Aku hanya bisa menarik nafas, sebelum kemudian mengangguk pada Pak Amir. Ada rasa tak enak pada atasanku ini. Ini jam kerja. Desti malah mengangguku untuk sesuatu yang bukan urusan kerja. Padahal selama ini aku berusaha keras untuk menjaga profesionalitas.
Setelah Pak Amir berlalu, melirik sekilas pada Desti dengan tatapan yang entahlah. Mungkin terlihat kesal, aku tak peduli. Biar Desti juga paham, aku tak sebaik yang dia kira. Meski kata-kata Rizal tentang kebaikanku sempat membuatku melambung, aku tak peduli.
"Bisa ngomong di tempat lain? Kantin misalnya?" usul Desti saat aku mengajaknya ke luar. Di luar ruang kerjaku ada sofa yang biasa untuk menunggu klien atau tamu yang akan rapat atau bertemu dengan atasan kami.
Dengan ogah-ogahan, aku mengajaknya ke kantin. Dengan lift, kami turun ke basemen. Ada kantin di sana. Kalau pagi-pagi begini, yang ada hanya menu sarapan.
“Ada apa, sih, Mbak?” tanyaku. Usai Desti memesan dua cangkir capucino. Satu buatku, dan satu lagi untuknya.