Share

Keraguan Haura

Auteur: Nia Kannia
last update Dernière mise à jour: 2025-05-23 22:07:13

Malam harinya, setelah Alya dan Kaivan kembali ke kamar, Haura masih duduk di ruang tengah. Ia memeluk lutut sembari menatap layar ponselnya yang berkedip. Satu notifikasi muncul di layar—voice note dari Rama dengan durasi 1 menit 34 detik. Pesan suara itu dikirim sekitar dua minggu lalu.

Ia belum pernah membukanya. Jemarinya ragu menyentuh tombol play. Namun, malam ini, seakan ada yang mendorongnya untuk menekan tombol itu.

["Haura, aku tahu kamu membenciku. Tapi kamu harus tahu satu hal … semua yang kamu lihat selama ini, semua yang aku lakukan ... enggak sesederhana seperti yang kamu lihat. Aku enggak bangga, aku juga gak bahagia. Tapi aku gak bisa cerita sekarang. Bukan karena gak mau, tapi karena … ada hal yang lebih besar dari kita berdua."

Suara Rama di ujung kalimat itu bergetar. Seperti menahan sesuatu yang selama ini terkubur.

Haura memejamkan mata. Air matanya jatuh diam-diam, tanpa isak.

Tak lama, Lysandra masuk ke ruang tengah. Ia mengenakan sweater tipis dan duduk di sa
Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Chapitre verrouillé

Latest chapter

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Menyesalkah Kaivan?

    Azzam yang tengah menoleh ke sekeliling, berhenti pada tuspin panjang di jilbab sang istri. "Sayang, pinjam tuspinmu sebentar, ya." Azzam menunjuk dengan matanya.Rahma mengangguk meskipun itu adalah tuspin kesayangannya yang ia beli saat liburan ke Turki. "Awas, jangan rusak ya. Mas tanggung jawab kalau rusak. Kamu tahu kan ini aku belinya di mana?"Azzam tersenyum. "Iya, kalau perlu setelah masalah ini selesai, kita ke Turki lagi." Azzam mulai menunduk fokus menatap lubang kunci, lalu memasukkan tuspin itu ke sana. Beberapa saat kemudian terdengar kerincing dari dalam. Dengan gerakan cepat Azzam kembali memasukkan kunci dan memutarnya. Klik!Akhirnya pintu terbuka.Azzam mendorong daun pintu itu cepat, disusul Rahma dan Alya yang masuk bersamaan. Mata Alya langsung menyapu ruangan, lalu terhenti pada sosok Kaivan yang terduduk di lantai. Tubuh pria itu terlihat gemetar, dengan napas tidak beraturan. Tongkatnya tergeletak beberapa senti dari tangan.Di sampingnya, Aira berlutut—k

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Pertanyaan Aira

    "Aku kangen, Om. Sebentar aja," ucap Aira pelan. "Untuk terakhir kalinya." Kaivan menggeleng lagi. "Pergi Ai." Kaivan mencoba bangkit dari sofa, tetapi tubuhnya masih terlalu lemah. Ia bersandar kembali, wajahnya mengeras. Bergeser menjauh lagi pun ia tidak mampu. Posisinya sudah di ujung. "Gak ... seharusnya ka .... mu nggak di sini," ucapnya lambat, nadanya tajam meski terengah. "Kenapa kamu—" "Aku cuma pengin pastiin Om baik-baik aja." Aira mendekat lagi. “Biar seperti ini aja, Om. Aku janji nggak lama. Aku cuma .... aku sedih lihat Om seperti ini. Maaf, aku ...." Aira menggapai pipi Kaivan dengan tangannya. Ia tak bisa melanjutkan. Matanya mulai berembun, sedikit membasahi kemeja Kaivan Kaivan memejamkan mata, sekuat tenaga ia mendorong tubuh Aira untuk menjauh darinya. Namun, Aira melawan. Ketika tubuh mereka berjarak, Kaivan mengumpulkan tenaga untuk berdiri. Tubuhnya kini benar-benar rapuh, tak sekokoh dulu. Saat berhasil berdiri dan menjauh dari sofa, lututnya

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Tamu Tak Diundang

    Satu jam yang lalu.Aira membuka handel pintu setelah wanita yang dalam tiga hari terakhir itu rutin menemuinya untuk mengajak mengobrol.Sama seperti dua hari sebelumnya, pintu sepeda sengaja tidak dikunci. Sebenarnya Aira hanya ingin menuntaskan rasa penasarannya saja—di mana dirinya berada sekarang. Aira mulai menuruni tangga perlahan dengan langkah mengendap-endap. Tidak ada siapa pun setelah sampai di bawah. Aira berhenti ketika sampai di sebuah ruangan yang sepertinya ruang keluarga. Pandangannya terpaku pada figura besar yang tergantung di ruangan itu. Wajah-wajah yang ia kenal ada di sana. Azzam, Lysandra, Rayyan, beberapa orang lainnya ia belum mengenalnya. Satu lagi, wanita paruh baya di samping Azzam pernah menemuinya di kamar asing itu.Aira menoleh ketika samar-samar mendengar orang sedang mengobrol. Aira melangkah pelan mendekati sumber suara yang ternyaman dari arah ruang makan."Mas Kai udah pulang dari rumah sakit, Mas?"“Udah, kemarin." Azzam menghela napas pelan.

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Antara Kail dan Perasaan

    Suara pintu terbuka lembut, seperti sebelumnya. Cahaya dari luar membentuk siluet pada dinding. Aira duduk di pojok matras, kali ini tidak langsung berdiri atau memaki. Rambutnya sudah sedikit lebih rapi, meski tetap tampak lesu. Wajahnya juga tak lagi menegang seperti hari-hari awal. Namun, mata bulatnya masih waspada. Perempuan yang sama kemarin kembali masuk, membawa buku catatannya dan secangkir air putih. Perempuan itu kembali duduk di kursi lipatnya. Mereka diam cukup lama. Namun, diam itu tidak menciptakan tekanan. Justru seperti … ruang untuk bernapas. “Kemarin kamu nanya, apa yang bikin aku bahagia terakhir kali. Aku mikir,” kata Aira tiba-tiba. Perempuan itu tidak menoleh cepat, hanya mengangkat kepalanya pelan—menunggu. “Aku ingat waktu aku akhirnya bisa bawa Rava pulang dari panti, tanpa rasa takut atau khawatir dihujat atau seseorang mencari masa laluku. Dan, hari itu ngerasa kayak hidupku paling kompit.” Aira menggigit bibir bawahnya. “Aku ngerasa dibutuhkan dan d

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Pemulihan dan Harapan

    Aira langsung berdiri, penuh kewaspadaan. “Siapa kamu?”Wanita itu tak menjawab. Ia menutup pintu denger sangat perlahan, lalu berjalan mendekat sambil membuka buku catatannya. Sepatu flats-nya menjejak lantai dengan suara nyaris tak terdengar.“Aku cuma mau ngobrol sama kamu, Aira,” ucapnya tenang, seraya menarik kursi lipat dari balik pintu dan meletakkannya di dekat matras tempat Aira tidur.“Aku gak butuh ngobrol. Aku cuma butuh keluar dari sini!” bentak Aira. Suara yang diciptakan pita suaranya cukup serak. Mata Aira merah dan terlihat lelah. Wajahnya tampak makin kurus dibandingkan hari pertama ia masuk ke ruangan ini.Wanita itu hanya duduk dan menatap Aira. Tanpa ekspresi takut. Terlihat sama sekali tidak tersinggung dengan sikap Aira. Juga tanpa penghakiman.“Bagaimana rasanya tidur di lantai dingin seperti ini?” tanyanya pelan.Aira berkedip, tubuhnya refleks mundur. “Apa maksudmu?”“Tubuhmu terasa pegal, ‘kan? Sulit tidur, bahkan sulit percaya kapan waktu akan berubah. Tid

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Ikut ke Mana Kamu Pergi

    Suara alat bantu pernapasan masih mendesis pelan. Garis-garis pada monitor berdetak stabil, tetapi belum benar-benar tenang. Kaivan membuka mata sepenuhnya. Cahaya putih dari lampu rumah sakit membuatnya memicing. Pandangannya menyapu sekeliling, lalu berhenti pada satu wajah. Ia ingin tersenyum meski kecil, tetapi ia seperti lupa bagaimana cara tersenyum. Sehingga, lengkungan itu tak terbentuk sama sekali. Seolah-olah syaraf-syaraf otot senyumnya sedang melemah. Selemah fisik dan hatinya sekarang. Alya duduk di sampingnya, memeluk jaketnya sendiri, tanpa ekspresi. Lebih tepatnya, ekspresi datar. Wajah paruh baya itu tetap cantik meski sedikit sembab. Tatapannya tidak dingin, tetapi juga jauh dari hangat. Benar-benar flat. Kaivan mulai menyisir pandang ke sekeliling ruangan. Sekilas, dia tampak bingung. “Aku... di mana, Yang?” S tanyanya dengan suara sedikit serak. Dan, kalimat itu keluar pelan, terdengar sedikit tersendat. Ia menelan ludah. Gerakan lehernya seperti terbatas.

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status