Asterius di belakangku lama sekali, tidak kunjung menarik tatapan itu kembali.Setelah minum dua gelas anggur merah, aku masih cukup sadar.Saat ke toilet, sekalian aku menambah riasan muka, merapikan dandanan.Semua orang bersepakat, sehabis ini akan menjenguk guru.Di antara mereka, ada pemimpin asosiasi tari yang sangat kuhormati.Waktu aku sekolah, beliaulah yang paling menganggapku berbakat, jadi tentu aku harus hadir.Setelah riasan wajah sudah oke, tampak rapi, aku membuka pintu toilet."Wilia?" Ingrida muncul dalam gaun putih, langkahnya anggun sekali.Aku menjawab singkat, "Hai."Baru ingin lewat begitu saja, Ingrida tarik pergelangan tanganku.Aku meringis kesa






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.