"Aku gak punya waktu, Mas. Aku kasih kamu kesempatan sepuluh menit untuk mengatakan apa yang ingin kamu katakan."
Haura membuka percakapan dengan tajam. Kalimat itu menggantung di udara, seolah ingin memastikan bahwa Rama tidak punya ruang untuk mengalihkan dengan alasan klasik.
Di hadapan mereka, dua cangkir kopi masih utuh. Belum ada yang disentuh.
Kafe pilihan Haura, tak jauh dari rumah. Tampak tenang, dan terprivasi. Hanya ada denting sendok, pintu kaca yang terbuka tertutup oleh pelanggan lain, dan suara pelayan yang sesekali menawarkan menu tambahan.
Namun, bagi Haura dunia pun terasa sunyi. Belakangan hatinya berubah dingin karena ulah pria di hadapannya saat ini.
Mereka hanya berdua saling berhadapan. Hanya ada dirinya dan pria yang pernah ia cintai sepenuh hati—dan kini, ia minta penjelasan. Hilya ia titip pada Alya tadi di rumah.
Hijab krem pucat yang ia kenakan dipadukan dengan atasan polos dan celana lurus berwarna gelap. Tidak ada lipstik mencolok, atau aroma parfum be