Fajar belum sepenuhnya mekar saat kabar dari paviliun timur kembali mengetuk dinding damai yang baru saja dibangun malam itu.
Lyrienne.
Selir Agung itu belum menunjukkan tanda-tanda membaik. Dan kali ini—bukan hanya tubuhnya yang lemah, tapi juga jiwanya yang mulai retak perlahan.
Azrael yang menerima kabar itu segera bangkit. Arcelia tak mencegahnya—karena ia tahu, cinta bukan berarti mengekang. Tapi tetap saja, ada getar yang tertinggal di hatinya… bukan karena cemburu, tapi karena ia bisa merasakan—sesuatu sedang berubah di dalam diri Lyrienne.
“Pergilah, Yang Mulia…Selir Agung membutuhkan Anda…bersikaplah adil, jika saat hamba sakit Anda memberikan perhatian kepada hamba, maka saat dia sakit hamba tidak akan keberatan jika Anda melakukannya.” Kalimat panjang dan formal itu seperti sebuah negosiasi politik.
Paviliun tempat Lyrienne dirawat terasa redup. Tirai-tirai sutra putih bergantung, menari lembut diterpa angin pagi. Aroma herbal dan bunga kering memenuhi udara, namun tak bisa