Surat itu datang dalam amplop cokelat, bersegel resmi.
Tidak ada nama pengirim di bagian depan.
Tapi segelnya menunjukkan alamat pengiriman dari sebuah Lapas kelas I.
Alana membukanya dengan pelan.
Jarang ada surat seperti ini.
Biasanya, pesan datang via email atau ditinggalkan langsung di rak kayu.
Surat itu ditulis tangan.
Huruf-hurufnya kaku, tapi rapi.
Kalimat pembukanya seperti bisikan yang dilontarkan dari tempat yang tak banyak disapa dunia:
“Halo. Saya tidak berharap kamu mengenal saya.
Saya bahkan tidak yakin kamu sempat melihat saya.
Tapi saya ingin cerita,
karena kalau tidak, mungkin saya akan pecah pelan-pelan.”
Surat itu berasal dari seseorang bernama Arga.
Dua tahun lalu, ia datang ke “Pelan Saja” dalam diam.
Satu jam, dua kali. Itu saja.
Tanpa mengisi nama. Tanpa menyeduh teh. Tanpa menulis.
Hanya duduk.
Saat itu, ia sedang dalam masa pelarian batin.
Baru keluar dari rehabilitasi narkoba.
Baru kehilangan keluarga.
Dan sudah dalam daftar tahanan kota.
“Waktu itu aku dudu