Gantari bangun dari tidurnya yang tak nyenyak dan bersikap seperti orang bodoh.
Gantari masih sanggup mengucapkan, "Selamat pagi, Mas," setelah semalam dibuat patah oleh Dirja yang dengan tanpa dosanya berteleponan dengan wanita lain saat sang istri sedang berbaring di sampingnya.
"Ya. Ini sudah pagi," jawab suaminya itu datar.
Dirja sudah tampak rapi--dan tampan--dengan setelan baju koko putih dan sarung berwarna biru dongker dengan motif sulur-sulur kecil di bagian bawah. Di kepalanya terpasang peci hitam yang menyempurnakan penampilannya.
"Saya mau salat Subuh," ucap pria itu. "Mau jamaah?"
Gantari menahan napas. Tak peduli pada keadaan dadanya yang sesak karena tidak mendapatkan pasokan oksigen yang cukup.
Ajakan untuk salat berjamaah--untuk kali pertama, terasa begitu personal dan intim. Sebagai istri, tentu saja Gantari berhak dan sudah sewajarnya melakukan ibadah berdua dengan sang suami. Pahalanya besar. Namun, mereka kan bukan seperti pasangan normal pada umumnya yang menikah untuk menyempurnakan ibadah.
Sayangnya, Gantari tak sudi diimami oleh pria berengsek yang terang-terangan mengkhianati janji pernikahan yang telah diikrarkan di depan Tuhan.
"Mas duluan aja. Aku mau mandi dulu," balas Gantari seraya menyibak selimut dan turun dari atas tempat tidur.
"Saya tungguin."
"Nggak usah, Mas."
"Kamu kok kayak nggak mau banget jamaah sama saya?" sergah Dirja defensif. "Kenapa?"
"Bukan begitu, Mas. Aku mandinya lama. Soalnya mau sekalian keramas juga. Kelamaan nanti Mas nunggunya." Gantari memaksakan senyum tipis untuk menutupi keengganannya. "Mas Dirja salat duluan aja ya," ulangnya kembali.
Dirja menatap istrinya lama. Entah apa yang ada di benak pria itu setiap kali memaku tatap pada Gantari dengan pandangan yang intens dan dalam. Gantari tidak pernah bisa membacanya.
Gantari mengalihkan fokus untuk menggelung rambut seraya berjalan ke arah lemari yang ada di dekat Dirja menggelar sajadah.
"Maaf ya, Mas. Sebentar," izin Gantari saat membuka pintu lemari.
Wanita itu cepat-cepat mencari pakaian ganti dan segera beranjak ke kamar mandi diikuti tatapan Dirja yang terasa menusuk punggung.
Hampir tiga puluh menit Gantari berada di kamar mandi. Saat keluar dengan tubuh yang terasa lebih segar--meski kurang tidur, Dirja sudah tidak ada di kamar.
Sajadah yang dipakai Dirja untuk salat Subuh tadi telah terlipat rapi dan diletakkan di atas nakas. Tempat tidur yang ditinggalkan Gantari dalam keadaan berantakan juga sudah kembali rapi. Selimut yang dipakai Gantari tertumpuk di atas bantal bersama dengan selimut milik Dirja juga.
***
Setelah salat Subuh yang tak khusyuk, Gantari terlebih dahulu menyibak gorden yang menutupi jendela agar nanti cahaya matahari bisa langsung masuk. Lalu wanita itu beranjak ke dapur.
Di sana, Bulik Ambar sudah sibuk berkutat dengan bahan-bahan masakan untuk sarapan.
"Maaf, Bulik. Tari mandi kelamaan tadi, jadi telat buat siapin sarapan," sesal Gantari tak enak hati.
"Nggak perlu minta maaf, Tari. Bulik saja yang kepagian. Memang sudah terbiasa masaknya pagi-pagi. Soalnya anak-anak kan berangkat sekolahnya jam enam. Paklik juga ke sawah pagi-pagi sekali."
"Paklik masih rutin ke sawah ya, Bulik?" tanya Gatari seraya mengupas bawang putih.
Seperti semalam, Gantari dan Bulik Ambar pagi ini kembali bekerja sama menyiapkan makanan untuk sarapan bersama keluarga.
"Ya masih. Eman kalau sawah warisan Simbah nggak diurus."
Gantari manggut-manggut dan beralih untuk mencuci sayuran, masih sambil mengobrol dengan Bulik Ambar.
Suasana di dapur itu lebih santai ketimbang semalam karena diisi dengan obrolan-obrolan ringan. Bulik Ambar lebih banyak bercerita tentang kehidupan di desa yang sudah Gantari tinggalkan selama enam bulan.
Mendadak saja, Gantari rindu pada kampung halamannya yang menjadi tempat wanita itu tinggal dan bertumbuh dari sejak lahir hingga dewasa. Saat mengenyam pendidikan di bangku kuliah pun, Gantari memilih perguruan tinggi yang bisa ditempuh pulang pergi tanpa perlu ngekos.
Kalau bukan karena menikah dengan Dirja yang menetap di ibukota, Gantari mungkin tidak akan pernah meninggalkan kampung halamannya.
"Oh iya, Nduk. Bulik baru ingat. Ini kan sudah mau Ramadhan."
"Iya, Bulik. Kenapa?"
"Waktu itu Bulik sudah sempat bilang ke Dirja supaya meluangkan waktu untuk ziarah ke makam orang tua kalian di kampung."
Gantari terdiam.
Merasa bersalah karena sama sekali tidak terpikir untuk mengunjungi makam kedua orang tuanya dalam waktu dekat ini. Padahal, dulu saat masih di kampung, hampir setiap hari Jum'at Gantari pergi ke makam.
"Jadi kalian mau pulang tanggal berapa nanti, Nduk?"
Gantari tidak punya jawaban.
Sebab, Dirja tidak pernah mengatakan apa pun padanya tentang rencana untuk pulang ke kampung halaman berdua. Padahal bulan puasa hanya tinggal dua mingguan lagi, sementara di kantor tempat Gantari kerja kalau mau mengajukan cuti harus dari jauh-jauh hari. Tidak bisa dadakan, apalagi untuk pegawai yang masih terhitung baru.
"Tari, kok malah melamun?" Bik Ambar geleng-geleng kepala tak habis pikir. "Masih pagi lho ini! Sudah nggak fokus kamu."
"Eh iya, Bulik. Itu... Mas Dirja masih urus cutinya," jawab Gantari terbata. "Tari juga belum tahu bisa dapat cuti atau enggak."
Ia tidak asal ceplos. Semalam, Dirja sendiri yang berkata--walau bukan bicara langsung kepada Gantari--kalau pria itu akan mengajukan cuti di hari Senin besok, kan?
Kalau Dirja bisa mendapatkan cuti, Gantari juga akan mengusahakannya agar mereka bisa pulang. Ah, tetapi kalau Dirja ternyata lebih mengutamakan bertemu dengan sang pujaan hati alih-alih pulang kampung seperti yang diharapkan Bulik Ambar, itu sudah di luar kuasa Gantari. Ia tidak punya tenaga untuk memaksa Dirja bertindak di luar kehendak pria itu sendiri.
Namun, diam-diam Gantari tetap berharap agar suaminya masih cukup waras. Menemui Asoka--atau siapa pun nama kekasih hati suaminya itu--masih bisa dilakukan di lain waktu, bukan?
"Lho... sebentar, Nduk," tukas Bulik Ambar bingung. Kening wanita itu berkerut-kerut. "Tadi kamu bilang masih mau urus cuti. Memangnya kamu di sini sibuk kerja juga?"
Gantari tidak berniat menyembunyikan statusnya sebagai pekerja karena memang begitu adanya, tetapi kenapa di depan Bulik Ambar sekarang ia merasa seperti maling yang baru tertangkap basah?
"Nduk, pertanyaan Bulik belum kamu jawab," desak Bulik Ambar tak sabar.
"Iya, Bulik," jawab Gantari jujur. "Sudah empat bulan--"
"Ya Allah, Nduk. Buat apa sih kamu kerja? Memangnya nafkah dari suamimu tidak cukup?"
"Alhamdulillah, nafkah dari Mas Dirja lebih dari cukup, Bulik."
Dirja pernah satu kali menyebutkan nominal nafkah bulanan yang akan pria itu kirimkan setiap awal bulan. Jumlahnya lebih banyak dari gaji Gantari sekarang. Hampir dua kali lipatnya.
Namun, sebenarnya, Gantari belum pernah menyentuh uang dari Dirja itu sepersen pun. Dua bulan pertama sebelum Gantari diterima kerja, wanita itu menggunakan uang tabungan yang ditinggalkan kedua orang tuanya untuk bertahan hidup.
Sementara itu, di hari yang sama dengan saat Dirja memberikan buku rekening dan ATM-nya kepada Gantari, wanita itu langsung menyimpannya di antara tumpukan berkas-berkas penting tanpa pernah menyentuhnya lagi.
"Lalu kenapa kamu masih bekerja? Dirja yang nyuruh?"
"Bukan, Bulik. Ini memang murni kemauan Tari sendiri," jawab Gantari cepat. Ia sempat terkejut karena Dirja kembali menjadi tertuduh.
"Dapat izin dari Dirja?"
"Ya, Bulik?"
"Sebelum kamu mulai bekerja, kamu sudah minta izin sama suamimu dan mendapatkan izinnya?" Bulik Ambar mengulang pertanyaannya dengan lebih jelas. "Karena kalau suamimu melarang, pekerjaanmu jadi nggak akan berkah."
Gantari tersenyum getir. Jawabannya sudah pasti tidak.
Maksudnya, bukan karena Dirja melarang dan kemudian Gantari membangkang, tetapi karena mereka sudah sepakat untuk tidak saling mencampuri urusan masing-masing.
Jadi, untuk apa Gantari repot-repot meminta izin kepada pria yang sudah secara gamblang membebaskannya untuk melakukan apa pun?
"Astaghfirullahal'azim, Bulik benar-benar nggak paham sama jalan pikiranmu, Tari."
Keterdiaman Tari sudah menjadi jawaban yang amat jelas untuk pertanyaan Bulik Ambar tadi. Yang kini menghunjam Gantari dengan tatapan menghakimi.
"Kamu itu sebenarnya tahu atau enggak kalau baktinya seorang perempuan yang sudah menikah itu salah satunya dengan melayani suaminya dengan baik?"
Suara Bulik Ambar yang tegas dan naik satu oktaf, ditambah ekspresi wajah yang keras membuat Gantari menunduk pasrah dan hanya menjawab, "Iya, Bulik."
"Kalau sudah tahu kenapa nggak dilakukan, Nduk? Kalau kamu malah sibuk sendiri dengan urusanmu di luar sana, bagaimana dengan kebutuhan suamimu di rumah? Yakin bisa terpenuhi?" cecar Bulik Ambar makin menjadi.
Gantari bungkam seribu bahasa.
"Kamu sudah dewasa. Seharusnya bisa mikir mana yang harus menjadi prioritas utama," ucap Bulik Ambar lagi. "Jangan karena Dirja bersikap baik dan kasih kelonggaran, terus kamu malah menyepelekan dan melalaikan kewajibanmu sebagai istri."
Sementara itu di makam. Gantari sudah pergi cukup lama bersama Dina, tetapi Dirja masih belum berpindah dari posisinya. Pria itu menatap kosong pada berplastik-plastik bunga yang kini tergenang air. Belum sempat ditaburkan.Setiap kata yang diucapkan Gantari hingga ekspresi wanita itu saat bicara kepadanya tadi masih terekam jelas di kepala.Kacau.Itu satu-satunya yang menggambarkan hubungannya dengan Gantari sekarang.Dirja sadar betul kalau tindakannya sudah sangat melukai sang istri. Tetap menikahi dan mempertahankan Gantari meski ada wanita lain yang menghuni hatinya adalah pilihan paling egois dan kejam. Tidak hanya untuk Gantari, tetapi juga untuk Asoka yang sudah kehilangan banyak hal hanya demi bisa tetap berada di sisi pria itu.Ia sudah salah melangkah karena berpikir bahwa wasiat orang tua harus diutamakan meski tidak bisa menjalankan pernikahan dengan Gantari selamanya.Itulah sebabnya ia ingin mengubah sikap dan memperlakukan sang istri dengan baik meski tetap tak bisa
Gantari tidak tahu apa yang merasuki dirinya saat tiba-tiba bicara tentang hal-hal gila di depan makam kedua orang tuanya.Mungkin ia kerasukan setan gila yang mendambakan cinta dari pria yang dicintainya. Atau sebenarnya Gantari sedang mengungkapkannya isi hatinya secara jujur.Bahwa seandainya bisa, maka ia ingin mempertahankan pernikahannya dengan Dirja. Sampai selamanya. Sebab, tidak mungkin ada orang normal yang bercita-cita menjadi janda. Begitu pula Gantari.Seperti yang dikatakan Bulik Umi tentang perjodohan yang telah dirancang orang tuanya dan orang tua Dirja sejak lama. Tidak seharusnya pernikahan itu mereka lakukan hanya demi memenuhi wasiat orang tua. Lalu mengakhirinya setelah merasa 'telah' membayar lunas wasiat itu. Yang seharusnya mereka lakukan adalah menjalani pernikahan dengan sebaik-baiknya."Saya tidak bisa meninggalkan Asoka," cetus Dirja.Suara suami Gantari itu begitu dingin, mengalahkan dinginnya air hujan yang jatuh memeluk bumi.Pria itu tampak tak tergoyah
Meski tak mengatakannya secara langsung, Gantari sadar kalau seharian ini Dirja secara halus 'menyelamatkan' dirinya dari cecaran Bulik Umi.Dari sejak sarapan tadi, Dirja tiba-tiba bilang kalau Gantari agak pusing setelah menempuh perjalanan berjam-jam. Yang akhirnya wanita itu dibiarkan untuk beristirahat di kamar sampai Dzuhur. Lalu setelah makan siang, Dirja mengajaknya jalan-jalan.Pria itu pamit kepada Bulik Umi dengan beralasan, "Mau sekalian beli bunga untuk dibawa ke makam sore nanti."Gantari sangat berterima kasih atas inisiatif suaminya itu. Tetapi rasanya ia juga ingin tertawa keras-keras. Pasalnya, sejak menikah, mana pernah mereka keluar bersama hanya berdua seperti ini?Sepasang suami istri itu menaiki motor bebek butut milik Paklik Nuri--suami Bulik Umi--dan menyusuri jalan tanpa tujuan.Gantari sempat berkomentar kalau mereka hanya buang-buang bensin, tetapi Dirja dengan santai menyuruhnya menikmati suasana tenang di sana, yang tak akan mereka temukan di kota sibuk s
"Di seberang stasiun ada hotel, kita bisa mampir ke sana dulu sebelum pulang. Bagaimana?"Dirja tadinya tidak serius akan ajakannya itu. Ia hanya ingin mengalihkan pikiran istrinya agar tidak terlalu tegang sebelum mereka bertemu keluarga di kampung.Namun, melihat tanggapan Gantari yang saat ini tersipu-sipu sampai memalingkan wajah karena tak tahan beradu tatap dengannya, membuat Dirja goyah.Ada dorongan kuat dari dalam dirinya untuk segera menyeret sang istri ke hotel mewah yang ada di seberang sana. Lalu mereka bisa bersenang-senang sejenak tanpa gangguan. Merealisasikan apa yang sempat tertunda."Mas Dirja!"Mendengar seseorang menyerukan namanya membuat fantasi Dirja pupus seketika.Bukan Gantari, melainkan suara milik seorang pria yang sangat Dirja kenal. "Tama, kok di sini?""Ya jemput Mas Dirja sama Mbak Tari iki, to," ucap sosok bernama Tama itu dengan logat khasnya. "Budhe Umi ngerusuhi aku subuh-subuh, tak kira ono opo. Ealah tibake kon jemput kakang karo simbak balik ka
Gantari terlalu tinggi berekspektasi.Setelah menunggu dua puluh menit, hanya ada dua mangkuk mi instan yang dilengkapi, telur, sosis dan sayur hijau yang tersaji di atas meja makan.Dirja menaikkan alis saat menyodorkan sendok dan garpu kepada sang istri. Namun, karena istrinya bergeming, pria itu meletakkan dua alat makan itu di samping mangkuk mi yang masih mengepulkan uap panas."Kelihatannya ada yang kecewa," gumam pria itu. "Kamu pasti mengira saya mau masak menu restoran bintang lima, ya? Makanya kamu antusias sekali tadi?"Gantari hanya menatap sang suami dalam diam.Jujur saja, wanita itu memang sangat menantikan makanan jenis apa yang akan suaminya buat untuknya."Tidak ada bahan yang masih cukup segar untuk dimasak," jelas Dirja membela diri setelah menyuap satu sendok penuh mi instan ke dalam mulut. Tidak mau repot menunggu sang istri yang belum menyentuh sendoknya sama sekali."Masih ada besok dan besoknya lagi kalau kamu pengen dimasakin. Sekarang itu dulu," ucap Dirja l
"Saya tahu betul kalau tubuh kamu menginginkan saya," ucap Dirja yang membuat bulu kuduk Gantari seketika berdiri.Rasa panas dengan cepat menyebar di wajahnya yang tampak sedikit pucat karena tidak lagi terpulas oleh riasan make up.Padahal, wajar saja jika seorang wanita mendamba pada tubuh seorang pria yang adalah suaminya sendiri. Namun, tidak demikian untuk Gantari. Rasanya sangat memalukan saat Dirja menangkap basah dirinya.Gantari tak yakin apakah motif sang suami saat mengatakannya dengan senyum yang terkulum di bibir.Apakah senang karena tidak hanya pria itu yang nafsu sendirian? Atau semata untuk mengolok-oloknya karena begitu mudah terperangkap pada pesona sang pria hanya karena sebuah ciuman yang memabukkan?"Mau kabur ke mana?"Baru mengayunkan satu langkah, Gantari berhenti.Meski sulit, Gantari menguatkan diri untuk menatap mata suaminya saat menjawab, "Aku mau siapin kompres dulu buat Mas.""Kamu tidak perlu repot--""Lebam di muka Mas udah biru-biru, kalau dibiarkan