Siapa Penulis Novel Amba Dan Apa Inspirasinya?

Membaca 'Amba' selalu membawa getaran emosi yang dalam bagiku. Novel ini ditulis oleh Laksmi Pamuntjak, seorang penulis dan penyair indonesia yang karyanya kerap menyentuh tema cinta, sejarah, dan identitas. Aku pertama kali terpikat oleh gaya bahasanya yang puitis tapi tetap menggigit, terutama saat menggambarkan latar Peristiwa 1965. Inspirasi Laksmi konon datang dari kisah nyata yang ia temukan saat riset di Pulau Buru—sebuah pulau yang menjadi tempat pembuangan tahanan politik. Ada semacam kegetiran dan ketegangan antara kisah cinta Amba dan Bhisma dengan bayang-bayang kekerasan masa lalu. Aku pribadi melihat novel ini sebagai upaya Laksmi untuk menyelami luka kolektif bangsa dengan sudut pandang manusiawi, bukan sekadar hitam-putih.

Yang membuatku terkesima adalah bagaimana Laksmi merajut mitologi Mahabharata ke dalam narasi kontemporer. Bhisma, karakter pria utama, namanya diambil dari tokoh epik India itu, tapi di sini ia menjadi simbol pengorbanan dan kegagalan. Aku merasa Laksmi ingin menunjukkan bahwa sejarah itu seperti cerita wayang—penuh dengan tokoh tragis yang terjebak dalam lakon besar di luar kendali mereka. Mungkin itu sebabnya 'Amba' terasa begitu personal sekaligus universal.

Laksmi Pamuntjak menciptakan 'Amba' seperti seorang pelukis yang menyusun kanvas berlapis-lapis. Awalnya aku mengira ini sekadar roman, tapi ternyata lebih dari itu—novel ini adalah eksplorasi tentang bagaimana ingatan dan politik membentuk hidup seseorang. Konon inspirasi utamanya berasal dari dokumen-dokumen tua dan kesaksian korban tragedi 1965 yang ia kumpulkan selama tahun 2000-an. Tapi yang menarik, Laksmi tidak terjebak dalam narasi dokumen kering; ia membangun kisah cinta yang hangat antara Amba, perempuan Jawa yang berpendidikan, dan Bhisma, dokter idealis yang kemudian hilang dalam gejolak politik.

Aku pernah membaca wawancara Laksmi yang mengatakan bahwa ia ingin menulis tentang 'orang-orang yang tersisih dari sejarah resmi'. Itu sangat terasa dalam adegan-adegan di Pulau Buru, di mana deskripsi landscape-nya nyaris mistis—seperti metafora untuk luka yang tak terlihat. Sebagai pembaca yang tumbuh dengan cerita keluarga tentang masa itu, aku menghargai pendekatannya yang tidak menghakimi, tapi tetap kritis. 'Amba' bukan sekadar novel sejarah, melainkan semacam ruang dialog untuk memahami kompleksitas masa lalu.

Pernah bertemu dengan seorang kawan yang memuji-muji 'Amba' sampai aku penasaran dan akhirnya membacanya. Ternyata benar—Laksmi Pamuntjak memang punya cara unik mengubah fakta sejarah menjadi cerita yang bernapas. Katanya sih, ide awalnya muncul ketika ia mengunjungi situs bekas penjara di Pulau Buru dan terpikir: bagaimana jika ada kisah cinta yang terpotong oleh kekerasan politik? Yang kusuka dari novel ini justru ketegangannya: di satu sisi ada romansa antara dua intelektual muda, di sisi lain ada bayang-bayang rezim otoriter. Laksmi seolah bilang, 'Lihat, sejarah itu bukan angka-angka di buku teks, tapi tentang orang-orang yang terlempar dari hidup mereka sendiri.'

Buatku, kehebatan 'Amba' terletak pada bagaimana Laksmi memadukan riset mendalam dengan imajinasi sastra. Karakter Amba sendiri konon terinspirasi oleh perempuan-perempuan tangguh yang ia temui dalam arsip-arsip, sementara setting Pulau Buru digambarkan begitu hidup sampai kadang membuat merinding. Novel ini seperti pengingat bahwa di balik setiap peristiwa besar, ada cerita-cerita manusia yang layak didengar.