Beranda / Rumah Tangga / Bukan Mempelai yang Kau Inginkan / BAB 5. "Aku juga merindukanmu."

Share

BAB 5. "Aku juga merindukanmu."

Penulis: Karma Police
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-18 10:25:27

"Tidak bisakah kamu bekerjasama dengan benar? Belum ada satu hari keluarga Bulik Ambar di sini dan kamu sudah mengacau."

"Bulik Ambar percaya dengan semua penjelasan Mas Dirja. Itu sudah cukup. Nggak usah dibahas lagi," balas Gantari dengan suara pelan tanpa menatap suaminya yang tiba-tiba menyusul ke dapur.

Wanita itu sedang menata piring-piring yang baru saja ia keringkan dengan kain lap ke rak piring kecil yang ada di samping kitchen sink.

Selesai dengan piring-piring dan perkakas masak, Gantari mengambil lap bersih dan membasahinya dengan air untuk mengelap meja makan dan dapur.

"Lagi pula, bukankah akan lebih mudah untuk kita kalau Bulik tahu dari sekarang, Mas? Biar sekalian dikabarkan ke keluarga di kampung. Supaya mereka bisa mempersiapkan diri juga."

"Apa maksudmu mempersiapkan diri?" desis Dirja.

Gantari memutar tubuh dan menghadap Dirja yang berdiri tak jauh darinya.

Dan pria itu tampak... kecewa?

Padahal, Gantari hanya mengutarakan kebenaran. Mau tidak mau, mereka harus memberitahu keluarga mereka tentang kabar buruk itu. Ah, mungkin akan menjadi kabar bahagia untuk Dirja yang akhirnya bisa mengakhiri pernikahan penuh keterpaksaan itu.

Sekarang atau nanti akan sama saja. Untuk apa ditunda-tunda?

"Aku bingung aja, Mas," tukas Gantari lelah. "Kenapa sih kita repot-repot bersandiwara di depan keluarga? Mereka akan sama kecewanya kalau tahu apa yang nanti terjadi dengan pernikahan ini."

"Itu urusan nanti. Kamu hanya perlu menjaga sikap sampai Bulik dan keluarganya pulang lusa. Memangnya sesusah itu?" geram Dirja.

"Oke, Mas tenang aja. Aku akan menjaga sikap di depan Bulik dan Paklik," tukas Gantari malas melanjutkan perdebatan.

Wanita itu sudah tidak mau repot mengoreksi perkataan Dirja. Bahwasanya bukan hanya dirinya yang harus menjaga sikap, tetapi pria itu juga.

"Di depan adikku juga. Dia masih remaja, tapi kepekaannya tinggi."

'Nasya juga adikku,' batin Gantari. Tetapi yang terucap dari bibirnya justru, "Ya, tentu."

Istri Dirja itu menyunggingkan senyum meski hatinya memendam kesal. "Masih ada lagi kesalahan-kesalahan yang perlu aku tahu? Supaya aku bisa introspeksi sekalian."

Dirja bungkam dengan ekspresi di wajah yang semakin keras. Gantari selalu saja punya cara untuk membalas ucapannya.

"Masuklah ke kamar," perintah pria itu akhirnya.

Gantari menggeleng. Dan kembali berbalik untuk melanjutkan kesibukannya. "Mas duluan aja. Aku masih belum selesai bersihin--"

"Biar saya yang menyelesaikan sisanya."

"Nggak usah, Mas. Ini tinggal sedikit, kok."

"Jangan membantah suamimu, Gantari. Ke kamar, sekarang!"

Gantari menghela napas panjang. Tidak punya alasan untuk mengulur-ulur waktu lebih lama. Dengan langkah-langkah kecil, wanita mungil yang tingginya hanya sedada Dirja itu beranjak meninggalkan dapur.

Ruang keluarga sudah sepi, lampu-lampu utama sudah dimatikan, berikut pintu kamar yang dihuni keluarga Dirja juga sudah tertutup rapat. Ini sudah di atas jam sepuluh. Wajar saja penghuni rumah sudah pada tidur.

Lain halnya dengan Gantari yang justru tak ingin cepat-cepat masuk ke kamar. Kalau bisa, wanita itu malah ingin melek sampai pagi saja asal tidak perlu terjebak di satu ruangan yang sama dengan Dirja.

Sayangnya, itu tidak mungkin.

***

Gantari sudah berkali-kali mengusapkan telapak tangannya yang basah pada celana tidur hingga kain yang menjadi pelampiasan gugupnya itu menjadi kusut. Namun, sudah sepuluh menit berdiri di depan pintu kamar Dirja yang tertutup rapat, usaha Gantari yang untuk meredakan degup keras jantungnya berakhir sia-sia.

Alih-alih menjadi normal, degupnya semakin keras bak genderang yang ditabuh di tengah perang. Amat sangat gaduh sampai Gantari khawatir seisi rumah bisa mendengar meski mereka tidak sedang berada di dekat wanita itu.

"Kenapa tidak masuk?"

"Astaghfirullah!" Gantari berjengit kaget. Refleks memegangi dadanya saat menyadari keberadaan Dirja.

Pria berwajah datar tanpa ekspresi itu semakin mendekat. Tidak berhenti sampai Gantari harus menahan dada pria itu agar tetap berjarak.

"M-mas mau apa?!"

Dirja melirikkan matanya malas sembari mengulurkan tangan melewati tubuh Gantari.

Mata Gantari semakin membulat. 'Berani-beraninya pria itu!'

Sontak Gantari memukul lengan tangan Dirja yang sudah semakin dekat dengan pinggangnya. Namun, pria itu tidak juga menghentikan niat...

Ceklek!

...untuk meraih kenop pintu, yang sedikit terhalangi tubuh Gantari.

"Saya mau masuk ke kamar," kata pria itu seraya mendorong pintu kamarnya hingga terbuka lebar.

Pria itu masuk ke dalam kamar tanpa memedulikan Gantari yang malu setengah mati akibat tingkah bodohnya. Ingin rasanya wanita itu melemparkan tubuh dari lantai dua agar kepalanya gegar otak sekalian dan melupakan momen paling memalukan dalam hidupnya.

"Mau tidur di depan pintu?" Dirja bertanya lagi. "Kalau iya, pintunya saya tutup.

Gegas istrinya itu melangkah masuk dengan langkah kikuk. Tak lupa untuk menutup pintu kamar dengan tangan agak gemetar.

Sejak tiba di rumah sore tadi, Gantari sudah beberapa kali keluar masuk kamar Dirja untuk mandi dan berganti baju. Namun, kali ini berbeda. Dia tak hanya sendirian di dalam sana. Wajar saja kalau Gantari gugup setengah mati, kan?

Ini malam pertama wanita itu akan tidur di ranjang yang sama dengan suaminya.

"Saya biasa tidur di sisi kanan," ucap Dirja tiba-tiba.

Maksudnya, pria itu menyuruh istrinya tidur di sisi lain.

"Ya, Mas. Aku bisa tidur di sisi mana aja," jawab sang istri berdusta.

Gantari juga lebih suka tidur di sisi kanan, sebenarnya. Namun, sebagai 'tamu' di kamar itu, ia tidak punya hak untuk melakukan penawaran, bukan?

Dengan langkah berat, wanita itu beranjak ke sisi kiri ranjang king size yang ada di tengah-tengah ruangan.

Gantari tahu, tidak akan terjadi apa-apa antara dirinya dan Dirja. Mereka hanya akan berbagi tempat tidur yang sama selama dua malam. Lalu, Gantari akan kembali ke kos. Tempat ternyaman untuk mengadu lelahnya setelah bekerja seharian.

Namun, alih-alih naik ke atas ranjang yang tampak empuk dan nyaman itu, Gantari justru bertanya, "Lampu dapur udah dimatiin kan, Mas?"

Dirja yang sudah berbaring nyaman di balik selimut mengangguk.

"Pintu-pintu udah dikunci semua?"

"Hmm."

"Nggak mau dipastiin lagi, Mas? Takutnya ada yang kelewat," tanya Gantari lagi.

"Sudah saya cek dua kali."

"Mas Dirja yakin?"

Dirja melirik malas istrinya yang masih berdiri seperti orang bodoh di sisi tempat tidur. "Kamu meragukan saya?"

Gantari menggeleng. Mengabaikan nada tersinggung suaminya. "Aku cek lagi aja biar tenang ya, Mas. Aku juga agak lupa tadi. Plastik sampah kayaknya belum aku ikat--"

"Tidur, Gantari."

"Tapi, Mas--"

"Sudah saya bereskan semuanya!" decak Dirja seraya kembali duduk. Pria itu menghela napas panjang. "Saya yang tinggal di sini setiap hari, Gantari. Saya yang paling paham apa yang harus saya lakukan. Lagipula, kamu sudah minggat dari rumah ini berbulan-bulan. Kenapa tiba-tiba peduli?"

Mulut Gantari terkatup rapat.

Meski tersinggung karena perkataan nyelekit yang dilontarkan suaminya, Gantari tak membalas sepatah kata pun.

Wanita itu naik ke atas tempat tidur yang telah diberi batas guling di tengah-tengahnya. Meringkuk membelakangi posisi snag suami. Dengan dada yang berdebar-debar, ia berusaha tidur. Memaksa matanya memejam erat.

Menit demi menit berganti. Gantari masih belum bisa terlelap saat lama setelah itu, Dirja mematikan lampu utama dan kembali berbaring.

Namun, ketika Gantari hampir sampai di dunia mimpi, tempat tidurnya terasa bergerak lagi.

"Halo."

Gantari menahan napas.

Itu suara Dirja yang berbicara kepada seseorang lewat telepon.

"...."

"Enam bulan lagi, Asoka. Sabar," ucap Dirja dengan suara yang lebih pelan.

Hanya saja, di tengah keheningan malam yang hanya terdengar suara jam berdetak dan tarikan napasnya itu, Gantari bisa mendengar suara Dirja dengan sangat jelas.

Asoka. Kekasih hati suaminya itu bernama Asoka.

"Jangan. Repot kalau kamu yang ke sini, As. Aku saja yang ke sana. Hari Senin besok aku coba ajukan cuti dulu."

Benteng pertahanan yang dibangun Gantari selama enam bulan terakhir ini ternyata tidak kokoh. Hatinya seperti baru saja tertancap panah bernama pengkhianatan hingga mengalirkan darah yang meluber ke mana-mana.

Gantari mencengkeram kuat-kuat ujung selimut yang menutupi tubuh hingga sebatas dada. Menekan sengatan tidak nyaman yang membuat dadanya sesak.

Ternyata, meski tidak ada cinta dalam pernikahan yang dijalaninya bersama Dirja, Gantari tetap gagal untuk melindungi hatinya.

"Ya, aku juga," bisik Dirja.

"...."

"Aku juga merindukanmu, Asoka."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 43. "Maaf, Tari. Maafkan saya...."

    Sementara itu di makam. Gantari sudah pergi cukup lama bersama Dina, tetapi Dirja masih belum berpindah dari posisinya. Pria itu menatap kosong pada berplastik-plastik bunga yang kini tergenang air. Belum sempat ditaburkan.Setiap kata yang diucapkan Gantari hingga ekspresi wanita itu saat bicara kepadanya tadi masih terekam jelas di kepala.Kacau.Itu satu-satunya yang menggambarkan hubungannya dengan Gantari sekarang.Dirja sadar betul kalau tindakannya sudah sangat melukai sang istri. Tetap menikahi dan mempertahankan Gantari meski ada wanita lain yang menghuni hatinya adalah pilihan paling egois dan kejam. Tidak hanya untuk Gantari, tetapi juga untuk Asoka yang sudah kehilangan banyak hal hanya demi bisa tetap berada di sisi pria itu.Ia sudah salah melangkah karena berpikir bahwa wasiat orang tua harus diutamakan meski tidak bisa menjalankan pernikahan dengan Gantari selamanya.Itulah sebabnya ia ingin mengubah sikap dan memperlakukan sang istri dengan baik meski tetap tak bisa

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 42. "Aku bisa belajar mencintaimu."

    Gantari tidak tahu apa yang merasuki dirinya saat tiba-tiba bicara tentang hal-hal gila di depan makam kedua orang tuanya.Mungkin ia kerasukan setan gila yang mendambakan cinta dari pria yang dicintainya. Atau sebenarnya Gantari sedang mengungkapkannya isi hatinya secara jujur.Bahwa seandainya bisa, maka ia ingin mempertahankan pernikahannya dengan Dirja. Sampai selamanya. Sebab, tidak mungkin ada orang normal yang bercita-cita menjadi janda. Begitu pula Gantari.Seperti yang dikatakan Bulik Umi tentang perjodohan yang telah dirancang orang tuanya dan orang tua Dirja sejak lama. Tidak seharusnya pernikahan itu mereka lakukan hanya demi memenuhi wasiat orang tua. Lalu mengakhirinya setelah merasa 'telah' membayar lunas wasiat itu. Yang seharusnya mereka lakukan adalah menjalani pernikahan dengan sebaik-baiknya."Saya tidak bisa meninggalkan Asoka," cetus Dirja.Suara suami Gantari itu begitu dingin, mengalahkan dinginnya air hujan yang jatuh memeluk bumi.Pria itu tampak tak tergoyah

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 41. "Lepaskan wanita itu, Mas."

    Meski tak mengatakannya secara langsung, Gantari sadar kalau seharian ini Dirja secara halus 'menyelamatkan' dirinya dari cecaran Bulik Umi.Dari sejak sarapan tadi, Dirja tiba-tiba bilang kalau Gantari agak pusing setelah menempuh perjalanan berjam-jam. Yang akhirnya wanita itu dibiarkan untuk beristirahat di kamar sampai Dzuhur. Lalu setelah makan siang, Dirja mengajaknya jalan-jalan.Pria itu pamit kepada Bulik Umi dengan beralasan, "Mau sekalian beli bunga untuk dibawa ke makam sore nanti."Gantari sangat berterima kasih atas inisiatif suaminya itu. Tetapi rasanya ia juga ingin tertawa keras-keras. Pasalnya, sejak menikah, mana pernah mereka keluar bersama hanya berdua seperti ini?Sepasang suami istri itu menaiki motor bebek butut milik Paklik Nuri--suami Bulik Umi--dan menyusuri jalan tanpa tujuan.Gantari sempat berkomentar kalau mereka hanya buang-buang bensin, tetapi Dirja dengan santai menyuruhnya menikmati suasana tenang di sana, yang tak akan mereka temukan di kota sibuk s

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 40. "Masa belum hamil?"

    "Di seberang stasiun ada hotel, kita bisa mampir ke sana dulu sebelum pulang. Bagaimana?"Dirja tadinya tidak serius akan ajakannya itu. Ia hanya ingin mengalihkan pikiran istrinya agar tidak terlalu tegang sebelum mereka bertemu keluarga di kampung.Namun, melihat tanggapan Gantari yang saat ini tersipu-sipu sampai memalingkan wajah karena tak tahan beradu tatap dengannya, membuat Dirja goyah.Ada dorongan kuat dari dalam dirinya untuk segera menyeret sang istri ke hotel mewah yang ada di seberang sana. Lalu mereka bisa bersenang-senang sejenak tanpa gangguan. Merealisasikan apa yang sempat tertunda."Mas Dirja!"Mendengar seseorang menyerukan namanya membuat fantasi Dirja pupus seketika.Bukan Gantari, melainkan suara milik seorang pria yang sangat Dirja kenal. "Tama, kok di sini?""Ya jemput Mas Dirja sama Mbak Tari iki, to," ucap sosok bernama Tama itu dengan logat khasnya. "Budhe Umi ngerusuhi aku subuh-subuh, tak kira ono opo. Ealah tibake kon jemput kakang karo simbak balik ka

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 39. "Apa yang kamu takutkan?"

    Gantari terlalu tinggi berekspektasi.Setelah menunggu dua puluh menit, hanya ada dua mangkuk mi instan yang dilengkapi, telur, sosis dan sayur hijau yang tersaji di atas meja makan.Dirja menaikkan alis saat menyodorkan sendok dan garpu kepada sang istri. Namun, karena istrinya bergeming, pria itu meletakkan dua alat makan itu di samping mangkuk mi yang masih mengepulkan uap panas."Kelihatannya ada yang kecewa," gumam pria itu. "Kamu pasti mengira saya mau masak menu restoran bintang lima, ya? Makanya kamu antusias sekali tadi?"Gantari hanya menatap sang suami dalam diam.Jujur saja, wanita itu memang sangat menantikan makanan jenis apa yang akan suaminya buat untuknya."Tidak ada bahan yang masih cukup segar untuk dimasak," jelas Dirja membela diri setelah menyuap satu sendok penuh mi instan ke dalam mulut. Tidak mau repot menunggu sang istri yang belum menyentuh sendoknya sama sekali."Masih ada besok dan besoknya lagi kalau kamu pengen dimasakin. Sekarang itu dulu," ucap Dirja l

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 38. "Karena aku yang minta."

    "Saya tahu betul kalau tubuh kamu menginginkan saya," ucap Dirja yang membuat bulu kuduk Gantari seketika berdiri.Rasa panas dengan cepat menyebar di wajahnya yang tampak sedikit pucat karena tidak lagi terpulas oleh riasan make up.Padahal, wajar saja jika seorang wanita mendamba pada tubuh seorang pria yang adalah suaminya sendiri. Namun, tidak demikian untuk Gantari. Rasanya sangat memalukan saat Dirja menangkap basah dirinya.Gantari tak yakin apakah motif sang suami saat mengatakannya dengan senyum yang terkulum di bibir.Apakah senang karena tidak hanya pria itu yang nafsu sendirian? Atau semata untuk mengolok-oloknya karena begitu mudah terperangkap pada pesona sang pria hanya karena sebuah ciuman yang memabukkan?"Mau kabur ke mana?"Baru mengayunkan satu langkah, Gantari berhenti.Meski sulit, Gantari menguatkan diri untuk menatap mata suaminya saat menjawab, "Aku mau siapin kompres dulu buat Mas.""Kamu tidak perlu repot--""Lebam di muka Mas udah biru-biru, kalau dibiarkan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status