Nara Ayuningtyas, seorang perempuan 28 tahun, cerdas dan mandiri, baru saja kehilangan ayahnya yang meninggalkan warisan dalam bentuk utang besar. Satu-satunya cara menyelamatkan rumah masa kecil dan menjaga ibunya tetap aman adalah dengan menerima tawaran tak lazim: menikah secara kontrak selama dua tahun dengan Raydan Dirgantara, CEO muda perusahaan properti ternama yang membutuhkan istri formal demi memenuhi syarat wasiat sang kakek untuk mendapatkan kendali penuh atas perusahaan keluarga. Pernikahan mereka hanya di atas kertas—dingin, berjarak, penuh batasan. Tapi hidup tak pernah mematuhi kontrak. Di balik sorotan publik, sorotan keluarga, dan sorotan diri mereka sendiri, mulai tumbuh sesuatu yang tak terdefinisikan: keakraban, pengertian, bahkan rasa cemburu yang tak pernah tertulis dalam klausul mana pun.
Lihat lebih banyakPagi itu, udara Jakarta mengambang seperti biasa—lembap, malas, dan mengandung bau aspal basah dari hujan semalam. Tapi bagi Nara Ayuningtyas, semuanya terasa terlalu terang. Terlalu nyata. Terlalu sunyi, justru karena semuanya masih terus berjalan, padahal dunia miliknya seolah baru saja berhenti.
Sudah dua bulan sejak kepergian Ayah. Lelaki yang tak banyak bicara, tapi selalu tahu cara membuat rumah kecil mereka terasa cukup hangat di tengah dunia yang terus mengabarkan betapa mahalnya segalanya. Dan sejak hari itu, Nara tahu bahwa hidup tak memberi waktu untuk berduka terlalu lama. Tagihan datang seperti arus sungai yang tak mengenal kata mundur. Satu per satu surat utang, pemberitahuan dari bank, ancaman penyitaan. Ibunya tak tahu, tentu. Nara menyimpan semuanya di laci kerjanya. Ia selalu tersenyum di meja makan, masih membuat teh hangat setiap pagi untuk sang ibu yang mulai sering lupa hari. Sampai kemudian sebuah telepon datang. Dari kantor hukum Dirgantara & Partners. “Saya diminta menyampaikan bahwa klien kami, Tuan Raydan Dirgantara, ingin bertemu Ibu Nara Ayuningtyas secara langsung. Ada hal penting berkaitan dengan surat wasiat mendiang Haji Wirya Dirgantara,” suara perempuan di seberang terdengar tenang dan terlatih. Nara terdiam sesaat, merasa nama-nama itu lebih cocok muncul di kolom bisnis sebuah majalah ekonomi, bukan dalam percakapan teleponnya yang biasa diwarnai permintaan revisi artikel atau pengiriman invoice. “Saya tidak mengenal siapa pun dari keluarga Dirgantara,” ucap Nara. “Saya paham. Tapi ini permintaan langsung dari pewaris utama. Hanya Anda yang disebut dalam klausul khusus surat wasiat.” Ruang pertemuan kantor hukum itu terlalu mewah untuk disebut ruangan. Dinding kaca tinggi memperlihatkan pemandangan kota dari lantai tiga puluh. Karpetnya tebal, seperti menolak sepatu-sepatu yang terlalu sederhana untuk menginjaknya. Di ujung ruangan, seorang pria berdiri membelakanginya, menatap ke luar jendela. “Terima kasih sudah datang,” katanya, tanpa menoleh. Suaranya dalam dan jernih, tidak tergesa-gesa, tapi juga tidak bersahabat. Nara diam sejenak, lalu duduk di kursi yang disiapkan. “Saya datang karena penasaran. Bukan karena saya punya banyak waktu luang.” Lelaki itu berbalik. Tubuhnya tinggi, postur tegak seperti orang yang sudah terbiasa memimpin ruangan. Wajahnya tenang, hampir datar, seperti ukiran dalam batu. Tidak ada kesombongan. Tapi juga tidak ada keramahan. “Ayah saya, Haji Wirya Dirgantara, mewariskan seluruh saham utama PT Dirgantara Lestari kepada saya. Tapi ada satu syarat.” Nara menunggu. “Saya harus menikah. Dalam waktu tiga bulan setelah surat wasiat dibacakan. Dan menikah bukan dengan siapa saja, tapi dengan nama yang disebutkan secara eksplisit.” Jeda. “Nara Ayuningtyas.” Nara tertawa kecil, pendek, tidak menyembunyikan sinisme. “Maaf. Ini lucu. Apakah saya sedang berada dalam sinetron sore yang salah?” Raydan menggeser sebuah map biru ke arahnya. “Anda bisa membaca langsung. Saya tidak punya alasan untuk bercanda.” Nara menatap nama ayahnya di halaman depan surat itu. Segel notaris resmi. Semua tampak sah. Terlalu sah untuk sesuatu yang tampak tidak masuk akal. “Ayah saya kenal dengan ayah Anda?” tanyanya pelan. “Saya sendiri tidak tahu. Tapi berdasarkan catatan, mereka pernah terlibat dalam proyek perumahan kecil dua puluh tahun lalu. Nama ayah Anda tercantum sebagai konsultan anggaran. Mungkin ada cerita yang tidak saya tahu.” Nara meremas jemarinya di bawah meja. Ini terlalu asing, terlalu cepat, dan terlalu absurd untuk ditelan tanpa rasa getir. “Dan Anda ingin menikah dengan saya... hanya karena surat ini?” Raydan mengangguk. “Bukan menikah dalam pengertian konvensional. Tapi dalam pengertian legal. Kita menandatangani perjanjian pernikahan kontrak. Dua tahun. Setelah itu, kita bercerai. Anda bebas. Saya mendapatkan hak penuh atas perusahaan. Anda mendapatkan kompensasi.” “Berapa?” “Satu miliar rupiah, lunas di awal. Ditambah pembayaran bulanan selama dua tahun.” Nara tak langsung menjawab. Ia menghabiskan sisa waktu pertemuan dengan membaca dokumen itu perlahan. Matanya menelusuri setiap pasal, bahkan yang terasa absurd sekalipun. Ia tidak ingin terlihat terkejut, meski hatinya berdebar seperti ingin meledak. Bagian dari dirinya ingin melempar map itu ke lantai dan keluar. Tapi bagian lain mengingat wajah ibunya yang kini hanya hidup dari pensiun almarhum suami dan tabungan yang menipis. Rumah mereka di Rawamangun sudah disita bank, hanya belum dieksekusi. Dan ia sendiri belum bisa membayar uang sewa kos bulan depan. Ia menutup map itu perlahan. “Berikan saya waktu tiga hari.” Raydan mengangguk. Malam itu, Nara duduk di meja makan sendirian. Ibunya sudah tertidur. Ia membuka laptop dan mengetik nama Raydan Dirgantara. Hasil pencarian membanjir: pewaris perusahaan properti terbesar ketiga di Indonesia, lulusan luar negeri, single, tidak banyak tersorot media. Sosok yang lebih sering muncul di majalah bisnis ketimbang akun gosip selebritas. “Kenapa aku?” gumamnya pelan. Tapi hidup, katanya pada dirinya sendiri, bukan soal siapa yang pantas. Melainkan siapa yang bisa bertahan cukup lama untuk membuat pilihan—bahkan jika pilihan itu sama sekali tidak masuk akal. Nara menatap berkas di meja. Di situlah namanya tercetak rapi, berjejer di samping nama seorang pria yang bahkan belum ia kenal dua jam lalu. Dalam hidup, kadang yang kau butuhkan bukan cinta di awal. Tapi keberanian untuk memerankan sesuatu yang tak pernah kau bayangkan akan menjadi milikmu—meski hanya sementara.Raydan bangun lebih pagi dari biasanya. Untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, ia tidak bergegas membuka laptop, tidak langsung membaca laporan, tidak mencari jadwal meeting yang harus dikejar.Yang ia lakukan: memasak sarapan.Nasi goreng sederhana. Telur mata sapi yang agak gosong di pinggir. Dan teh manis panas yang diseduh terlalu manis karena ia tidak yakin berapa sendok seharusnya.Saat Nara muncul dari balik pintu kamar, rambutnya masih setengah basah, mata masih mengantuk, ia menemukan meja makan yang berbeda dari biasanya. Bukan hanya soal menu, tapi tentang siapa yang menyusunnya. Dan niat di baliknya.“Tumben,” katanya singkat.Raydan menoleh. Ia nyaris terlihat canggung, tapi tetap menjaga gaya tenangnya yang biasa.“Mulai hari ini, aku pikir… aku mau mencoba menjadi suami. Yang beneran.”Nara duduk, mengamati piringnya. “Telurnya gosong.”Raydan tersenyum. “Cinta juga kadang gosong kalau dimasak buru-buru, kan?”Nara tak bisa menahan senyum. “Kamu baru aja nyontek
Nara tidak tidur malam itu. Setelah Raydan tertidur di sofa, tubuhnya masih setengah basah dan dilingkupi mimpi buruk yang tak bersuara, Nara berjalan pelan ke kamar kerja. Ia duduk di depan laptop dan mengetik satu nama yang sejak beberapa jam terakhir mengendap dalam pikirannya:Aluna Maheswari.Tak banyak hasil yang muncul di mesin pencarian. Tidak ada foto, tidak ada berita besar. Hanya satu tautan menuju blog lama yang tak lagi aktif. Judul terakhirnya bertanggal empat tahun lalu, dengan judul yang menyayat:“Untuk yang Tak Pernah Datang Kembali.”Nara mengeklik.Tulisan di sana adalah catatan kehilangan. Tentang seorang perempuan yang kehilangan bayinya. Tentang laki-laki yang tak bisa ia benci, karena ia terlalu ia cintai. Tentang harapan-harapan yang patah tapi tak pernah ia kutuk.Kalimat terakhirnya membekas tajam di benak Nara.“Jika dia masih hidup, mungkin hari ini dia memanggilmu Ayah. Tapi kamu memilih menjadi asing.”Nara menutup laptop. Udara di ruangan terasa lebih b
Gaun putih gading itu melekat sempurna di tubuh Nara, menjuntai anggun hingga lantai. Desainer pribadi keluarga Arsinaga yang memilihkan—katanya, supaya ia “seimbang” dengan Raydan di acara gala amal malam ini. Tapi Nara tahu, yang sesungguhnya diminta bukan hanya keindahan luar—melainkan pencitraan yang nyaris sempurna.Di depan cermin, ia menarik napas. Malam ini, bukan hanya tentang menghadiri acara. Ini tentang mempertahankan posisi, membungkam bisik-bisik yang kini mulai menggerogoti rumah tangganya.Raydan datang beberapa menit sebelum mereka berangkat. Mengenakan setelan gelap klasik, dasi perak, dan aura dingin yang biasa. Tapi saat melihat Nara, ia berhenti sebentar.“Kamu terlihat… luar biasa.”Nara tak menanggapi. “Kita akan main peran malam ini, kan? Ayo kita pastikan panggungnya megah.”Raydan menghela napas, lalu mengulurkan tangan. Mereka berjalan ke mobil dengan keheningan yang lebih tajam dari percakapan mana pun.—Gedung opera tempat gala berlangsung bagaikan istana
Nara berdiri di balkon kamarnya, menyandarkan kedua tangan di pagar besi yang mulai berembun karena sisa hujan subuh tadi. Di dalam pikirannya, kata-kata Raydan terus terulang—"Seseorang dari masa laluku yang belum selesai." Dan kini, masa lalu itu punya nama dan wajah: Nadine.Angin berembus pelan, membawa aroma mawar dari taman bawah. Tapi aroma itu tak mampu menenangkan kegundahan dalam dada Nara. Ia tahu sejak awal bahwa pernikahan ini dibangun dari kesepakatan, bukan cinta. Tapi setelah semua langkah mereka, setelah pelan-pelan mereka membuka ruang kejujuran dan rasa, kenapa bayangan perempuan lain harus muncul saat ia mulai percaya?Raydan masuk ke kamar, tak mengetuk seperti biasanya. Mungkin karena ia tahu tak ada lagi dinding formalitas di antara mereka—yang tersisa hanya diam yang menggantung, seperti benang tipis yang nyaris putus.“Nara…” katanya lirih, mendekat.Nara tak menoleh. “Apa maksudmu belum selesai?”Raydan mendesah, duduk di tepi ranjang. “Nadine… dia dulu tunan
Setelah semua kepergian, yang tersisa hanyalah keheningan. Tapi keheningan kali ini tidak menyakitkan—ia seperti jeda yang dibutuhkan setelah tangis panjang. Nara duduk di kamar, di kursi dekat jendela, menyaksikan hujan tipis menghapus sisa debu di kaca. Di belakangnya, Raydan berdiri tanpa suara, membawa secangkir teh hangat."Masih hangat," katanya, meletakkan cangkir di meja kecil. “Katanya, teh bisa menenangkan detak jantung yang terlalu sibuk berpikir.”Nara menoleh, memberi anggukan kecil. “Terima kasih.”Raydan tak langsung pergi. Ia duduk di karpet, bersandar pada ranjang, sementara hujan menyanyikan lagu tenangnya sendiri.“Dulu,” ujar Raydan tiba-tiba, “aku pikir pernikahan cuma soal kesepakatan dan tanggung jawab. Tapi hari-hari denganmu... ternyata bukan cuma soal itu.”Nara membiarkannya bicara. Ini pertama kalinya Raydan membuka ruang di antara mereka tanpa topeng atau formalitas.“Aku lihat cara kamu menghadapi keluargaku. Cara kamu menyimpan kesedihan tapi tetap berdi
Ruang tamu keluarga Wijaya pagi itu terasa seperti ruang sidang tak resmi. Para kerabat berkumpul—beberapa dengan tatapan tajam, sisanya menyembunyikan bisik-bisik di balik cangkir teh. Nara berdiri tegak di antara mereka, sementara Raydan duduk di sisi lain, diam seperti batu karang yang siap menahan gelombang.“Apa benar lelaki itu datang mencarimu semalam?” tanya Tante Lydia, nada suaranya setajam pisau dapur.Nara menahan napas. Semua mata tertuju padanya. Ia tahu hari ini akan datang. Tapi tetap saja, ia tidak pernah siap menghadapi pertanyaan yang menggugat integritasnya sebagai seorang istri—meskipun pernikahan itu sendiri dibangun dari skenario yang tak sepenuhnya tulus.“Dia datang tanpa undangan. Dan dia bukan siapa-siapa lagi,” jawab Nara tegas.“Lucu,” sahut seorang sepupu Raydan. “Tapi bukankah dia mantan kekasihmu? Apa kamu pikir keluarga ini akan diam saja setelah melihatmu menangis semalam?”Nara menoleh pada Raydan. Sekilas, ia mencari sandaran—tanda bahwa dirinya tid
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen