Chapter: Rumah SempurnaIlham berbalik perlahan. Ia duduk di tepi ranjang, meraih tangan Anya yang dingin dan basah oleh air mata. “Maafin aku, Sayang,” bisiknya, suaranya serak. “Maafin Ibu.” Anya menggeleng, mengangkat wajahnya yang sembap. “Enggak apa-apa,” jawabnya lirih, “kita berdua tahu, cepat atau lambat ini akan terjadi. Aku yang harus minta maaf karena menjadi jurang antara kamu dan ibumu. Kamu tahu, Ham, aku ga mau ini.” Ilham menggeleng. Mengeratkan genggamannya. Malam itu, mereka tidak banyak bicara lagi. Kata-kata terasa tidak ada gunanya. Mereka hanya duduk dalam diam, saling menggenggam tangan, sementara putra mereka—yang Ilham beri nama Arjuna Ilham Pratama, tertidur lelap di boks bayinya. Malaikat mungil itu menjadi satu-satunya sumber kedamaian di tengah badai yang baru saja menerpa dunia kecil mereka. *** Enam Bulan Kemudian. Kehidupan tidak berhenti. Ia terus berjalan, menyeret mereka menjauh dari malam yang penuh luka itu. Ilham dan Anya membangun kembali dunia mereka, kepingan de
Last Updated: 2025-11-08
Chapter: Kedatangan Sang Ibu“Ibu …?” seru Ilham lirih.Kehadirannya terasa seperti embusan angin dingin dari kutub utara yang menyelinap masuk melalui celah pintu. Suhu ruangan yang tadinya hangat dan penuh kelegaan, seketika terasa turun beberapa derajat. Ilham, yang sedang duduk, langsung berdiri. Gerakannya kaku, tubuhnya secara naluriah membentuk sebuah perisai di antara ibunya dan ranjang tempat Anya tertidur.Elia melangkah masuk, sepatunya yang bersol karet tidak menimbulkan suara di lantai vinil, tetapi setiap langkahnya terasa seperti dentuman di hati Ilham. Ia menutup pintu di belakangnya dengan pelan, menciptakan sebuah ruang kedap suara yang mengisolasi mereka dari dunia luar.Matanya tidak menatap Ilham.Tatapan itu lurus, tajam seperti pecahan kaca, mengarah langsung ke sosok wanita yang terbaring lemah di atas ranjang.“Jadi … dia masih belum meninggalkanmu? Dia menginggkari janjinya?” Suara wanita itu datar. Tidak ada amarah yang meledak-ledak, tidak ada isak tangis. Hanya sebuah pernyataan ding
Last Updated: 2025-11-07
Chapter: Pertanyaan Anya Sebelum Detik-detik Kelahiran Setiap detik penantian di lampu merah terasa seperti siksaan, setiap mobil lambat di depannya adalah rintangan yang ingin ia tabrak. Arkan, merasakan urgensi yang membakar di udara, memacu mobil menembus batas kecepatan yang aman. Perjalanan yang biasanya mereka tempuh selama tiga jam, kini hanya satu setengah jam. Arkan memang selalu bisa diandalkan di saat-saat begini.Begitu mobil berhenti di lobi Instalasi Gawat Darurat, Ilham tidak menunggu pintu dibuka sepenuhnya. Ia melompat keluar, berlari masuk ke dalam gedung berbau disinfektan itu seperti badai. Penampilannya kacau; kemeja batiknya kusut, rambutnya acak-acakan, dan matanya liar dipenuhi kepanikan.Ia langsung menemukan Ririn. Wanita itu berdiri mondar-mandir dengan cemas di depan sebuah pintu ganda bertuliskan ‘RUANG BERSALIN’. Wajahnya pucat dan matanya sembap karena tangis.“Mbak!” panggil Ilham, napasnya terengah. “Gimana Mbak Anya?”Ririn tersentak, lalu berlari kecil menghampirinya. “Mas Ilham!” pekiknya tertahan. “Ma
Last Updated: 2025-11-07
Chapter: Perjalanan“Dan saat ini, istriku sedang berjuang dan bertaruh nyawa untuk melahirkan keturunanku.”Kalimat itu jatuh seperti sebilah kapak, membelah keheningan khidmat di ruang tamu itu menjadi dua. Untuk sesaat, tidak ada yang bergerak. Suasana di ruangan itu seakan membeku.Lalu, kekacauan itu meledak.Keheningan pecah oleh suara kursi yang digeser kasar di atas lantai keramik. Gumaman syok terdengar seperti sengatan lebah dari berbagai penjuru, menyebar cepat dari satu sudut ke sudut lain.Ayah Anisa, Pak Bramantyo, seorang pria terpandang di desa itu, berdiri dengan wajah merah padam. Urat di lehernya menonjol, tangannya terkepal di sisi tubuh hingga buku-buku jarinya memutih. Jelas, ia merasa dipermalukan. Dan, rasa malu itu dengan cepat menjelma menjadi sebuah api amarah yang membara.“Jadi … jadi selama ini kami semua ditipu?” suaranya menggelegar, sarat dengan getar amarah yang tertahan. Ia menunjuk Ilham dengan jari telunjuk yang gemetar. “Kamu! Beraninya kamu mempermainkan putri saya!
Last Updated: 2025-11-07
Chapter: Bertaruh Nyawa[Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan .…]Panik mulai merayap di hatinya seperti sulur tanaman beracun. Ia mencobanya lagi. Dan lagi. Hasilnya sama.“Ilham, kamu di mana?” bisiknya pada keheningan kamar.Gelombang rasa sakit yang ke sekian kali datang menerjang, jauh lebih kuat dari sebelumnya. Ia menggigit bibirnya untuk menahan jeritan. Sesuatu yang hangat dan basah tiba-tiba mengalir di antara kedua kakinya, membasahi daster yang ia kenakan dan seprai di bawahnya.Matanya membelalak ngeri. Itu air ketuban. Selama hamil, Anya sudah banyak membaca artikel-artikel yang membahas tentang kehamilan dan persalinan.Ia tidak boleh panik. Ia harus tenang. Demi bayinya. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, ia mencari kontak lain di ponselnya. Satu-satunya orang yang bisa ia andalkan untuk membantunya sekarang. Ririn.Ia menekan tombol panggil. Jemarinya terasa kaku dan tidak bertenaga. Ia bahkan tidak punya kekuatan untuk berteriak memanggil ART-nya itu yang m
Last Updated: 2025-11-07
Chapter: AkadPertanyaan yang berkali-kali menyentuh pikiran Anya. Terkadang datang membawa rasa takut pada kehilangan. Mungkin akan lebih baik jika ia tak tahu apa-apa dan melupakan semua. Namun, makin hari sikap Ilham makin aneh dan makin pendiam. Anya memilih untuk tidak pernah menanyakannya secara langsung. Selain tidak siap jika firasatnya menjadi kenyataan, ia masih menunggu Ilham untuk mengatakannya sendiri tanpa paksaan atau pertanyaan. Sehingga pertanyaan itu terus menjadi penghuni tetap di kepalanya, hingga pagi ini berubah menjadi keheningan yang dingin saat sarapan. Wanita itu hanya menatap Ilham sedikit lebih lama saat Ilham menerima telepon dari ibunya. Momen itu seolah menjadi jarak tipis yang kini ada di antara mereka saat berpelukan.Waktu tidak menunggu jawaban dari pertanyaan yang terus bercokol. Bulan-bulan berlalu dalam kabut kecurigaan yang samar. Perut Anya semakin membesar, gerakannya semakin terbatas. Atas permintaan Ilham—dan juga karena kelelahannya sendiri—ia akhirn
Last Updated: 2025-11-07
Chapter: Memilih Pulang (end)Alya menahan napas sejenak. Ditatapnya wajah suaminya dengan sedikit bingung. Lalu tertawa sambil memukul pelan lengan sang suami. Membuat Kaivan nyengir "Bercandanya jangan aneh-aneh deh, Mas." Alya menimpali. "Siapa yang bercanda, aku serius." Kaivan menarik Alya yang masih berdiri untuk duduk. "Jangan aneh-aneh deh, Mas. Ingat umur. Malu sama cucu," lanjut Alya lagi. Kaivan menarik bibirnya membentur lengkungan. "Kamu masih cocok gendong bayi, Yang. Masih seksi dengan perut besar." Kaivan menatap kosong pada Alya, seolah-olah sedang melihat istrinya dari versi yang berbeda. "Mas pikir hamil di usia lanjut itu mudah? Laki sih enak, cuma lihat doang." Alya berlanjut mengomel. Dia melirik kesal pada sang suami. Bukannya marah, Kaivan tersenyum lagi. Itu adalah ekspresi Alya yang lama ia rindukan. Terlihat kesal, tetapi bukan dingin. "Ya udah, kalau kamu gak mau, gak apa-apa, Yang. Aku cuma mengutarakan keinginanku aja. Kalau kamu gak setuju, aku gak maksa," ucapnya lirih kemudia
Last Updated: 2025-07-31
Chapter: Keinginan AbsurdKaivan merasa gamang setelah pintu tertutup. Satu kata yang diucapkan Alya barusan cukup mengganggu pikirannya. Bukan kosakatanya, tetapi bagaimana Alya mengucapkannya. Jelas ada yang berbeda.Ia berdiri sejenak dalam diam. Mencoba mencari apa yang salah. Kenapa Alya mempertanyakan keraguan lagi. Lantas, bagaimana ia membuktikannya? Bagaimana ia menghilangkan keraguan dari dalam diri Alya? Nyaris tiga puluh tahun, merek bersama. Namun, kali ini begitu sulit untuk menyelami hati Alya. Meski ia terus mencoba. Kaivan memutar tubuh, membuka kembali pintu kamarnya dan kembali ke ruang tengah tempat di mana ia meninggalkan Alya sendirian tadi. Dia mempercepat langkahnya, sehingga menghasilkan suara ketukan pada lantai dari tongkatnya. Alya yang masih duduk di tempat yang sama, menoleh dan spontan berdiri melihat langkah tergesa-gesa sang suami.Ia makin heran saat melihat Kaivan tampak terengah-engah. Namun, ia masih berdiri di tempat untuk menunggu, tanpa menghampirinya lebih dulu."Al
Last Updated: 2025-07-29
Chapter: Rasa yang Tertinggal“Surat pengajuan cerai talak antara Bapak Kaivan dan Ibu Sahara Cahya Prameswari. Semua data administratif sudah diverifikasi dan disesuaikan. Hanya tinggal tanda tangan Bapak di sini dan di sini …,” ujarnya sambil menunjuk dua lembar halaman.Kaivan tidak langsung menyambut. Tangannya menggenggam ujung sofa, seolah butuh sesuatu untuk dipeluk. Alya pun bergeming, seolah tidak ingin ikut campur tangan dalam keputusan sang suami. Namun, tanpa diminta atmosfer ruang itu seakan berubah—perlahan, tetapi pasti.Reinaldi menoleh. “Jika Bapak membutuhkan waktu untuk membaca detailnya dulu, silakan. Saya bisa menunggu.”Kaivan mengangguk pelan. “Boleh, saya baca dulu.”Alya menatap pria di sebelahnya itu mengambil berkas dengan tangan gemetar, lalu mulai fokus menyusuri kalimat demi kalimat yang tertera di sana. Sesekali ia mengerjap, seperti mencerna tidak hanya kata-kata hukum, tetapi juga luka-luka yang tersembunyi di baliknya. Setidaknya itu yang ditangkap Alya.Alya meremas jari-jari mil
Last Updated: 2025-07-26
Chapter: Tamu yang Ditunggu“Naik, pelan-pelan … ya, begitu,” ucap Bagas, sang terarapis yang tengah mendampingi Kaivan menjalani fisioterapi pagi ini.Tangan Alya menopang lengan Kaivan ketika pria itu berusaha menaiki satu tangga kecil ke atas step board bertekstur karet. Sementara Bagas berdiri tepat di sisi satunya. Matanya awas, memperhatikan setiap detail gerak kaki pasiennya yang perlahan-lahan mulai menunjukkan kemajuan.Kaivan menggigit bibir bawah. Ia tahu tidak boleh memaksakan beban ke lutut kirinya terlalu berat. Tapi hari ini, ia ingin mencoba lebih banyak."Bagus, Pak Kaivan. Tahan, dua detik, ya. Sekarang turun, perlahan,” kata Bagas sambil mencatat sesuatu di ponselnya.Kaivan menuruni tangga kecil itu pelan-pelan, kemudian duduk di kursi rotan yang sudah disiapkan di sudut teras samping rumah mereka.Alya cepat-cepat menyodorkan handuk kecil untuk menyeka keringat di pelipis suaminya. “Cukup, Mas. Udah bagus banget hari ini,” katanya pelan.Kaivan menoleh, mata mereka bertemu. Tatapan itu tak
Last Updated: 2025-07-26
Chapter: Tertangkap Basah"Aku geser kalau kamu baring, Yang. Benaran," jawab Kaivan pelan. Alya tak menjawab, tetapi akhirnya pelan-pelan merebahkan tubuh di sisi Kaivan dengan membelakangi tubuh sang suami. Sesuai janjinya Kaivan menggeser tubuhnya pelan, memberi tempat yang cukup pada Alya untuk ikut mengistirahatkan diri. Sementara itu, Kaivan yang tadi terlentang, kini mengubah posisi miring menghadap tubuh sang istri. Perlahan tangannya terulur menggapai pinggang Alya dan sedikit menarik untuk membuat lebih rapat. Alya sedikit menggerakkan tagannya untuk menepis, tetapi Kaivan cepat menghalau dengan setengah berbisik," Biar kamu gak jatuh, Yang." Tak ada respons ataupun penolakan Alya. Napas Alya terdengar lebih berat, tetapi mulai teratur. Beberapa detik berlalu. Mereka masih sama-sama menjemput kantuk yang seperti enggan untuk datang. “Sayang,” bisik Kaivan kemudian, nyaris seperti gumaman sebelum tidur. “Kalau kamu tanya apa aku menyesal … jawabannya, iya. Tapi bukan menyesal karena mengucap tal
Last Updated: 2025-07-25
Chapter: Menguasai Hati"Duh, refleksnya jelek banget, lemah banget ya aku. Kamu malah gak jadi tidur, Yank." Kaivan yang masih terduduk di lantai tertawa nyengir menatap pada Alya yang sudah ikut berlutut di lantai.Kaivan masih menata kekuatannya sendiri untuk bangkit. Ia berusaha duduk, tangannya bertumpu pada lantai kayu yang dingin. Napasnya sedikit memburu pelan, lebih karena kaget daripada sakit.“Mas, gak apa-apa?” tanya Alya masih terlihat cemas. Tangannya meraih bahu pria itu, menopangnya."Aku nggak apa-apa, Yang." Kaivan cepat-cepat berkata, meski getaran halus masih terasa di suaranya. “Cuma kaget aja, bisa-bisanya lupa kalau aku belum jalan normal."Alya bergeming. Mengulum senyum agar tak terbit. Sebenarnya ingin tertawa karena kalimat sang suami. Namun, berusaha ia tahan."Makanya jangan keras kepala, deh, Mas,” omel Alya lirih. “Harusnya jam segini tuh tidur, bukan kelayapan," lanjutnya lagi sambil merangkul bahu Kaivan dan membantunya berdiri.Kaivan menatap mata Alya. Dan untuk sesaat, wak
Last Updated: 2025-07-25