Setelah memantapkan pilihannya, Anaby menelusuri deretan rak sepatu di sisi kiri butik. Pandangannya jatuh pada sepasang stiletto berwarna merah anggur, dihiasi pita satin kecil di bagian belakang tumit dan hak ramping sepanjang sepuluh sentimeter. Sepatu itu bukan hanya serasi dengan gaunnya, tetapi juga memancarkan keberanian yang selama ini ia kubur di balik gaun-gaun konservatif.
Tanpa ragu, Anaby memutuskan untuk membelinya. Selesai melakukan pembayaran, Anaby menggenggam kantong belanjaan butik itu dan kembali ke mobil.
"Antarkan saya ke kafe di sekitar pusat kota, Pak," ucapnya pelan kepada sopir, sambil menatap keluar jendela.
Siang ini, Anaby ingin merasakan kedamaian seorang diri, jauh dari segala drama yang menyertainya. Ia hanya ingin menikmati makan siang dengan tenang—sebuah jeda yang langka sejak kehadiran Nyonya Kemala dan Laura.
Di perjalanan, Anaby memandang kalung bulan sabit yang masih menggantung di leher jenjangnya. Ia menyentuhnya dengan ujung jari—hati-hati, penuh perasaan. Semoga saja di kehidupannya yang kedua, kalung ini tak lagi membawa petaka, melainkan justru akan membawanya menemukan cinta sejati.
Mobil berhenti di depan sebuah kafe dengan tanaman hijau yang menjuntai dari balkon. Anaby turun, melepaskan kacamata hitam yang menutupi sebagian wajahnya, lalu berjalan masuk. Ia memilih tempat duduk yang menghadap ke jalan, tempat cahaya matahari menyentuh permukaan meja kayu.
Saat pelayan datang, Anaby memesan spaghetti, sepotong brownies dan jus jeruk.
Sambil menunggu, gadis itu membuka ponsel untuk mengusir rasa bosan. Tak disangka, panggilan masuk dari Sandra muncul di layar.
Anaby sempat menatap layar itu beberapa detik, sebelum mengangkatnya dengan suara yang dibuat seramah mungkin.
"Halo, Sandra."
"Ana, aku ingin mentraktirmu dan Aslan untuk makan siang di restoran papaku.”
Anaby tersenyum tipis, meski tidak ada kehangatan di matanya. "Maaf, Sandra. Hari ini, aku tidak bisa.”
“Kenapa, Ana?” tanya Sandra tak menyerah. "Aku tadi sudah menelepon Aslan, dan dia bilang akan menjemputmu di rumah.”
Anaby menarik napas, menatap pemandangan luar jendela, seolah mencari udara segar untuk menepis kebohongan yang sedang ditunjukkan Sandra.
"Aku sedang berbelanja untuk persiapan acara nanti malam.”
"Acara apa?" tanya Sandra cepat.
"Pertemuan dengan keluarga Rajasa," jawab Anaby santai, lalu segera menambahkan, "Aku harus menutup telepon sekarang. Lain kali saja kita makan siang bersama.”
Tanpa menunggu tanggapan dari Sandra, Anaby meletakkan ponselnya perlahan. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi, sementara pikirannya menerawang jauh.
Di kehidupan sebelumnya, ia selalu menolak untuk bertemu dengan Michael. Bahkan, ia tidak pernah tertarik untuk mengetahui bagaimana rupa pria itu.
Terakhir kali mereka bertemu, saat usianya masih tujuh tahun dan Michael berusia sebelas tahun. Hanya saja, wajah anak lelaki itu telah mengabur dari memorinya.
Namun, ada satu ingatan yang tetap lekat : saat dirinya sekarat karena TBC stadium akhir. Anaby tak mungkin melupakan pria bermata biru yang menatapnya dengan raut panik bercampur luka yang dalam. Meski muncul sebagai sosok samar, pria itu adalah seseorang yang berusaha menyelamatkan jiwanya di detik terakhir.
Anaby menarik napas panjang. Tangannya kemudian meraih ponsel kembali untuk mengetik sebuah nama di mesin pencarian.
Michael Rajasa, CEO Matrix Group.
Namanya terdengar seperti gema di kepalanya. Lelaki yang dulu tidak pernah ia beri kesempatan, kini justru menjadi satu-satunya harapan yang tersisa untuknya. Dengan kekuasaan yang dimiliki Michael, pria itu pasti bisa mendukungnya untuk membalas dendam pada Aslan.
Dengan hati yang berdebar, Anaby membuka berita bisnis yang merekam jejak karier Michael sebagai pengusaha muda paling cemerlang di bidang startup.
Satu artikel terbuka. Di sana, berdiri seorang pria muda dengan setelan jas abu-abu gelap yang pas di tubuh atletisnya.
Wajahnya sangat menawan, meski memancarkan aura dingin yang tak bisa disangkal. Garis rahangnya tegas, dan ada keanggunan di bibir tipis yang tak tersenyum.
Rambutnya cokelat seperti daun maple di awal musim gugur. Akan tetapi, yang paling menyita perhatian adalah sepasang mata biru yang menatap kamera. Mata yang seakan bisa menembus kedalaman jiwa siapapun yang memandangnya.
Biru itu ... bukan biru yang biasa. Itu adalah biru lazuardi yang jernih, biru langit setelah hujan reda, biru laksana samudra yang merangkum rahasia dunia.
Anaby tercekat. Tenggorokannya mendadak terasa kering, seperti berada di tengah gurun pasir.
Di saat bersamaan, suara bel pintu kafe berdenting, memecah keheningan.
Anaby mendongak refleks, dan matanya menangkap beberapa pria berjas yang baru saja masuk. Mereka tampak seperti rombongan eksekutif yang datang dari rapat penting, penuh wibawa dan percakapan tertahan.
Namun, ada satu di antara mereka yang paling mencolok. Tingginya lebih dari 180 cm, tubuhnya tegap dan wajahnya simetris, nyaris sempurna.
Langkahnya lebih tenang, lebih elegan. Ia tak banyak bicara, tetapi orang-orang yang bersamanya memandangnya seolah ia pusat dari orbit mereka.
Pria muda itu berdiri tegap, mengenakan jas arang yang disulam halus, kemeja putih bersih, dan dasi berwarna merah gelap. Rambutnya yang tebal disisir rapi ke belakang, dengan sedikit gelombang alami.
Dan, matanya....
Biru.
Itu dia. Mata yang sama. Wajah yang hampir identik dengan foto yang baru saja Anaby lihat di ponselnya.
Hanya saja, di dunia nyata, pria itu lebih memesona. Lebih hidup, lebih menggetarkan.
"Tuan Michael, silakan duduk," panggil salah satu pria, dengan nada hormat dan penuh penghargaan.
Deg!
Jantung Anaby serasa meloncat dari dadanya. Gadis itu buru-buru meraih buku menu dan mengangkatnya ke depan wajah, menyembunyikan keterkejutannya yang tak bisa ditahan.
Mungkinkah pria itu, yang sedang duduk hanya beberapa meja darinya, adalah benar-benar Michael Rajasa?
Mendengar pengakuan putranya, tubuh Nyonya Safira menegang. Siapa sangka, informasi dari surat tanpa nama itu terbukti benar. Selama ini, Michael telah menjalin hubungan diam-diam dengan Anaby. “Jadi … wanita yang bersamamu sekarang adalah Anaby?” tanyanya dengan nada tertahan, tetapi penuh getar kemarahan. “Kau masih memilih dia sebagai kekasihmu? Setelah dia berselingkuh dan mempermalukan keluarga kita?”Michael tetap berdiri tegak, sorot matanya tidak berubah, penuh kepercayaan pada keyakinan yang telah dipilihnya. “Ana tidak berkhianat, Ma,” jawabnya tegas. “Yang salah waktu itu adalah aku. Aku tidak pernah memberi kabar kepada Ana, tidak pernah muncul di hadapannya selama bertahun-tahun," pungkas Michael."Aku sibuk sekolah di luar negri, mengejar gelar dan membangun perusahaanku. Bagaimana mungkin, dia bisa menunggu seseorang yang tak memberinya kepastian?”Nyonya Safira menggeleng cepat, bibirnya bergetar oleh emosi yang terus mendesak dari dalam. “Tapi dia memilih Aslan!”
Kalimat mengejutkan dari bibir Michael tak ubahnya palu godam yang menghantam dada tiga wanita di ruang makan. Nyonya Safira mematung dengan alis mengerut dalam. Nicole menoleh ke arah kakak sepupunya itu dengan sorot mata tak percaya. Namun, yang paling hancur adalah Laura.Wajah Laura memucat. Bibir yang semula berwarna merah muda tampak memutih seperti kertas, seolah semua darah telah ditarik paksa. Tangan gadis itu gemetar, ketika ia meremas gaun satin yang membalut pahanya, meninggalkan jejak kerutan yang tak beraturan. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Laura merasakan bagaimana dipermalukan seorang pria secara terang-terangan. Pria yang selama ini ia pikir akan menjadi tumpuan bagi masa depannya.“Michael, apa kau serius?” Nyonya Safira mencoba bicara, suaranya tercekat.Michael menatap ibunya tanpa keraguan. “Aku selalu serius, Ma. Terutama dalam hal memilih pasangan hidup. Menurutku, tidak perlu lagi pembahasan seperti ini. Aku baru tiba di Grenada dan ingin makan dengan ten
Langkah-langkah Laura terdengar mantap saat ia memasuki ruang makan keluarga Rajasa. Gaun ketat berwarna merah sengaja ia pilih untuk menonjolkan bentuk tubuhnya yang ramping. Di tangan Laura, ada sebuah kotak makanan yang sudah dikemas cantik—berisi chicken kiev dan pai lemon. Dua makanan favorit Michael yang pernah ia dengar langsung dari bibir Nyonya Safira.Degup jantung Laura semakin menguat, apalagi ketika para pelayan menghiasi meja makan dengan lilin beraroma vanila. Meja itu telah tertata indah, dengan peralatan makan porselen yang hanya digunakan untuk acara-acara penting. Nyonya Safira duduk di kursi tengah, tampak anggun dengan perhiasan mutiara yang tersemat di lehernya. Sementara itu, Nicole menemani di samping sang tante sambil meneguk segelas jus anggur. Begitu melihat Laura datang, Nicole tersenyum sumringah.“Kau terlihat sangat cantik malam ini, Laura,” puji Nicole dengan mata berbinar.Sementara, Nyonya Safira menunjuk satu kursi di hadapannya, memberi isyarat a
Bibir Tuan Carlo terkatup rapat, sedangkan tangannya terangkat perlahan untuk mengusap wajahnya yang tiba-tiba memucat. Pandangannya kosong, seakan butuh waktu untuk mencerna kenyataan yang baru saja ia dengar.“Kau… menikah dengan Michael?” gumamnya lirih. “Kenapa kau tidak meminta pertimbangan Papa dulu sebelum mengambil keputusan sebesar itu?”Melihat itu, Anaby segera duduk bersimpuh di hadapan sang ayah. Ia menggenggam kedua lututnya yang tertekuk di lantai, lalu menatap ayahnya yang tampak begitu terluka. “Maafkan aku, Papa,” ucapnya penuh rasa bersalah. “Saat itu Papa masih terbaring di ICU. Dokter mengatakan Papa tidak boleh menerima kejutan apa pun."Ekspresi terkejut kembali membayang di wajah Tuan Carlo. Matanya membelalak, bibirnya sedikit bergetar.“Jadi, kalian menikah saat Papa masih di rumah sakit?”Anaby mengangguk. “Di gereja kecil di pinggir kota. Hanya aku dan Michael. Sederhana, tanpa pesta, tanpa saksi keluarga. Tapi, kami mengikat janji dengan sungguh-sungguh.”
Apartemen yang disewakan Michael untuk Prof. Hansel, berada di kawasan yang tak jauh dari gedung Nova Education Center. Sopir dengan sigap mengangkat koper, sementara Anaby berjalan mendampingi sang profesor.Setibanya di depan pintu unit lantai tiga, Anaby mengetikkan kode akses dan membukakan pintu. Apartemen itu luas, terdiri dari satu kamar tidur, ruang baca, serta dapur mungil dengan perlengkapan memasak. Jendela lebarnya menghadap ke arah taman kota yang teduh."Saya sudah memesankan makanan untuk Anda melalui layanan delivery," ucap Anaby lembut.Kemudian, ia meletakkan dua lembar kartu nama di atas meja kaca. "Jika membutuhkan sesuatu, hubungi saya atau Michael. Nomor kami tertera di sana."Prof. Hansel mengangguk pelan, mengulas senyum tenang."Besok siang, saya akan menjemput Anda untuk makan bersama di rumah saya. Saya ingin memperkenalkan Anda kepada papa saya," imbuh Anaby sebelum berpamitan.“Terima kasih, Anaby. Saya pasti datang,” balas Prof. Hansel, lalu mengantar Ana
Sesudah rapat luar biasa ditutup oleh Pak Jimmy, ruangan itu dipenuhi langkah antusias. Para anggota dewan berdiri, bergerak mendekati meja depan untuk menyalami Prof. Hansel. Lelaki paruh baya itu membalas jabatan tangan dengan kerendahan hati. Dengan mata berbinar, Anaby menoleh singkat ke arah Prof. Hansel. Ia mendapati pria paruh baya itu tersenyum penuh kehangatan.Anaby juga menerima ucapan selamat dari para petinggi perusahaan. Setiap kalimat yang terlontar, setiap pujian yang diterima terasa seperti penghargaan atas perjuangan yang selama ini ia tempuh. Melawan ragu, menepis hinaan, dan menolak tunduk pada siapapun yang meremehkan.Dan, giliran terakhir yang ditunggu Anaby pun tiba—Aslan mendekat.Pandangan Anaby tak beranjak dari wajah pria itu. Ia mengenal Aslan terlalu dalam untuk tertipu.Senyum Aslan memang terpulas rapi, tetapi ada tekanan halus dalam genggaman tangan yang ia ulurkan. Ketegangan rahang pria itu, tarikan halus di ujung bibirnya, dan tatapan yang gagal ia