Antara Peran dan Perasaan

Antara Peran dan Perasaan

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-05-29
Oleh:  AylaBaru saja diperbarui
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel12goodnovel
Belum ada penilaian
14Bab
19Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Nara Ayuningtyas, seorang perempuan 28 tahun, cerdas dan mandiri, baru saja kehilangan ayahnya yang meninggalkan warisan dalam bentuk utang besar. Satu-satunya cara menyelamatkan rumah masa kecil dan menjaga ibunya tetap aman adalah dengan menerima tawaran tak lazim: menikah secara kontrak selama dua tahun dengan Raydan Dirgantara, CEO muda perusahaan properti ternama yang membutuhkan istri formal demi memenuhi syarat wasiat sang kakek untuk mendapatkan kendali penuh atas perusahaan keluarga. Pernikahan mereka hanya di atas kertas—dingin, berjarak, penuh batasan. Tapi hidup tak pernah mematuhi kontrak. Di balik sorotan publik, sorotan keluarga, dan sorotan diri mereka sendiri, mulai tumbuh sesuatu yang tak terdefinisikan: keakraban, pengertian, bahkan rasa cemburu yang tak pernah tertulis dalam klausul mana pun.

Lihat lebih banyak

Bab 1

Bab 1 - Surat Wasiat

Pagi itu, udara Jakarta mengambang seperti biasa—lembap, malas, dan mengandung bau aspal basah dari hujan semalam. Tapi bagi Nara Ayuningtyas, semuanya terasa terlalu terang. Terlalu nyata. Terlalu sunyi, justru karena semuanya masih terus berjalan, padahal dunia miliknya seolah baru saja berhenti.

Sudah dua bulan sejak kepergian Ayah. Lelaki yang tak banyak bicara, tapi selalu tahu cara membuat rumah kecil mereka terasa cukup hangat di tengah dunia yang terus mengabarkan betapa mahalnya segalanya. Dan sejak hari itu, Nara tahu bahwa hidup tak memberi waktu untuk berduka terlalu lama.

Tagihan datang seperti arus sungai yang tak mengenal kata mundur. Satu per satu surat utang, pemberitahuan dari bank, ancaman penyitaan. Ibunya tak tahu, tentu. Nara menyimpan semuanya di laci kerjanya. Ia selalu tersenyum di meja makan, masih membuat teh hangat setiap pagi untuk sang ibu yang mulai sering lupa hari.

Sampai kemudian sebuah telepon datang. Dari kantor hukum Dirgantara & Partners.

“Saya diminta menyampaikan bahwa klien kami, Tuan Raydan Dirgantara, ingin bertemu Ibu Nara Ayuningtyas secara langsung. Ada hal penting berkaitan dengan surat wasiat mendiang Haji Wirya Dirgantara,” suara perempuan di seberang terdengar tenang dan terlatih.

Nara terdiam sesaat, merasa nama-nama itu lebih cocok muncul di kolom bisnis sebuah majalah ekonomi, bukan dalam percakapan teleponnya yang biasa diwarnai permintaan revisi artikel atau pengiriman invoice.

“Saya tidak mengenal siapa pun dari keluarga Dirgantara,” ucap Nara.

“Saya paham. Tapi ini permintaan langsung dari pewaris utama. Hanya Anda yang disebut dalam klausul khusus surat wasiat.”

Ruang pertemuan kantor hukum itu terlalu mewah untuk disebut ruangan. Dinding kaca tinggi memperlihatkan pemandangan kota dari lantai tiga puluh. Karpetnya tebal, seperti menolak sepatu-sepatu yang terlalu sederhana untuk menginjaknya. Di ujung ruangan, seorang pria berdiri membelakanginya, menatap ke luar jendela.

“Terima kasih sudah datang,” katanya, tanpa menoleh. Suaranya dalam dan jernih, tidak tergesa-gesa, tapi juga tidak bersahabat.

Nara diam sejenak, lalu duduk di kursi yang disiapkan. “Saya datang karena penasaran. Bukan karena saya punya banyak waktu luang.”

Lelaki itu berbalik. Tubuhnya tinggi, postur tegak seperti orang yang sudah terbiasa memimpin ruangan. Wajahnya tenang, hampir datar, seperti ukiran dalam batu. Tidak ada kesombongan. Tapi juga tidak ada keramahan.

“Ayah saya, Haji Wirya Dirgantara, mewariskan seluruh saham utama PT Dirgantara Lestari kepada saya. Tapi ada satu syarat.”

Nara menunggu.

“Saya harus menikah. Dalam waktu tiga bulan setelah surat wasiat dibacakan. Dan menikah bukan dengan siapa saja, tapi dengan nama yang disebutkan secara eksplisit.”

Jeda.

“Nara Ayuningtyas.”

Nara tertawa kecil, pendek, tidak menyembunyikan sinisme.

“Maaf. Ini lucu. Apakah saya sedang berada dalam sinetron sore yang salah?”

Raydan menggeser sebuah map biru ke arahnya. “Anda bisa membaca langsung. Saya tidak punya alasan untuk bercanda.”

Nara menatap nama ayahnya di halaman depan surat itu. Segel notaris resmi. Semua tampak sah. Terlalu sah untuk sesuatu yang tampak tidak masuk akal.

“Ayah saya kenal dengan ayah Anda?” tanyanya pelan.

“Saya sendiri tidak tahu. Tapi berdasarkan catatan, mereka pernah terlibat dalam proyek perumahan kecil dua puluh tahun lalu. Nama ayah Anda tercantum sebagai konsultan anggaran. Mungkin ada cerita yang tidak saya tahu.”

Nara meremas jemarinya di bawah meja. Ini terlalu asing, terlalu cepat, dan terlalu absurd untuk ditelan tanpa rasa getir.

“Dan Anda ingin menikah dengan saya... hanya karena surat ini?”

Raydan mengangguk. “Bukan menikah dalam pengertian konvensional. Tapi dalam pengertian legal. Kita menandatangani perjanjian pernikahan kontrak. Dua tahun. Setelah itu, kita bercerai. Anda bebas. Saya mendapatkan hak penuh atas perusahaan. Anda mendapatkan kompensasi.”

“Berapa?”

“Satu miliar rupiah, lunas di awal. Ditambah pembayaran bulanan selama dua tahun.”

Nara tak langsung menjawab. Ia menghabiskan sisa waktu pertemuan dengan membaca dokumen itu perlahan. Matanya menelusuri setiap pasal, bahkan yang terasa absurd sekalipun. Ia tidak ingin terlihat terkejut, meski hatinya berdebar seperti ingin meledak.

Bagian dari dirinya ingin melempar map itu ke lantai dan keluar. Tapi bagian lain mengingat wajah ibunya yang kini hanya hidup dari pensiun almarhum suami dan tabungan yang menipis. Rumah mereka di Rawamangun sudah disita bank, hanya belum dieksekusi. Dan ia sendiri belum bisa membayar uang sewa kos bulan depan.

Ia menutup map itu perlahan.

“Berikan saya waktu tiga hari.”

Raydan mengangguk.

Malam itu, Nara duduk di meja makan sendirian. Ibunya sudah tertidur. Ia membuka laptop dan mengetik nama Raydan Dirgantara. Hasil pencarian membanjir: pewaris perusahaan properti terbesar ketiga di Indonesia, lulusan luar negeri, single, tidak banyak tersorot media. Sosok yang lebih sering muncul di majalah bisnis ketimbang akun gosip selebritas.

“Kenapa aku?” gumamnya pelan.

Tapi hidup, katanya pada dirinya sendiri, bukan soal siapa yang pantas. Melainkan siapa yang bisa bertahan cukup lama untuk membuat pilihan—bahkan jika pilihan itu sama sekali tidak masuk akal.

Nara menatap berkas di meja. Di situlah namanya tercetak rapi, berjejer di samping nama seorang pria yang bahkan belum ia kenal dua jam lalu.

Dalam hidup, kadang yang kau butuhkan bukan cinta di awal.

Tapi keberanian untuk memerankan sesuatu yang tak pernah kau bayangkan akan menjadi milikmu—meski hanya sementara.

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
14 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status