Share

Berganti Suami

Author: Risca Amelia
last update Last Updated: 2025-04-03 23:51:59

Setelah makan malam berakhir, Anaby menggandeng lengan ayahnya dengan lembut.

"Ayo, Papa, aku antar ke kamar."

Kalimat sederhana itu seakan menggema di seluruh ruangan, membuat Nyonya Kemala dan Laura membelalak dengan ekspresi penuh curiga. Keduanya bahkan saling bertatapan, seolah memastikan bahwa mereka tidak sedang bermimpi. 

Usai punggung Anaby dan Tuan Carlo menghilang di tikungan, Laura membungkukkan tubuh ke arah ibunya.

“Ma, sejak kapan Ana jadi sebaik itu? Jangan-jangan dia merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan warisan."

Nyonya Kemala menautkan alisnya, matanya mengamati arah kamar suaminya dengan penuh kehati-hatian. 

"Mama juga belum tahu pasti," sahutnya pelan. "Kalau benar Ana berniat menikah dengan Michael, supaya bisa mewarisi harta peninggalan kakeknya, maka kita harus menggagalkannya.”

Laura mengangguk cepat, seperti baru saja menyusun rencana gelap di dalam kepalanya.

Sementara itu, di dalam kamar yang temaram dengan cahaya lampu tidur, Anaby membantu Tuan Carlo duduk di sisi ranjang. Ia mengatur bantal di belakang punggung sang ayah, memastikan pria paruh baya itu merasa nyaman.

Tuan Carlo menghela napas panjang, lalu menatap putrinya dengan rasa ingin tahu. 

“Anaby, apa yang membuatmu berubah pikiran? Kenapa kamu tiba-tiba bersedia menemui Michael?"

Anaby terdiam sejenak, lalu menggenggam tangan ayahnya dengan erat. 

"Aku hanya ingin memberi kesempatan pada diriku sendiri, Pa. Kalau kakek menjodohkanku dengan Michael, tentu ada alasannya. Aku tidak mau langsung menolak tanpa mengenalnya lebih jauh."

Ia menghela napas lagi, kali ini lebih berat. "Dulu, aku terlalu keras kepala. Tapi sekarang ... aku ingin Papa percaya padaku.”

Ucapan Anaby mengandung kesungguhan yang tak bisa diabaikan. Dan saat gadis itu memeluk Tuan Carlo erat-erat, pria itu tidak menolak. Bahkan, ia mengangkat satu tangannya dan menepuk punggung putrinya pelan. Kehangatan yang kini telah tercipta, mampu meruntuhkan dinding pembatas di antara mereka.

"Papa istirahat, ya. Jangan lupa minum vitamin yang aku taruh di meja samping,” ujar Anaby tersenyum tipis.

Gadis itu melangkah keluar dengan hati yang lebih lapang.

Begitu sampai di kamarnya, Anaby berganti pakaian dengan piyama tidur satin bermotif bunga. Ia mendekati rak kecil di sisi tempat tidur dan mengambil boneka kelinci kesayangannya.

"Bubu," katanya pelan sambil memeluk boneka itu erat-erat. "Hari ini berat, tapi aku berhasil melewatinya. Papa masih sehat. Tidak ada serangan jantung, tidak ada teriakan panik seperti yang pernah terjadi."

Anaby memejamkan mata, membiarkan air matanya mengalir diam-diam, bukan karena sedih, melainkan karena lega.

"Aku berhasil menyelamatkan Papa ... setidaknya untuk malam ini. Tapi, besok adalah hari terbesar dalam hidupku, Bubu," lanjutnya sambil menatap mata kaca kecil di boneka itu. 

"Aku tidak tahu apakah ini keputusan yang benar. Tapi, satu hal yang pasti, aku tidak akan memilih Aslan untuk kedua kalinya.”

Pelukannya pada boneka semakin erat, seolah gadis itu sedang mencoba memeluk harapan yang rapuh.

Anaby berbaring di tempat tidur sambil tetap memeluk Bubu. Tak lama, mimpi mulai membawa Anaby meninggalkan kegelisahan yang menekan hatinya.

Namun, dering alarm dari ponsel membuat gadis itu terbangun perlahan. Matanya yang masih berat terbuka, dan pandangannya langsung mengarah pada jarum jam yang menunjukkan pukul tujuh pagi. 

Anaby menghela napas. Ia mematikan alarm, lalu bersandar di kepala tempat tidur sambil masih memeluk Bubu erat-erat.

Ponselnya kembali menyala. Sebuah pesan masuk muncul di layar. 

Tanpa membacanya pun Anaby tahu siapa pengirimnya: Aslan.

Ia menatap layar itu beberapa detik, dan senyum getir pun terbit di sudut bibirnya. 

Pesan itu pasti berisi kalimat-kalimat yang dulu pernah membuatnya berbunga-bunga—ucapan selamat pagi yang manis, peringatan untuk sarapan, dan salam perpisahan karena Aslan akan berangkat bekerja di kantor milik keluarga Buana. Rutinitas yang dulu ia anggap sebagai bukti cinta.

Namun kini, semua itu hanya terasa seperti rekaman lama yang membosankan. Segalanya berubah sejak ia tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Pengkhianatan yang menusuk, kebohongan yang menyakitkan. 

Dengan satu sentuhan dingin, Anaby menghapus pesan itu. Tidak ada lagi Aslan dalam hidupnya.

Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju kamar mandi, dan mulai mempersiapkan diri. Wajahnya yang segar dipoles dengan make-up tipis, rambutnya dikuncir santai, dan tubuhnya dibalut setelan kasual bernuansa biru pastel yang sederhana namun tetap memancarkan aura elegan seorang putri dari keluarga terpandang.

Tas kecil berwarna putih ia ambil dari lemari, dan tanpa banyak suara, Anaby melangkah menuju ruang makan. Di sana, ayahnya, Tuan Carlo, sudah duduk tenang bersama Nyonya Kemala sambil meminum kopi hitam. Sementara Laura, seperti biasa, belum bangun.

Anaby tak berkata banyak. Ia hanya mengambil segelas susu dari meja dan meneguknya perlahan. Ia memandang ayahnya dan berkata dengan lembut, "Papa, aku pergi dulu."

"Pergi ke mana, Ana? Ini masih pagi."

Sebelum Anaby sempat menjawab, suara tajam khas Nyonya Kemala memotong percakapan. 

"Ana pasti ingin berbelanja, menghamburkan uang bersama sahabatnya yang miskin itu.”

Anaby hanya tersenyum tipis, senyum yang lebih banyak menyiratkan ironi daripada kehangatan. Ia menjawab dengan suara tenang.

"Aku hanya ingin jalan-jalan, menghirup udara pagi. Tapi, seandainya aku ingin berbelanja pun, tidak masalah, kan? Uang keluarga ini milikku juga."

Tuan Carlo mengerjapkan mata, tak menyangka akan mendengar jawaban seberani itu. Namun, ia tidak menegur. Sementara itu, wajah Nyonya Kemala menegang, dan matanya menyipit seperti mencari-cari celah untuk menyerang.

Anaby menghampiri ayahnya, lalu membungkuk dan mengecup pipi pria paruh baya itu dengan lembut. 

"Jangan lupa minum vitamin pagi, Papa," ucapnya lirih, nyaris seperti bisikan cinta dari seorang anak yang takut kehilangan.

Setelah itu, Anaby melangkah pergi. Di luar, angin sepoi membelai rambut panjang Anaby saat ia mengenakan kacamata hitam. Mobil mewah dengan sopir pribadi sudah menunggunya di depan.

Anaby membuka pintu dan masuk ke dalam kabin dengan gerakan anggun.

"Antar saya ke toko barang antik di Jalan Teratai, Pak," katanya tanpa ragu.

Sopirnya, Pak Darto, mengangguk patuh dan menyalakan mesin mobil. Saat kendaraan itu meluncur perlahan meninggalkan rumah, Anaby menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap jalanan yang masih sepi.

Hari ini, ia akan membuka kembali satu bagian dari masa lalu yang pernah ia abaikan—kalung dari Sandra. Ia tidak tahu apakah benda itu benar-benar membawa pengaruh buruk.

Namun, Anaby bertekad untuk mengetahui kebenarannya. Ia tidak bisa lagi hidup dalam kebodohan dan manipulasi.

Lalu, setelah itu, ia harus bersiap untuk menemui calon suaminya. Jodoh yang telah ditentukan oleh sang kakek sebelum ia tumbuh dewasa.

Michael Rajasa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Membalas Mantan : Cinta Sejatiku Datang Setelah Kematian   Pengembalian Karma

    Dengan langkah penuh perhitungan, Anaby mengikuti Darwin menuju ruang rapat utama. Pintu ganda ruangan itu perlahan terbuka saat Darwin mendorongnya. Di dalam, nampak sebuah meja panjang yang dikelilingi kursi-kursi kulit hitam berkualitas tinggi. Sementara, diujung tengah meja, terdapat kursi kehormatan—kursi tempat Tuan Carlo biasa duduk selama bertahun-tahun. Titik tersebut menjadi pusat gravitas dalam setiap keputusan penting perusahaan.Begitu Darwin menampakkan diri, ruang rapat mendadak lebih tenang. Para manajer dan anggota dewan, menundukkan kepala sebagai tanda hormat kepada asisten CEO tersebut. Namun, mata mereka langsung membelalak saat melihat sosok muda di belakangnya. Beberapa tampak menegang, sebagian lainnya saling pandang, mencoba menebak siapa perempuan berpenampilan mewah dan berkharisma itu. Tatapan mereka berubah dari bingung menjadi tercengang ketika Darwin berhenti di sisi kursi utama. Pria matang itu mempersilakan Anaby duduk di sana.Anaby mengangguk keci

  • Membalas Mantan : Cinta Sejatiku Datang Setelah Kematian   Menepati Janji

    Mobil yang dinaiki Anaby berhenti tepat di depan lobi utama Nova Education Center. Cahaya matahari memantul di kaca-kaca tinggi, yang menghiasi gedung bergengsi tempat berkumpulnya para pemikir dan pendidik di kota Grenada. Begitu mobil benar-benar berhenti, Anaby melirik jam di ponsel sebelum membuka pintu.“Pak Darto, jemput saya saat jam makan siang, pukul dua belas tepat,” titah Anaby, dengan lembut.Pak Darto menoleh dan mengangguk penuh hormat. “Siap, Nona.”Setelah memberikan instruksi, Anaby mengeluarkan ponselnya dan menelepon Darwin—tangan kanan sang ayah yang selalu andal dan tepat waktu. Nada panggil hanya berbunyi dua kali sebelum disambut oleh suara tenang pria itu.“Saya sudah tiba di kantor,” ujar Anaby, sambil memindahkan tas tangan dan tas laptop ke pangkuannya.“Masuk saja Nona, saya menunggu di lobi,” balas Darwin, dengan nada ramah yang khas.“Baik. Saya segera masuk.”Anaby pun merapikan tasnya, lalu mendorong pintu mobil dan melangkah keluar. Angin pagi berembu

  • Membalas Mantan : Cinta Sejatiku Datang Setelah Kematian   Siap Melawan Aslan

    Tepat pukul enam, denting alarm ponsel membuat Anaby membuka matanya. Dengan penuh kesadaran, gadis itu bangkit dari ranjang. Meski semalam ia baru memejamkan mata menjelang pukul satu dini hari—pikiran Anaby telah lebih dulu terbang pada agenda yang menanti. Hari ini bukan sembarang hari. Ini adalah titik mula dari sebuah langkah besar yang telah ia siapkan dengan segenap keberanian. Dia akan berdiri sendiri, bukan sebagai putri seorang pengusaha besar, melainkan sebagai wanita yang layak diperhitungkan.Jari-jari Anaby yang ramping lantas menyapu layar untuk mematikan alarm.Namun, pandangannya terhenti saat melihat satu pesan masuk. Hanya satu baris—singkat, tetapi cukup membuat bibirnya melengkung membentuk senyum. Dari Michael.[Aku berangkat. Lakukan janjimu, dan aku akan menepati janjiku, Ana.]Seketika itu juga, garis lembut di bibir Anaby semakin lebar. Ia bisa membayangkan tatapan dingin Michael, tutur tajamnya yang menuntut, tetapi di baliknya ada perhatian dan perlindunga

  • Membalas Mantan : Cinta Sejatiku Datang Setelah Kematian   Hasrat Tak Terbendung

    Di kamarnya, Aslan menuju lemari gantung untuk memilih baju yang akan dia kenakan. Dari deretan gantungan, ia mengambil kemeja katun biru kelam bermotif garis, dipadu celana chino berwarna senada. Ikat pinggang kulit espresso diikat mantap, dan jam tangan perak berlingkar bezel hitam bertengger di pergelangan tangan kirinya. Setelah menyemprotkan parfum, Aslan meneliti wajahnya di cermin oval. Gel rambut tersisir licin, alis tebal yang rapi, dan paras maskulin yang sempurna.Bibirnya membentuk senyum tipis penuh keangkuhan. Andai saja dia berasal dari keluarga terpandang, pasti pesonanya mampu mengalahkan Michael Rajasa. “Suatu hari,” bisiknya, “kau akan menyesal, Ana. Cepat atau lambat, kau pasti kembali.”Sambil membusungkan dada, Aslan menelusuri lorong setapak paviliun menuju garasi. Rumah utama tampak sunyi, hanya diterangi lampu teras yang berpendar lembut. Aslan mendengus kecewa—tak ada sosok Anaby yang ia harapkan mengintip dari tirai jendela, sekadar untuk melihat penampil

  • Membalas Mantan : Cinta Sejatiku Datang Setelah Kematian   Istri Pengganti

    Gerbang besi tempa berukir lambang ‘R’ dengan warna keemasan menyambut kedatangan Laura. Di baliknya, jalan setapak granit hitam membelah hamparan taman bergaya Versailles—air mancur, patung nimfa, serta deretan bunga peony yang memanjakan mata.Cahaya lampu taman memantul pada kaca jendela mansion berlantai tiga lantai itu. Kediaman keluarga Rajasa menjulang megah, bagaikan sebuah istana klasik. Laura menelan kagum, kemudian menepikan mobilnya di depan teras bundar. Begitu mesin berhenti, ia menekan nomor Nicole.“Nicole, aku sudah di depan gerbang,” bisiknya gugup—antara takjub dan gelisah.“Masuk saja,” sahut Nicole ringan. “Security sudah tahu kalau kau akan datang.”“Tetap jemput aku, ya? Aku… canggung.”Tawa lembut terdengar di ujung sana, sebelum sambungan terputus. Tak lama, pintu gerbang pun terbuka. Nicole Rajasa—gadis berambut cokelat kemerahan itu muncul, mengenakan gaun linen selutut. Ia berbicara singkat pada petugas keamanan, lalu melambaikan tangan kepada Laura.Begi

  • Membalas Mantan : Cinta Sejatiku Datang Setelah Kematian   Kenakan Cincin Pernikahanmu

    Di kamarnya yang hening, Anaby melepaskan gaunnya dan menuju kamar mandi. Ia menuangkan sabun aromaterapi ke dalam bathtub, membiarkan busa halus memenuhi permukaan air hangat. Begitu tubuhnya tenggelam di dalam air, rasa penat mulai terangkat sedikit demi sedikit.Namun, satu bayangan malah menyusup pelan. Wajah Laura, senyum licik gadis itu dan tatapan genitnya yang tertuju pada Michael. Entah mengapa ia malah memikirkan adegan Laura yang sedang merayu Michael, ketimbang persaingannya melawan Aslan.Anaby membuka matanya, menatap kosong ke langit-langit kamar mandi. Air di sekelilingnya sudah mulai mendingin. Malam ini ia tidak boleh memikirkan hal lain selain bekerja. Metode Sigma yang ia susun membutuhkan fokus tinggi, dan ia masih harus mempelajari seluruh catatan rapat.Dengan uap lembut yang masih mengambang di kulitnya, Anaby akhirnya meninggalkan kamar mandi. Bathrobe berwarna ivory membungkus tubuhnya, mengungkung aroma ylang-ylang yang menempel sesudah berendam cukup lama.

  • Membalas Mantan : Cinta Sejatiku Datang Setelah Kematian   Tidak Mencintaimu Lagi

    Meski enggan, Anaby terpaksa menerima setangkai mawar merah yang telah disiapkan Aslan sejak awal. Jemarinya menyentuh batang bunga itu dengan dingin, tanpa getaran rasa. Ia tidak ingin memilikinya, tidak ingin menandai pertemuan ini sebagai sesuatu yang manis. Hanya saja, menolak pemberian Aslan secara terang-terangan hanya akan memperkeruh keadaan.Aslan tersenyum samar. “Kumohon, jangan marah padaku lagi, Sayang.”"Aku tidak marah, Aslan," tukas Anaby, mencoba meredam kejengkelan yang perlahan naik ke permukaan. "Kalau aku marah, aku tidak akan bicara denganmu saat ini."“Tapi, kau selalu menjauh dariku. Menghindari semua kesempatan yang bisa membuat kita berduaan," lanjut Aslan, dengan suara lembut.Anaby menghembuskan napas kasar. Mungkin ini saatnya ia bicara dangan tegas. Tidak dengan kemarahan, melainkan dengan kejelasan. Ia tidak boleh terus menunda dan membiarkan harapan Aslan tumbuh dari akar-akar pahit yang sudah patah.“Aku tidak ingin melanjutkan hubungan kita seperti du

  • Membalas Mantan : Cinta Sejatiku Datang Setelah Kematian   Pria Pengganggu

    Anaby menunduk, menatap ponsel yang masih berada di genggaman. Pikirannya belum lepas dari nama “Matrix” dan segala kemungkinan yang bisa muncul darinya. “Nanti saja aku memikirkannya, setelah metode Sigma selesai,” bisiknya dalam hati. Ada yang lebih mendesak saat ini. Rancangan metode Sigma yang ia kembangkan untuk menandingi Aslan belum rampung, dan esok pagi ia harus menghadiri rapat penting bersama dewan direksi. Fokusnya harus tetap terarah. Tentang Angelo dan Prof. Hansel—itu bisa ia pikirkan setelah rapat selesai.Mobil pun terus melaju hingga memasuki halaman rumah. Ketika roda berhenti dan Pak Darto membuka pintu, sosok Laura sudah lebih dulu berdiri dari kursi rotan di teras. Dengan dandanan yang berlebihan untuk ukuran sore hari, adik tirinya itu melangkah dengan gaya terburu-buru, seolah hendak membantu.“Aku baru akan ke rumah sakit menjenguk Papa. Ternyata Papa sudah pulang,” tutur Laura dengan senyum manis. ““Kenapa tidak ada yang mengabari kami?”Pandangan mata ga

  • Membalas Mantan : Cinta Sejatiku Datang Setelah Kematian   Meminta Bantuannya Sekali Lagi

    “Maaf, saya sendiri tidak tahu siapa yang membayarnya,” jawab sang perawat.“Pihak keuangan hanya memberi tahu bahwa semua tagihan telah dibayar lunas. Bila ingin menanyakan lebih lanjut, bisa langsung ke bagian administrasi.”Lekas saja Anaby mengangkat tangan sedikit, menolak dengan halus.“Tidak perlu. Terima kasih banyak atas bantuannya.”Perawat itu tersenyum hangat, lalu melangkah mendekati sisi ranjang Tuan Carlo. Dengan gerakan terampil, ia mulai melepas selang infus yang masih menancap di tangan pria paruh baya itu. Sensor nadi di jari, selang oksigen di hidung, serta elektroda pemantau di dada Tuan Carlo juga dicabut satu per satu. Terakhir, sang perawat membersihkan bekas perekat dengan kapas alkohol dan menutup bekas tusukan dengan plester kecil.“Sudah selesai, Tuan,” ujar sang perawat sambil menata alat-alat medis itu ke dalam nampan kecil.”Jangan lupa minum obat sesuai jadwal. Sebentar lagi kursi roda akan diantar.”Pak Damian yang sejak tadi hanya mengamati dari sisi

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status