Siapa Penulis Yang Menggabungkan Buku Fiksi Dan Non Fiksi Terkenal?

Berbicara dari sudut pencinta literatur yang sering ikut diskusi klub buku, aku suka menyoroti beberapa nama yang selalu muncul ketika topik perpaduan fiksi-nonfiksi dibahas. C.S. Lewis misalnya — siapa sangka pengarang dunia fantasi 'The Chronicles of Narnia' juga menulis nonfiksi apologetik seperti 'Mere Christianity'? Perpaduan ini memberi pembaca dua cara berbeda untuk mengenal suara penulis: melalui mitos dan argumen rasional.

Truman Capote dan Joan Didion sudah kusebut berkali-kali di forum karena dampak mereka terhadap jurnalisme sastra dan esai. Ada juga Gore Vidal yang menulis roman dan esai politik, serta Neil Gaiman yang selain membuat fantasi modern seperti 'American Gods' juga merangkum esai dan kritik di 'The View from the Cheap Seats'. Kebanyakan penulis yang berhasil menjembatani kedua ranah ini paham betul bagaimana fakta dan imajinasi saling memperkaya: nonfiksi memberi bobot, fiksi memberi nyawa. Aku selalu tertarik melihat bagaimana cara mereka memakai teknik naratif fiksi di tulisan nonfiksi, atau sebaliknya.

Pagi ini aku kepikiran lagi soal penulis yang jago di dua ranah, dan langsung terbayang Joan Didion serta Truman Capote. Didion menulis esai yang tajam dan novel yang melukiskan suasana psikologis, sedangkan Capote mengeksplorasi batas antara laporan dan narasi di 'In Cold Blood'.

Contoh lain adalah Stephen King, yang fiksi horornya berpengaruh besar, tapi juga menulis esai dan memoir yang sangat manusiawi. Bagi pembaca awam, peralihan genre seperti ini kadang membingungkan, tapi justru di situ letak keasyikannya: kita bisa melihat penulis dari sisi yang lebih utuh.

Aku sering membaca kritik sastra dan mencatat nama-nama yang konsisten menulis baik cerita fiksi maupun esai atau memoir. Umberto Eco adalah favorit teknisku: ia memadukan keilmuan dalam esai dengan imajinasi luas di novel-novelnya. Margaret Atwood juga menonjol karena ia tak segan menulis esai budaya sekaligus fiksi spekulatif.

Selain itu, ada penulis seperti Gore Vidal dan Salman Rushdie yang kerap berpindah-pindah antara opini politik, esai budaya, dan karya sastra fiksi. Mereka menunjukkan bahwa menulis nonfiksi seringkali memperkaya karya fiksi—memberi konteks, referensi sejarah, atau sudut pandang kritis—yang ujungnya membuat pengalaman membaca jadi lebih lengkap. Aku selalu tersenyum melihat bagaimana pola pikir penulis itu menembus batas genre dan tetap terasa konsisten dalam suaranya.

Selama bertahun-tahun aku mengumpulkan tumpukan buku dari rak-rak pasar loak, dan dari sana aku mulai mengenali pola: banyak penulis besar menulis baik fiksi maupun nonfiksi dengan sama meyakinkannya. Salah satu contoh favoritku adalah Umberto Eco — dia terkenal lewat novel misteri intelektual 'The Name of the Rose', tapi juga menulis pemikiran-pemikiran nonfiksi tipis seperti 'Travels in Hyperreality' dan esai tentang semiotika yang kaya. Itu menunjukkan betapa mudahnya pemikiran teoretisnya mengalir ke dalam narasi fiksi.

Di sisi lain, penulis seperti Joan Didion menonjol karena dualitas itu juga. Novel seperti 'Play It as It Lays' berdampingan dengan kumpulan esai klasik 'The White Album' yang penuh observasi budaya. Begitu pula Salman Rushdie yang menulis fiksi magis di 'Midnight's Children' dan kumpulan esai serta kritik politik dalam 'Imaginary Homelands'.

Kalau ditanya siapa yang menggabungkan keduanya — jawabannya bukan satu nama saja, melainkan tradisi panjang penulis yang menyeberangi batas genre: Umberto Eco, Joan Didion, Salman Rushdie, Margaret Atwood, Truman Capote, dan banyak lagi. Setiap orang membawa keunikan; beberapa menggunakan nonfiksi untuk menguji gagasan yang kemudian masuk ke fiksi, sementara yang lain menggunakan fiksi untuk memberi warna pada analisis nyata. Itu yang selalu membuat koleksi bukuku terasa hidup.

Kadang aku merasa bangga karena bisa menunjukkan contoh penulis yang lihai berkelit antara fiksi dan nonfiksi. Ambil Truman Capote: dia menulis fiksi terkenal seperti 'Breakfast at Tiffany's', sekaligus menciptakan genre baru dengan karya nonfiksional yang bernuansa novel, 'In Cold Blood'. Perpaduan itu membuat ceritanya terasa nyata sekaligus sastrawi.

Margaret Atwood juga patut dicatat — dia punya novel ikonik 'The Handmaid's Tale' dan tulisan esai serta esai-kritik yang kuat seperti 'Payback' yang membahas isu sosial dan budaya. Lalu ada Stephen King yang selain menulis horor fiksi, menulis panduan menulis berkelas lewat 'On Writing', yang tidak hanya teknis tapi juga sangat personal. Intinya, banyak penulis besar tidak terpaku di satu wilayah; mereka menulis di mana gairah dan kebutuhan ekspresi memanggil.