Nara Ayuningtyas, seorang perempuan 28 tahun, cerdas dan mandiri, baru saja kehilangan ayahnya yang meninggalkan warisan dalam bentuk utang besar. Satu-satunya cara menyelamatkan rumah masa kecil dan menjaga ibunya tetap aman adalah dengan menerima tawaran tak lazim: menikah secara kontrak selama dua tahun dengan Raydan Dirgantara, CEO muda perusahaan properti ternama yang membutuhkan istri formal demi memenuhi syarat wasiat sang kakek untuk mendapatkan kendali penuh atas perusahaan keluarga. Pernikahan mereka hanya di atas kertas—dingin, berjarak, penuh batasan. Tapi hidup tak pernah mematuhi kontrak. Di balik sorotan publik, sorotan keluarga, dan sorotan diri mereka sendiri, mulai tumbuh sesuatu yang tak terdefinisikan: keakraban, pengertian, bahkan rasa cemburu yang tak pernah tertulis dalam klausul mana pun.
View MoreBab 1 - Pernikahan Palsu, Komitmen Nyata
“Dengan ini, saya nyatakan kalian sah sebagai suami dan istri.” Kalimat itu terdengar begitu ringan, hampir biasa. Seolah ikrar itu bukan simpul dari banyak keputusan yang terpaksa, bukan pula janji yang digantungkan di langit-langit kenyataan yang abu-abu. Tapi bagi Nara, kalimat itu adalah palu ketiga—setelah kematian ayahnya dan surat perjanjian—yang memantapkan dunia dalam poros baru. Raydan berdiri tegak di sampingnya. Jas abu-abu arang membalut tubuhnya seperti tameng. Ia tampak sempurna dalam kamera, dalam pandangan para undangan yang dipilih dengan sangat hati-hati: kolega, dua orang sahabat dekat, dan tentu saja sang pengacara yang memastikan semuanya berjalan “profesional”. Nara mengenakan gaun putih gading tanpa renda. Ia menolak untuk memakai veil. Tidak ada pengiring. Tidak ada keluarga. Ibunya tidak hadir—bukan karena tak diundang, tapi karena tidak tahu. Nara memilih untuk merahasiakan semuanya hingga ia yakin pernikahan ini tidak akan menyakitkan siapa pun, selain dirinya sendiri. Resepsi kecil digelar di sebuah ruangan hotel bintang lima yang disulap sehangat mungkin. Piano klasik mengalun pelan. Makanan disajikan dalam piring-piring porselen mengilap. Semua tampak seperti potongan dari kisah cinta elegan. Padahal di balik senyuman tamu-tamu berjas mahal itu, Nara tahu ada pandangan penuh tanya. “Selamat, Ray. Nyonya Dirgantara ternyata bukan hanya cantik, tapi juga... tenang.” Salah satu kolega Raydan berbicara sambil tertawa kecil, menggoda. Nada suaranya ringan, tapi matanya mengukur. Nara membalas dengan senyum sopan. Ia sudah belajar caranya mengangguk tanpa terlihat ragu, tertawa tanpa merasa geli. Raydan menanggapi semua percakapan dengan kepiawaian seorang aktor utama. Ia merangkul bahu Nara sesekali, memperkenalkan dirinya sebagai “istri yang penuh kejutan” dan menyelipkan candaan ringan yang membuat suasana terlihat natural. Namun, saat semua tawa menghilang dan kamera terakhir berhenti berkedip, yang tersisa hanyalah dua orang asing yang kini tinggal di bawah satu atap. Malam itu, di apartemen penthouse Raydan yang terlalu besar untuk dua orang yang baru saja bersumpah demi kebutuhan, mereka berdiri dalam diam. Nara menyentuh pot tanaman kecil di dekat jendela. “Saya akan tidur di kamar tamu, jika tidak keberatan.” Raydan melepas dasi dan meletakkannya di sandaran sofa. “Kamar sebelah sudah disiapkan. Ada lemari tambahan juga. Kamu bisa letakkan barang-barang di sana.” “Terima kasih.” “Sama-sama.” Beberapa detik hening. Mereka seperti dua planet yang saling mengorbit tanpa gravitasi, masing-masing menjaga jarak agar tidak saling berbenturan. Nara menghela napas pelan. “Apa yang terjadi jika seseorang... tahu bahwa ini tidak nyata?” Raydan menoleh, ekspresinya berubah sedikit lebih gelap. “Itu tidak boleh terjadi.” “Tapi jika?” tekan Nara. “Jika ada yang tahu, semuanya batal. Kamu kehilangan kompensasi, aku kehilangan warisan perusahaan. Dan seluruh ini akan dianggap... penipuan hukum.” Nara menatap mata Raydan. “Jadi kita harus hidup seperti pasangan sungguhan.” “Kita harus terlihat seperti pasangan sungguhan. Itu saja.” Hari-hari setelah pernikahan diisi dengan rutinitas palsu yang makin lama makin terasa nyata. Mereka sarapan bersama, kadang dalam diam, kadang diselingi obrolan ringan tentang pekerjaan. Nara mulai mengenal sisi Raydan yang tak tampak di balik jas dan rapat-rapat bisnis: caranya menyukai kopi tanpa gula, kebiasaannya mendengarkan musik jazz saat malam, dan fakta bahwa ia menyirami tanaman di balkon sendiri setiap Minggu pagi. Di sisi lain, Raydan mulai tahu Nara adalah pecinta buku yang bisa membaca lima novel dalam seminggu, lebih memilih teh jahe daripada teh melati, dan tidak pernah tidur tanpa mematikan lampu meja. Perbedaan-perbedaan kecil itu seperti retak halus di kaca, menciptakan pola yang tidak terlihat oleh mata orang luar—tapi terasa, perlahan, dalam hati masing-masing. Suatu malam, setelah makan malam bersama di dapur apartemen, Raydan menyodorkan sebuah amplop putih ke hadapan Nara. “Apa ini?” “Kalender wawancara. Mulai minggu depan, kita akan tampil di dua media. Salah satunya majalah gaya hidup.” Nara membelalakkan mata. “Untuk apa?” “Untuk membangun narasi.” “Jadi, kita harus... menjual cerita ini?” Raydan mengangguk pelan. “Kita sedang menulis kisah fiksi yang harus dipercaya dunia nyata. Mau tak mau, itu bagian dari kontrak.” Nara membuka amplop itu perlahan. Daftar tanggal, media, dan nama-nama wartawan yang akan datang ke apartemen mereka. Semuanya tersusun rapi, seperti plot cerita yang tidak meninggalkan ruang untuk improvisasi.Pagi itu mendung menggantung seperti awan-awan tua yang enggan bergerak.Nara menyetir sendiri, tanpa Raydan, tanpa Alana.Hanya satu tujuan: makam ayah.Buku memoarnya ia bawa, dibungkus kain flanel abu-abu.Di dalamnya terselip surat kecil yang belum pernah ia buka—tulisan tangan ayahnya yang ditemukan ibunya di kotak berkas lama.Nara belum pernah ke sana sejak pemakaman.Bukan karena tak peduli, tapi karena belum siap menatap nisan dan mengakui:> “Aku menyalahkanmu terlalu lama.”---Makam itu terletak di bawah pohon kamboja.Tanahnya sudah mulai rata.Batu nisannya sederhana—nama, tanggal, dan doa yang singkat.Nara duduk bersila, meletakkan bukunya pelan.> “Ayah… aku menulis buku.”“Tentang hidup yang ayah tinggalkan. Tentang aku yang belajar bertahan.Tentang cinta yang datang dengan cara yang… aneh.”“Dan aku benci mengakuinya, tapi banyak hal yang kuhadapi ternyata tak jauh berbeda dengan yang ayah alami.”Ia membuka halaman terakhir, dan mulai membacanya pelan.Suaranya pe
Malam premiere berlangsung mewah.Karpet merah.Kilatan kamera.Wartawan berbaris.Para pemain tampil glamor dalam balutan busana rancangan desainer.Poster besar terpampang di pintu bioskop utama, dengan judul yang sama: Pulang Tidak Selalu ke Rumah.Nara berdiri di tengah keramaian itu.Wajahnya tersenyum. Tubuhnya diam.Tapi batinnya bergema: hening, nyaring, sepi, padat.> “Semua ini… terasa asing,” bisiknya pelan.Raydan di sisinya, mengenakan setelan sederhana, menoleh.“Karena ini bukan tentang kita lagi.Ini tentang kisah kita… yang kini dimiliki orang banyak.”Dan memang, saat film diputar dan layar lebar menyala,Nara tidak benar-benar menonton.Ia lebih sibuk memperhatikan ekspresi penonton:mereka tertawa saat adegan manis.Menangis saat adegan pertengkaran.Hening saat adegan Raydan versi layar memeluk Nara versi layar setelah pulang dari Eropa.Tapi tak satu pun dari mereka tahu:betapa nyata rasa takut yang menyelimuti setiap malam Nara selama di benua lain,betapa cang
Peluncuran buku “Pulang Tidak Selalu ke Rumah” diadakan di sebuah galeri kecil di jantung Jakarta.Dekorasi sederhana. Cahaya hangat.Barisan kursi penuh wajah-wajah penasaran—beberapa pembaca setia blog Nara,beberapa teman komunitas, dan…di baris depan, duduk seseorang yang tak pernah absen dalam proses penulisan: Raydan.Dan di sampingnya, mengenakan dress kuning muda yang dipilihnya sendiri, Alana menggenggam buket kecil.---Nara membuka acara dengan senyum gugup.> “Saat pertama menulis memoar ini, aku tidak tahu apa yang ingin kuceritakan.”“Apakah tentang pernikahan yang tak direncanakan?”“Atau tentang peran yang dipaksa dimainkan sebelum benar-benar siap?”> “Tapi saat menulis bab terakhir, aku sadar…”“Ini bukan buku tentang kegagalan yang dibungkus manis.”“Ini buku tentang kejujuran yang akhirnya berani bicara.”Ia lalu membuka lembar terakhir,yang selama ini hanya ia baca sendiri—hingga malam sebelum acara ini.> “Bab 23 – Orang yang Membuatku Percaya Lagi”> “Namanya
Undangan itu datang lewat email dari universitas ternama.Acara seminar bertajuk “Pernikahan dan Pemulihan: Membangun Kembali Setelah Retak.”Mereka tak pernah mencari sorotan.Tapi kisah mereka—yang tersiar pelan dari mulut ke mulut melalui Rumah Pulang, melalui komunitas kecil, hingga media lokal—membuat nama Nara dan Raydan disebut-sebut sebagai pasangan yang layak bicara.Nara sempat ragu.Bukan karena ia malu, tapi karena ia tahu: bicara tentang masa lalu berarti membuka luka—yang bahkan belum sepenuhnya sembuh.> “Apa kita siap?” tanya Nara.Raydan menatapnya.“Kalau kita tunggu sampai benar-benar siap… mungkin kita enggak akan pernah datang.”---Di atas panggung, dengan mikrofon kecil di dada dan sorotan lampu putih,Nara membuka sesi itu bukan dengan teori. Tapi dengan kejujuran.> “Kami tidak menikah karena cinta.Kami menikah karena situasi. Karena syarat warisan. Karena rasa bersalah.Dan… kami tidak langsung jatuh cinta setelah itu.”> “Fase pertama kami adalah saling men
Nara mulai menyadari sesuatu berubah di belakang rumah.Bukan secara tiba-tiba. Tapi perlahan, seperti musim yang bergeser diam-diam.Ada deru cangkul. Ada bau tanah basah.Dan ada Raydan—yang setiap pagi, setelah subuh, menyibukkan diri di taman kecil mereka.Nara sempat mengira itu bagian dari hobi barunya.Tapi ternyata lebih dalam dari itu.---Suatu siang, saat ia hendak menjemur cucian, Nara melihat sesuatu yang aneh.Di sudut taman, tersembunyi di balik semak lili paris, ada papan kayu kecil bertuliskan:> “Dari surat yang tak pernah sampai.”Penasaran, ia menyibak daun-daun yang menghalangi, dan menemukan sebuah kotak kayu kecil yang dilapisi pelapis tahan air.Di dalamnya, ada gulungan-gulungan kertas tua.Beberapa sudah lusuh, beberapa masih rapi.Saat dibuka, Nara tercekat.Itu surat.Tulisan tangan.Tulisan tangannya sendiri.---Surat-surat itu adalah draf lama yang ia tulis saat masa awal pernikahan—saat ia tak tahu harus berbicara pada siapa,saat luka terlalu malu unt
Undangan itu datang dalam map hitam mengilap. Nama pengirimnya cukup untuk membuat siapa pun terpaku: > PT GRAHA UTAMA PRIMA – Holding Nasional Properti & Investasi Isinya singkat dan tegas: Raydan Dirgantara diundang untuk menjabat sebagai Komisaris Utama, menggantikan salah satu tokoh senior yang pensiun dini. “Ini level nasional, Ray. Gedung-gedung yang kamu lewati di Jakarta… semua ada dalam portofolio mereka.” Begitu kata rekan bisnisnya saat mereka bertemu. Raydan tidak menjawab cepat. Ia menatap map itu lama. Terlalu lama, sampai bahkan kopi yang dibawakan Nara dingin tak tersentuh. --- Di rumah, saat malam menurun perlahan, Nara bertanya lembut: > “Kamu ingin terima?” Raydan mengangkat bahu. > “Dulu aku pikir iya. Tapi sekarang… aku nggak tahu. Rumah Pulang baru jalan satu kaki. Kalau aku terima, aku harus pindah ke pusat. Harus hidup dengan dunia yang aku tinggalkan lima tahun lalu.” Nara diam. Ia tahu tawaran ini bukan sekadar jabatan. Ini adalah pintu masa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments