Malam harinya, setelah Alya dan Kaivan kembali ke kamar, Haura masih duduk di ruang tengah. Ia memeluk lutut sembari menatap layar ponselnya yang berkedip. Satu notifikasi muncul di layar—voice note dari Rama dengan durasi 1 menit 34 detik. Pesan suara itu dikirim sekitar dua minggu lalu.Ia belum pernah membukanya. Jemarinya ragu menyentuh tombol play. Namun, malam ini, seakan ada yang mendorongnya untuk menekan tombol itu.["Haura, aku tahu kamu membenciku. Tapi kamu harus tahu satu hal … semua yang kamu lihat selama ini, semua yang aku lakukan ... enggak sesederhana seperti yang kamu lihat. Aku enggak bangga, aku juga gak bahagia. Tapi aku gak bisa cerita sekarang. Bukan karena gak mau, tapi karena … ada hal yang lebih besar dari kita berdua."Suara Rama di ujung kalimat itu bergetar. Seperti menahan sesuatu yang selama ini terkubur.Haura memejamkan mata. Air matanya jatuh diam-diam, tanpa isak.Tak lama, Lysandra masuk ke ruang tengah. Ia mengenakan sweater tipis dan duduk di sa
"Aku pengin nyapu kamar ini, Mas. Dari kemarin aromanya kayak enggak hilang-hilang."Rayyan menoleh cepat dari meja kecil di sisi ranjang. Ia baru saja selesai menuangkan air hangat ke dalam cangkir. "Aromanya? Aroma apa maksud kamu, Ly?"Lysandra duduk bersandar di tumpukan bantal. Wajahnya masih pucat, tetapi bibirnya mulai memulihkan warna. “Kayak campuran lemon dan debu. Enggak jelas. Tapi bikin pengap banget.”Rayyan mendekat, meletakkan cangkir di meja. “Aku pel aja, ya? Kamu istirahat. Atau aku minta Mbak Melati aja nanti. Sambil menunggu, kita bisa keluar jalan-jalan."Lysandra menggeleng. "Gak, Mas aku gak kamar kita dimasuki orang asing," tegas Lysandra membuat Rayyan tercekat."Oke, kalau gitu biar aku aja. Kamu tinggal kasih intruksi aja aku harus apa."Lysandra masih menggeleng. “Aku bisa, kok. Cuma nyapu sama ngepel doang.”Rayyan menghela napas dalam. Pasrah. "Ya udah, tapi jangan capek-capek ya."Lysandra mengulas senyum tipis. Ya masih tipis. Setipis tisu dibelah tiga
Setelah Hujan Itu TurunCahaya senja yang menyusup ke jendela rumah sakit jatuh lembut di wajah Lysandra. Ia duduk bersandar di ranjang, mengenakan piyama pasien berwarna biru pucat, pandangannya kosong menatap langit yang perlahan meredup. Di tangan kanannya, infus masih tertancap, meski alirannya kini sudah diperlambat.Rayyan duduk di kursi pendamping. Wajahnya letih, tetapi ia tetap di sana. Seakan tengah menjadi teman sepi bagi perempuan yang tengah kehilangan sepotong harapan dari rahimnya. Tangannya tak pernah lepas dari tangan Lysandra sejak semalam. Alya masuk, membawa scarf lembut dan termos kecil berisi air jahe.“Mama datang,” bisiknya pelan, seolah takut mengusik kesedihan yang belum sempat reda.Lysandra menoleh sekilas, lalu kembali menatap ke luar jendela.Alya mendekat, duduk di sisi ranjang yang lain. Ia menggelar scarf di kaki menantunya, mengusap betis Lysandra yang dingin. Sementara itu, Rayyan pamit keluar sebentar.“Udara sore ini dingin banget,” katanya, menc
Monitor tak lagi bersuara. Garis tipis di layar melurus.Detak itu berhenti.Rayyan berdiri terpaku, matanya tak lepas dari layar. Tubuhnya menolak menerima apa yang sudah jelas terpampang.Dokter dan dua perawat bergerak cepat, memeriksa Lysandra. Salah satu dari mereka menekan tombol di dinding, memanggil tim medis tambahan. Namun, Rayyan tahu, sudah tidak ada yang bisa dikembalikan.Lysandra menggenggam tangannya erat, seakan tahu apa yang baru saja pergi dari rahimnya. Matanya menatap kosong ke langit-langit ruangan, tetapi air matanya jatuh perlahan, tanpa suara.“Dia pergi, Mas?” bisiknya pelan menatap sang suami dengan mata berembun.Rayyan menelan ludah. Tenggorokannya terasa sangat kering. “Iya, Sayang. Dia sudah pergi.”Lysandra tak bereaksi. Ia hanya memejamkan mata, lama. Seakan mencoba menahan agar tidak pecah—karena begitu ia membuka mulut, semuanya akan runtuh. Ia memegang perutnya."Terima kasih sudah singgah di rahim Mama walaupun sesaat," bisiknya pelan, nyaris tanp
Ruangan itu hanya dihuni oleh bunyi mesin pemantau yang stabil, juga detak lemah dari layar kecil di samping ranjang.Lysandra masih terbaring dalam posisi miring. Selang infus menempel di tangan kanan, dan alat kecil melekat di sisi perut—memantau denyut yang masih terlalu rapuh untuk dikatakan pasti. Dokter menyebut ruangan ini monitoring room, ruang semi-isolasi di salah satu rumah sakit ibu dan anak terbaik di Jakarta.Rayyan duduk di kursi yang disediakan khusus untuk pendamping pasien. Sweater gelap yang ia kenakan sejak malam belum diganti. Tatapannya belum berubah sejak pukul empat pagi—penuh tanya yang belum menemukan jawaban.Jam di dinding menunjukkan pukul 08.04.Alya datang membawa nampan kecil berisi termos dan dua cangkir. Wajahnya lelah, tetapi senyumnya tetap hangat. Setidaknya ia harus memberikan semangat untuk putranya.“Kamu belum makan, Nak?” tanyanya, meletakkan teh hangat di meja kecil.Rayyan menggeleng. “Nanti aja, Ma.”“Lysandra belum bangun?”“Tidurnya geli
Lysandra sudah tidak bisa merasakan apa pun saat tubuhnya terguling. Kemampuan untuk menolong tubuhnya sendiri benar-benar habis.“Lysandra!”Alya menjerit begitu tubuh menantunya terguling menuruni tiga anak tangga terakhir—sampai terhenti dengan suara berat di dasar tangga. Kepalanya membentur lantai, lengannya tertekuk dalam posisi aneh.Rayyan tiba dalam dua lompatan, lututnya menghantam lantai keras saat tubuhnya menyentuh Lysandra yang sudah tak sadarkan diri.“Sayang ... Sayang, bangun ...,” napasnya tercekat. Suaranya pecah di ujung kalimat.Alya sudah berjongkok di sisi lain. Tangannya gemetar saat mencoba memegang pergelangan tangan Lysandra. Ada sedikit kelegaan di sana. Hanya sedikit. Kaivan yang berada di teras samping setengah berlari masuk karena mendengar keributan. Begitu pula dengan Haura dan Hilya.Rayyan meraba pipi Lysandra yang pucat. Darah di pelipis sang membuatnya makin cemas. Rayyan segera mengangkat tubuh istrinya ke pelukannya. Namun, ada yang lebih menge
Lysandra kini duduk di tepi tempat tidur setelah aktivitas yang cukup menguras keringat dan perasaan. Bukan perasaan kesal, tapi rasa cinta yang menggebu dan tak terlukiskan.Ada sesuatu yang hangat menggelayut di dada. Setelah semua yang mereka lewati, kini dia melihat Rayyan tidur begitu damai. Menatap wajah tampan Rayyan yang begitu tenang cukup menyejukkan hatinya.Ia bangkit pelan, hendak ke kamar mandi untuk membersihkan diri, tetapi tangan Rayyan bergerak cepat memeluk pinggangnya."Mau ke mana, Sayang?" tanya Rayyan dengan suara parau. "Mau mandi, Mas.""Nanti aja dulu, Ly. Zuhurnya masih lama. Aku masih kangen.""Tapi, Mas. Ak–."“Kalau gak weekend, kita gak bisa gini, kan?" sela Rayyan sambil mengeratkan pelukannya di pinggang Lysandra.Lysandra mengalah. Memilih kembali berbaring. Namun, baru akan menggerakkan tubuhnya sedikit, tiba-tiba perutnya bergolak. Seakan ada yang mendorong naik isi lambungnya. Mual.Lysandra buru-buru menutup mulut dan ....Uuggghk! Rayyan bang
"Ray, coba cicip sendiri, deh."Mendengar kata mamanya, Rayyan mengambil sendok di tangan Lysandra, kemudian mencicipinya. Rayyan bergeming, menyesap rasa di lidahnya. Kemudian menoleh pada Lysandra. "Sayang, ini gak layak makan, aku beliin aja ya di luar." Rayyan mengambil piring di depan Lysandra.Akan tetapi, Lysandra buru-buru menjauhkan piringnya. "Ini enak kok, Mas. Aku suka," sanggahnya kemudian. Wanita itu buru-buru merebut sendok di tangan sang suami kemudian kembali melahap gado-gado spesial buatan Rayyan. Memang benar-benar spesial, karena hanya Lysandra yang bisa memakannya.Sementara itu, Kaivan dan Alya saling menatap. Alya kemudian mengulas senyum dan menghampiri Lysandra, menyentuh bahunya dengan sedikit elusan.Sementara Rayyan masih dengan wajah yang ditekuk sambil memegang perut yang sudah keroncongan."Mama sama Papa izin makan di luar, ya," pamit Alya kemudian dengan suara pelan.Rayyan mendongak, seakan tak rela. "Iya, Ma. Hati-hati, ya." Lysandra menjawan san
Rayyan menatap batang pisau yang tertata pada sarangnya. Rayyan memegang tengkuknya yang sudah mulai berkeringat. Bukan hanya tengkuknya, tangannya juga mulai berkeringat dingin.Sambil memejamkan mata, Rayyan mulai mengulurkan tangan perlahan, menggenggam gagang pisau. Namun, tubuhnya diam. Napasnya mulai tak beraturan. Dalam sekejap, bayangan samar itu mulai melintas. Rayyan mundur setengah langkah. Tangannya bergetar dengan pisau di tangannya.Alya memperhatikan dari jauh. Ia meletakkan gelas dan berjalan mendekat.“Ray, sini Mama bantuin aja motong timunnya, ya?”Rayyan terkesiap. Ia refleks melepaskan pisau itu dengan setengah melempar.Rayyan pikir tidak apa-apa hanya memotong timun saja dibantu Alya. Lagipula Lysandra masih berada di kamar. Dia tidak akan tahu.Rayyan baru saja akan memutar tubuh—menghindar dari pemandangan yang baginya menyakitkan itu. Namun, ia urung dan memutar tubuh lagi, kembali ke posisi awal."Ma, jangan deh. Ray gak mau ambil risiko menghadapi kemaraha