Home / Romansa / Antara Peran dan Perasaan / Bab 18 – Tamu dari Singapura

Share

Bab 18 – Tamu dari Singapura

Author: Ayla
last update Last Updated: 2025-05-31 23:37:22
Langit Jakarta kembali mendung ketika Nara tiba di lobi kantor Dirgantara Lestari. Ini pertama kalinya ia kembali setelah konferensi pers. Tapi kali ini bukan sebagai objek klarifikasi. Hari ini, ia diminta hadir sebagai bagian dari presentasi—bukan atas nama cinta, melainkan reputasi.

“Investor Singapura akan datang. Mereka ingin bertemu beberapa eksekutif, dan… istri CEO,” kata Karina kemarin sore, nada suaranya mengandung arti ganda yang tak tersamar.

Raydan awalnya tak setuju.

“Aku tidak ingin kamu diadu lagi,” katanya.

Tapi Nara menjawab, “Kalau kita mau membuktikan semuanya nyata, maka aku akan berdiri di sampingmu. Bukan karena diminta, tapi karena aku memilih.”

Ruang rapat utama sudah disiapkan. Meja panjang kaca, kursi kulit gelap, presentasi berisi angka-angka pertumbuhan, dan jamuan makan siang kelas atas yang lebih terlihat sebagai dekorasi daripada makanan.

Yang masuk pertama adalah dua orang asing. Pria paruh baya bernama Mr. Adrian Ng—CEO SilverSouth Holdings, dan asiste
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 39 – Luka yang Belum Selesai

    Dua hari setelah kepulangannya dari Kuala Lumpur, Nara menerima panggilan dari Bayu pukul 07.00 pagi. “Nara, kamu harus buka tautan ini.” Ia mengirimkan artikel panjang dari Asia Ethical Lens, media investigatif berbasis di Seoul. Judulnya memuat empat kata yang membuat jantung Nara membeku: “Legacy Crisis: How PR Saved the Numbers, and Buried the Truth” Isinya: penyelidikan terhadap satu kampanye besar yang dilakukan Dirgantara tiga tahun lalu, saat Karina masih menjabat. Kampanye yang membungkus ulang laporan kerusakan lingkungan proyek Jatiwaru Tech Valley menjadi narasi hijau yang memenangkan penghargaan nasional. Masalahnya? Sebagian besar narasi itu berbasis pada data yang dimanipulasi. Dan lebih buruknya: sistem komunikasi digital yang digunakan dalam kampanye tersebut masih aktif hingga hari ini, bahkan menjadi bagian dari sistem yang sekarang berada di bawah tanggung jawab Nara. Pukul 08.00, ruang rapat darurat dibuka. Semua mata menatap Nara. Pak Elvino berbicara dul

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 38 – Di Hadapan Dunia, Tanpa Topeng

    Ruang konferensi Grand ASEAN Hall dipenuhi sekitar lima ratus delegasi dari berbagai negara. Lampu panggung menyala lembut, bendera ASEAN bergantung di latar belakang, dan layar besar menampilkan nama Nara dengan grafis biru keemasan.Nara Ayuningtyas – Indonesia “Reputasi Sebagai Kontrak Moral: Komunikasi dalam Era Kritis”Di kursi barisan depan, Karina duduk diam, mengenakan setelan biru gelap dan scarf perak. Wajahnya netral, nyaris tak berekspresi. Tapi Nara melihat matanya. Sorot yang bukan menantang… tapi menilai. Menakar.Dan mungkin, menunggu Nara terpeleset.Pidato Nara mengalir dengan tenang. Ia tak membacakan naskah. Ia bercerita.“Kita hidup di zaman di mana krisis bukan datang dari kegagalan sistem, tapi dari ketidakjujuran narasi. Kita bisa memperbaiki laporan keuangan. Tapi reputasi? Itu dibangun dari bagaimana kita bereaksi saat tidak ada yang memberi kita keuntungan.”Ruangan diam. Lalu tepuk tangan perlahan mengalir—tak meledak, tapi menghormati.Moderator naik ke p

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 37 – Gema yang Diinginkan Dunia

    Hari pertama Nara sebagai direktur dimulai bukan dengan selebrasi, melainkan dengan notifikasi email dari Harbor Ethics Quarterly, sebuah jurnal etika bisnis berbasis di London.“Kami membaca esai Anda: ‘Tentang Mereka yang Pernah Gagal Tapi Tak Lari’. Ini suara langka di tengah era PR manipulatif. Kami ingin menerbitkannya untuk edisi berikut.”Tapi ada catatan:“Kami menyarankan penguatan sikap dalam paragraf akhir: mengubah nada dari reflektif menjadi deklaratif. Dunia perlu tahu bahwa Anda tidak hanya berdamai... tapi juga bangkit dengan api.”Nara membaca ulang esainya. Ia tahu bagian yang dimaksud:“…dan jika kalian pikir kegagalan kami membuat kami tak layak berdiri, maka biarkan kami duduk sejenak. Tapi jangan pernah menghentikan kami belajar berdiri kembali.”Mereka ingin itu diubah menjadi:“…kami bangkit. Dan tak akan membiarkan satu pun sistem busuk berdiri di atas punggung kami lagi.”Lebih keras. Lebih marah. Lebih "layak headline".Nara bersandar di kursinya yang baru.

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 36 – Peran yang Lebih Besar

    Lobi Dirgantara Lestari pagi itu dipenuhi kamera. Lampu-lampu sorot membanjiri podium kaca di tengah ruangan. Papan nama:KONFERENSI PERS: Era Baru Transparansi Perusahaan.Media nasional hadir. Wartawan bisnis, jurnalis independen, bahkan kanal internasional. Dan di tengah itu semua, berdiri sosok yang telah mereka kenal dalam fragmen-fragmen kontroversi, opini, dan kemenangan sunyi: Nara Ayuningtyas.Hari ini, ia tak lagi duduk di balik meja komunikasi. Hari ini, ia menjadi suara utama.Raydan berdiri di sisi podium. Ia membuka sesi dengan kalimat yang ringkas namun berat:“Kita telah melalui tahun yang membuktikan satu hal: bahwa perusahaan bisa tumbuh bukan karena sempurna, tapi karena bersedia dibenahi.”Lalu ia menoleh ke arah Nara. “Dan hari ini, suara utama pembaruan itu... akan kalian dengar langsung dari orang yang menginisiasinya.”Nara berdiri tegak. Wajahnya tidak tegang. Tapi matanya menyimpan sesuatu yang dalam—bukan kekuatan, tapi kesiapan.Layar di belakang menampil

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 35 – Dokumen yang Terlupa

    Hujan turun perlahan saat Bayu menyerahkan satu map cokelat ke meja kerja Nara. Tak ada ekspresi di wajahnya, hanya sorot mata yang mengatakan: “kita harus bicara.”“Dari mana ini?” tanya Nara.“Dari arsip merger dua tahun lalu. Tim pengarsipan menemukannya waktu mereka memindahkan berkas ke server baru. Tidak pernah dipindai digital.”Bayu membuka map itu perlahan.Di dalamnya: laporan keuangan, memo komunikasi lintas divisi, dan satu lembar dokumen kerja sama pra-merger antara pihak Dirgantara dan lembaga penasihat luar.Yang menarik perhatian bukan isi angkanya.Tapi kolom tanda tangan.Tertulis jelas:Disahkan oleh: Renata Dirgantara. Jabatan saat itu: Advisor Legal Eksternal (independen).Nara membeku.Renata. Ibu Raydan. Istri dari pendiri Dirgantara Lestari. Dan selama ini… dianggap sudah tidak aktif sejak lima tahun terakhir.“Dokumen ini legal?” tanya Nara.Bayu mengangguk. “Ditandatangani di atas materai. Diarsipkan oleh tim merger lama, tapi tidak pernah muncul di tinja

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 34 – Di Panggung yang Sama

    Nara berdiri di balik panggung utama ruang konferensi. Aula besar di pusat kota itu dipenuhi delegasi, jurnalis, pemilik perusahaan, dan mahasiswa pascasarjana. Spanduk digital menggantung di atas kepala mereka:"Etika dan Keberanian: Masa Depan Bisnis di Era Transparansi"Nama Nara muncul di layar besar. Di bawahnya, gelar barunya: Konsultan Strategi Publik & Komunikasi Etis – Dirgantara Lestari.Tepuk tangan mengisi ruangan saat pembawa acara memanggilnya.Tapi yang membuat udara mendadak berubah bukan itu—melainkan saat MC mengumumkan siapa pembicara berikutnya setelah Nara:“Sesi kedua nanti akan diisi oleh tokoh penting dalam dunia komunikasi korporat Indonesia, mantan direktur PR Dirgantara Lestari: Ibu Karina Widjaya.”Suara mikrofon sempat bergetar.Tepuk tangan menyusul, tapi berbeda nadanya. Seperti menunggu drama.Nara hanya tersenyum tipis. Ia membisik pada dirinya sendiri:“Ini bukan panggung siapa yang menang. Ini ruang siapa yang tetap tenang.”Di atas podium, Nara berd

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status