Elara mengetuk cangkir kopi Ryota dengan sendok, pelan tapi cukup nyaring untuk mengalihkan pandangan suaminya dari layar ponsel.
"Katanya tidak suka kopi dingin," ucapnya tenang, matanya menatap lekat.
Ryota menoleh. Uap tipis masih mengepul dari cangkir kopinya. Ia menyeruput pelan—pahit, hangat, dan tetap tidak seenak kopi buatan baristanya.
Namun ia tak pernah melarang Elara membuatkannya kopi. Tidak, sejak istrinya itu mulai melakukannya tanpa diminta.
Haruskah ia meminta Rowena memanggil barista itu, besok...?
Cup.
Sebuah kecupan tiba-tiba mendarat di bibirnya.
Ryota mengernyit—siapa yang berani?!
Di hadapannya, Elara tersenyum licik.
"Kalau kamu mau mencium, saat Anya tak melihat..." bisiknya, lalu kabur ke sisi Anya yang masih sibuk menghabiskan susunya.
Ryota kembali menyeruput kopinya.
Memanggil kembali barista itu... sepertinya bukan ide yang bijak.
Elara tetap tenang menyantap sarapannya bersama Anya. Meski pikirannya terus mengutuk kegilaan yang baru saja d