Hari itu, ruang rapat lantai 20 dipenuhi layar, bagan, dan proyeksi angka. Ini adalah pertemuan awal untuk merger antara Dirgantara Lestari dan SilverSouth Holdings. Nara duduk di ujung kanan meja, catatan di pangkuan, pena di tangan. Ia diundang bukan sebagai pajangan. Tapi juga… belum sepenuhnya diakui.
Karina duduk dua kursi di sebelahnya. Rapi. Waspada. Senyumnya seperti gorden mahal—cantik, tapi menyembunyikan terlalu banyak.
“Terima kasih Ibu Nara sudah bergabung. Tak banyak istri CEO yang memilih hadir di ruang seperti ini,” ujar salah satu direktur muda, setengah meremehkan.
Nara menoleh. “Saya tidak hadir sebagai istri. Saya hadir sebagai seseorang yang ingin tahu ke mana masa depan perusahaan ini dibawa.”
Hening sesaat. Lalu rapat dimulai.
Laporan demi laporan ditampilkan. Presentasi dari SilverSouth tampak meyakinkan. Angka pertumbuhan, grafik investasi, hingga rencana tiga tahun ke depan yang dirangkai seperti puisi korporat. Semua tampak rapi. Mungkin terlalu rapi.
Tapi sa