Mobil yang membawa Anaby melaju di sepanjang jalan kota yang mulai ramai oleh aktivitas pagi. Duduk di kursi belakang dengan kaca yang sedikit terbuka, Anaby membiarkan cahaya matahari menyinari sebagian wajahnya.
Ia terlihat tenang, tetapi pikirannya berkecamuk. Di pangkuannya, jari-jarinya menggenggam ponsel, tetapi bukan untuk membuka pesan, melainkan untuk memandangi pantulan samar dirinya di layar hitam itu.
"Pak Darto, tolong cari toko barang antik di sekitar kampus," ucap Anaby, matanya menatap jalanan dengan tatapan penuh tekad.
"Siap, Nona," jawab si sopir, lalu membelokkan arah ke kawasan kampus lama, tempat Anaby menempuh kuliah bertahun-tahun lalu.
Tak butuh waktu lama, mereka menemukan sebuah toko mungil di ujung jalan kecil yang sepi. Toko itu berdiri di antara bangunan-bangunan tua, dengan papan nama kayu bertuliskan ‘Lentera Collection’ dalam huruf latin klasik yang sedikit pudar.
Udara di dalam toko terasa lembap. Di sudut-sudut ruangan, lampu temaram menggantung, menyoroti setiap benda yang dijual oleh sang pemilik. Etalase-etalase kaca berisi barang-barang antik—jam saku perak, patung kecil dari batu giok, cermin berbingkai kuno, dan perhiasan-perhiasan yang tampak menyimpan cerita dari masa silam.
Seorang pria tua dengan rambut berwarna keperakan berjalan keluar dari balik rak.
"Selamat pagi, Nona. Bisa saya bantu mencari sesuatu?" tanyanya ramah.
Anaby mengangguk sopan dan membuka tasnya. Ia mengeluarkan seuntai kalung dengan liontin bulan sabit dari saku beludru. Kilau cahaya mengenai permukaannya, membuat ukiran halus di tepi liontin tampak jelas.
"Saya ingin tahu, apakah Anda masih punya kalung seperti ini?” tanya Anabay, menyodorkan kalung itu.
Si pria tua menerima kalung itu dan mengamati dengan seksama, lalu tersenyum samar.
"Ah, ya. Kalung ini ... masih ada satu lagi yang tersisa. Tunggu sebentar."
Ia berjalan ke belakang toko, lalu kembali dengan sebuah kotak beludru biru. Saat dibuka, di dalamnya terdapat kalung yang identik—bulan sabit perak yang indah, seolah memantulkan sinar rembulan yang pernah menyentuhnya.
"Ini dia. Barang yang cukup langka, tapi kebetulan masih ada satu," ucap pria itu.
Anaby mengerutkan kening. "Kalung ini punya makna khusus, bukan? Teman saya bilang ini kalung pembawa keberuntungan."
Pria itu tersenyum kecil, lalu duduk di kursi rotan yang ada di dekat meja.
"Sejujurnya, ada cerita lama tentang kalung ini. Konon, ini adalah kalung pasangan—diberikan pada sepasang kekasih yang cintanya tidak direstui. Sebelum berpisah, mereka berjanji akan bertemu di bawah bulan sabit dalam kehidupan lain. Kalung ini dibuat sebagai penanda cinta mereka yang tak bisa bersatu."
Anaby menahan napas. Sebuah gelombang emosi menyapu dirinya tanpa peringatan. Ia menatap kalung itu seolah-olah baru pertama kali melihatnya.
"Apakah Anda ingat siapa yang membeli kalung ini beberapa hari lalu?" tanyanya pelan.
Pria itu mengerutkan kening, nampak berpikir sejenak. "Seorang pemuda dan seorang gadis. Mereka tampak seperti pasangan kekasih.”
Anaby mengangguk pelan, seolah semuanya mulai membentuk mozaik kebenaran yang menyakitkan. Ternyata, Aslan dan Sandra sudah menjalin hubungan asmara sebelum ia memutuskan untuk kawin lari.
"Apakah mereka membeli sesuatu yang lain selain kalung ini?"
"Oh ya," jawab pria tua itu. "Mereka juga membeli bubuk kayu cedar, untuk pengharum."
Sekujur tubuh Anaby menegang.
Bubuk kayu cedar. Aroma yang membawanya pada ingatan masa kecil, ketika ibunya masih hidup.
Kala itu, sang ibu menyemprotkan wewangian itu di rumah, menyebabkan ruam merah dan sesak napas bagi Anaby kecil. Ia alergi sampai menangis semalaman, dan satu-satunya orang yang tahu hal itu selain ayahnya ... adalah Aslan.
Kini jelas sudah semuanya. Sandra dan Aslan sengaja mengoleskan bubuk kayu cedar ke kalung ini agar dia terkena alergi. Sebuah rencana kotor terselubung dalam bingkai hadiah. Mereka bukan hanya melakukan pengkhianatan hati, tetapi juga upaya menyakiti tubuhnya secara diam-diam.
"Terima kasih, Pak. Saya akan membeli yang satu lagi ini," kata Anaby kemudian.
Ia membayar dengan cepat, lalu memakai kalung itu untuk membuktikan tak ada reaksi alergi. Tidak ada ruam. Tidak ada rasa gatal. Kalung itu justru terasa dingin di lehernya, tidak membakar seperti sebelumnya.
Hati Anaby bergemuruh saat ia keluar dari toko, tetapi ekspresi wajahnya tetap tenang.
Begitu masuk ke mobil, ia memberi perintah tegas, "Antar saya ke butik Amorette di pusat kota. Saya mau membeli gaun."
Amorette. Butik paling prestisius di kota. Tempat para sosialita dan selebritas memesan busana istimewa mereka.
Sesampainya di sana, ia langsung disambut pegawai butik dengan senyum profesional. Mereka menawarkan koleksi terbaru, dan membawa beberapa gaun elegan ke ruang ganti pribadi.
Namun, mata Anaby tertumbuk pada satu gaun sabrina dengan tali halus di bahu, dan potongan belahan di paha kiri. Kainnya jatuh dengan elegan, memberi kesan lembut sekaligus kuat.
"Saya ingin mencoba yang ini," ujarnya mantap.
Saat gaun tersebut membalut tubuhnya, Anaby menatap cermin. Gaun itu menampakkan garis bahunya yang anggun, dan menonjolkan lekuk tubuhnya yang ramping. Warna burgundy membuat kulit putihnya tampak lebih bersinar, dan matanya yang dulu selalu ragu—kini memancarkan ketegasan.
Setelah sekian lama, ia akhirnya melihat seorang perempuan yang tidak lagi menyembunyikan kecantikannya di balik batas-batas yang dibuat orang lain. Anaby teringat akan Aslan—yang selalu melarangnya mengenakan gaun terbuka, mengatakan bahwa ia tidak rela tubuh Anaby dilihat pria lain.
Dan seperti boneka yang patuh, Anaby menuruti, menenggelamkan jati dirinya demi cinta yang palsu. Siapa sangka di balik kata-kata manis itu tersembunyi racun pengendalian?
Anaby menatap dirinya sekali lagi di cermin, senyum kecil merekah di bibirnya. Di kehidupan sekarang, ia memilih untuk menjadi dirinya sendiri. Tak ada lagi yang mengekang atau mempengaruhi pilihannya.
"Saya akan ambil gaun ini," pungkas Anaby, tanpa keraguan.
Ya, ia akan tampil secantik mungkin di hadapan keluarga Rajasa. Bagaimanapun caranya, ia harus berusaha meyakinkan Michael untuk menerima perjodohan ini.
Setidaknya, dia juga bisa membalas budi untuk kehidupan sebelumnya.