Home / Romansa / Antara Peran dan Perasaan / Bab 111 – Luka yang Tidak Membuat Lari, dan Rumah yang Tetap Membuka Pintu

Share

Bab 111 – Luka yang Tidak Membuat Lari, dan Rumah yang Tetap Membuka Pintu

Author: Ayla
last update Last Updated: 2025-06-23 23:40:10

Pagi itu, langit mendung tipis.

Bukan hujan. Tapi cukup untuk membuat siapa pun memilih diam.

Alana duduk di beranda “Pelan Saja”, memandangi daun jambu yang mulai berubah warna.

Kepalanya penuh. Tapi bukan oleh beban.

Melainkan oleh satu pertanyaan lama yang kembali:

“Apakah rumah yang baik tetap mau ditinggali, meski kita berkali-kali mengecewakannya?”

Semalam sebelumnya, seorang pengunjung lama datang kembali.

Namanya Laras.

Ia pernah menghilang selama delapan bulan tanpa kabar.

Sebelumnya, ia hampir setiap minggu datang ke “Pelan Saja” — menulis, diam, menangis, duduk.

Satu dari sedikit yang tidak pernah mengucapkan terima kasih, tapi selalu kembali.

Malam itu, ia berdiri di depan pintu, wajahnya kusut, matanya dalam.

“Boleh aku masuk?”

Alana membuka pintu. Tidak bertanya. Tidak menuntut penjelasan.

Dan Laras langsung jatuh terduduk di lantai kayu.

“Aku pergi. Aku salah. Aku nyakitin orang.

Aku kira aku bisa jadi versi lebih baik dari diriku di sini.

Tapi ternyata… aku tetap aku.
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 114 – Bolehkah Aku Belajar Diam dari Kalian?

    Satu sore yang biasa,saat matahari menuruni dahi langit dengan sabar,datanglah seorang anak perempuan ke teras “Pelan Saja”.Langkahnya ringan, tapi matanya menyimpan musim yang terlalu awal untuk usianya.Namanya: Titha.Usia: 13 tahun.Rambutnya dikuncir asal. Tas selempangnya sobek sedikit di ujung.Tapi caranya mengetuk… seolah dia tahu betul tempat ini tidak bisa dimasuki dengan suara keras.Alana membukakan pintu.Titha berdiri kaku, lalu menyodorkan amplop cokelat tipis.Isinya hanya satu kalimat:“Aku pengen belajar diam. Tapi diam yang nggak bikin aku takut.”Alana tidak langsung menjawab.Ia hanya tersenyum kecil, membuka pintu lebar-lebar, dan memberi isyarat duduk.Hari itu, mereka tidak bicara banyak.Titha hanya duduk. Matanya bergerak cepat,seolah memotret tiap sudut ruangan dengan batinnya.Kadang, ia mencoret di buku kecil. Kadang diam total.Sampai matahari benar-benar tenggelam, dan Alana memberinya teh.Titha datang keesokan harinya.Dan lusa.Dan seterusnya.Ta

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 113 – Belajar Mencintai Lagi

    Hari itu, rumah mereka sunyi.Bukan sunyi yang sepi, tapi sunyi yang telah terbiasa.Seperti buku tua yang tak lagi dibaca keras-keras,tapi cukup dibuka perlahan untuk mengingat halaman mana yang paling sering disentuh.Nara sedang menyetrika.Raydan menyiram tanaman.Tak ada percakapan. Tapi keduanya tahu:hari ini bukan hari biasa.Hari ini, usia pernikahan mereka tepat 25 tahun.Tapi tidak ada pesta.Tidak ada kue.Tidak ada bunga.Hanya dua orang yang tetap memilih pulang satu sama lain—meski tahu betul:mereka sudah bukan versi terbaiknya.Malamnya, di meja makan, hanya ada dua piring sup ayam, dan satu obrolan pelan:“Dan, kamu masih betah?” tanya Nara sambil menyeruput.Raydan mengangkat alis.“Betah sama siapa? Sama kamu?”Nara mengangguk.Wajahnya datar. Tapi matanya mencari sesuatu—mungkin candaan, mungkin kejujuran.Raydan meletakkan sendoknya.Menatap istrinya lama.Lalu berkata:“Aku masih pulang ke rumah ini bukan karena aku betah.Tapi karena aku sudah tahu, di mana pu

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 112 – Surat dari Lembaga Pemasyarakatan

    Surat itu datang dalam amplop cokelat, bersegel resmi.Tidak ada nama pengirim di bagian depan.Tapi segelnya menunjukkan alamat pengiriman dari sebuah Lapas kelas I.Alana membukanya dengan pelan.Jarang ada surat seperti ini.Biasanya, pesan datang via email atau ditinggalkan langsung di rak kayu.Surat itu ditulis tangan.Huruf-hurufnya kaku, tapi rapi.Kalimat pembukanya seperti bisikan yang dilontarkan dari tempat yang tak banyak disapa dunia:“Halo. Saya tidak berharap kamu mengenal saya.Saya bahkan tidak yakin kamu sempat melihat saya.Tapi saya ingin cerita,karena kalau tidak, mungkin saya akan pecah pelan-pelan.”Surat itu berasal dari seseorang bernama Arga.Dua tahun lalu, ia datang ke “Pelan Saja” dalam diam.Satu jam, dua kali. Itu saja.Tanpa mengisi nama. Tanpa menyeduh teh. Tanpa menulis.Hanya duduk.Saat itu, ia sedang dalam masa pelarian batin.Baru keluar dari rehabilitasi narkoba.Baru kehilangan keluarga.Dan sudah dalam daftar tahanan kota.“Waktu itu aku dudu

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 111 – Luka yang Tidak Membuat Lari, dan Rumah yang Tetap Membuka Pintu

    Pagi itu, langit mendung tipis.Bukan hujan. Tapi cukup untuk membuat siapa pun memilih diam.Alana duduk di beranda “Pelan Saja”, memandangi daun jambu yang mulai berubah warna.Kepalanya penuh. Tapi bukan oleh beban.Melainkan oleh satu pertanyaan lama yang kembali:“Apakah rumah yang baik tetap mau ditinggali, meski kita berkali-kali mengecewakannya?”Semalam sebelumnya, seorang pengunjung lama datang kembali.Namanya Laras.Ia pernah menghilang selama delapan bulan tanpa kabar.Sebelumnya, ia hampir setiap minggu datang ke “Pelan Saja” — menulis, diam, menangis, duduk.Satu dari sedikit yang tidak pernah mengucapkan terima kasih, tapi selalu kembali.Malam itu, ia berdiri di depan pintu, wajahnya kusut, matanya dalam.“Boleh aku masuk?”Alana membuka pintu. Tidak bertanya. Tidak menuntut penjelasan.Dan Laras langsung jatuh terduduk di lantai kayu.“Aku pergi. Aku salah. Aku nyakitin orang.Aku kira aku bisa jadi versi lebih baik dari diriku di sini.Tapi ternyata… aku tetap aku.

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 110 – Cinta yang Tumbuh Tanpa Janji, Tapi Tetap Ingin Pulang

    Hujan turun pelan, seperti tangan-tangan kecil yang mengetuk jendela sore hari.Alana duduk di ruang baca "Pelan Saja", mengenakan sweater lusuh warna abu dan syal coklat yang sudah mulai berbulu di ujungnya. Satu cangkir teh menghangatkan telapak tangannya. Di depannya, laptop terbuka — halaman kosong, berkedip-kedip menanti kata pertama.Ia hendak menulis buku kedua.Bukan tentang ruang sunyi. Bukan tentang perjalanan.Tapi tentang sesuatu yang jauh lebih rumit.Tentang cinta.Sudah lama ia ingin menuliskannya. Tapi selalu gagal.Ia merasa cinta terlalu sering dibicarakan, terlalu sering dibumbui. Terlalu sering disederhanakan jadi romansa. Padahal bagi Alana, cinta adalah sesuatu yang tumbuh di bawah tanah. Tidak tampak. Tidak wangi. Tapi menyangga.Dan kali ini, ia ingin menulis cinta… sebagai rumah.“Bukan tempat istirahat. Tapi tempat kembali — bahkan saat semuanya salah.”Naskah itu ia beri judul: “Cinta Tanpa Jaminan, Tapi Selalu Ada Ruang Duduknya.”Kalimat pertama:“Cinta te

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 109 – Alana Membawa Sunyi Keliling, Bukan untuk Misi, Tapi untuk Menyentuh Dunia yang Juga Ingin Duduk

    Minggu itu, seorang pengunjung “Pelan Saja” datang dari jauh —perempuan muda, aktivis komunitas literasi di kampung pesisir.Ia bercerita, pelan dan gugup:> “Di tempat saya, anak-anak perempuan bisa baca.Tapi mereka belum tahu gimana caranya cerita.”“Cerita tentang apa?” tanya Alana.Perempuan itu tersenyum kecil.> “Tentang jadi sunyi.Tapi takut dibilang ‘nggak normal.’”---Kalimat itu tinggal di kepala Alana selama seminggu.Mengendap. Membekas. Menumbuhkan tanya:> “Apa sunyi hanya bisa tumbuh di tempat tenang?Atau bisa juga dibawa, seperti lentera kecil,ke tempat-tempat yang selama ini hanya diterangi suara keras?”---Beberapa hari kemudian, Alana menggambar tenda.Tenda kecil, kanvas lembut, bisa dilipat.Isinya sederhana:Tikar gulung5 bantal kecil1 meja rendah1 rak kayu isi buku kosongTeh herbal sachetSebuah kertas besar di dinding bertuliskan:> “Di sini, kamu boleh ada. Tanpa harus menjelaskan apa-apa.”---Ia menyebutnya: “Ruang Sunyi Keliling”Dan perjalanan p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status