Setelah beberapa menit menahan sakit, Thania akhirnya bisa terlelap dalam pelukan Melvin. Wajahnya yang tadi tegang kini terlihat jauh lebih damai. Napasnya teratur, matanya terpejam tenang, dan tangannya masih menggenggam jemari Melvin meski dalam keadaan tidur.
Namun Melvin, yang biasanya tertidur cepat ketika istrinya sudah aman, justru kali ini tidak bisa memejamkan matanya.
Kepalanya penuh. Terlalu banyak pikiran berseliweran—tentang Thania, tentang kedua anaknya, tentang masa depan, dan tentang masa lalunya sendiri.
Pelan-pelan, ia menarik jemarinya dari genggaman Thania, memastikan tidak membangunkannya, lalu bangkit dari tempat duduknya.
Ia menatap wajah istrinya untuk beberapa saat, lalu mengenakan jaket tipisnya. Dia berjalan ke luar ruangan. Ia tahu ke mana kakinya akan membawanya: ke ruang neonatal.
Beberapa menit kemudian, Melvin sudah berdiri di balik kaca ruang neonatal, tempat kedua putra kembarnya dirawat. Lampu ruangan tetap menyala terang, kontras dengan sunyinya ma