Setelah makan malam berakhir, Anaby menggandeng lengan ayahnya dengan lembut.
"Ayo, Papa, aku antar ke kamar."
Kalimat sederhana itu seakan menggema di seluruh ruangan, membuat Nyonya Kemala dan Laura membelalak dengan ekspresi penuh curiga. Keduanya bahkan saling bertatapan, seolah memastikan bahwa mereka tidak sedang bermimpi.
Usai punggung Anaby dan Tuan Carlo menghilang di tikungan, Laura membungkukkan tubuh ke arah ibunya.
“Ma, sejak kapan Ana jadi sebaik itu? Jangan-jangan dia merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan warisan."
Nyonya Kemala menautkan alisnya, matanya mengamati arah kamar suaminya dengan penuh kehati-hatian.
"Mama juga belum tahu pasti," sahutnya pelan. "Kalau benar Ana berniat menikah dengan Michael, supaya bisa mewarisi harta peninggalan kakeknya, maka kita harus menggagalkannya.”
Laura mengangguk cepat, seperti baru saja menyusun rencana gelap di dalam kepalanya.
Sementara itu, di dalam kamar yang temaram dengan cahaya lampu tidur, Anaby membantu Tuan Carlo duduk di sisi ranjang. Ia mengatur bantal di belakang punggung sang ayah, memastikan pria paruh baya itu merasa nyaman.
Tuan Carlo menghela napas panjang, lalu menatap putrinya dengan rasa ingin tahu.
“Anaby, apa yang membuatmu berubah pikiran? Kenapa kamu tiba-tiba bersedia menemui Michael?"
Anaby terdiam sejenak, lalu menggenggam tangan ayahnya dengan erat.
"Aku hanya ingin memberi kesempatan pada diriku sendiri, Pa. Kalau kakek menjodohkanku dengan Michael, tentu ada alasannya. Aku tidak mau langsung menolak tanpa mengenalnya lebih jauh."
Ia menghela napas lagi, kali ini lebih berat. "Dulu, aku terlalu keras kepala. Tapi sekarang ... aku ingin Papa percaya padaku.”
Ucapan Anaby mengandung kesungguhan yang tak bisa diabaikan. Dan saat gadis itu memeluk Tuan Carlo erat-erat, pria itu tidak menolak. Bahkan, ia mengangkat satu tangannya dan menepuk punggung putrinya pelan. Kehangatan yang kini telah tercipta, mampu meruntuhkan dinding pembatas di antara mereka.
"Papa istirahat, ya. Jangan lupa minum vitamin yang aku taruh di meja samping,” ujar Anaby tersenyum tipis.
Gadis itu melangkah keluar dengan hati yang lebih lapang.
Begitu sampai di kamarnya, Anaby berganti pakaian dengan piyama tidur satin bermotif bunga. Ia mendekati rak kecil di sisi tempat tidur dan mengambil boneka kelinci kesayangannya.
"Bubu," katanya pelan sambil memeluk boneka itu erat-erat. "Hari ini berat, tapi aku berhasil melewatinya. Papa masih sehat. Tidak ada serangan jantung, tidak ada teriakan panik seperti yang pernah terjadi."
Anaby memejamkan mata, membiarkan air matanya mengalir diam-diam, bukan karena sedih, melainkan karena lega.
"Aku berhasil menyelamatkan Papa ... setidaknya untuk malam ini. Tapi, besok adalah hari terbesar dalam hidupku, Bubu," lanjutnya sambil menatap mata kaca kecil di boneka itu.
"Aku tidak tahu apakah ini keputusan yang benar. Tapi, satu hal yang pasti, aku tidak akan memilih Aslan untuk kedua kalinya.”
Pelukannya pada boneka semakin erat, seolah gadis itu sedang mencoba memeluk harapan yang rapuh.
Anaby berbaring di tempat tidur sambil tetap memeluk Bubu. Tak lama, mimpi mulai membawa Anaby meninggalkan kegelisahan yang menekan hatinya.
Namun, dering alarm dari ponsel membuat gadis itu terbangun perlahan. Matanya yang masih berat terbuka, dan pandangannya langsung mengarah pada jarum jam yang menunjukkan pukul tujuh pagi.
Anaby menghela napas. Ia mematikan alarm, lalu bersandar di kepala tempat tidur sambil masih memeluk Bubu erat-erat.
Ponselnya kembali menyala. Sebuah pesan masuk muncul di layar.
Tanpa membacanya pun Anaby tahu siapa pengirimnya: Aslan.
Ia menatap layar itu beberapa detik, dan senyum getir pun terbit di sudut bibirnya.
Pesan itu pasti berisi kalimat-kalimat yang dulu pernah membuatnya berbunga-bunga—ucapan selamat pagi yang manis, peringatan untuk sarapan, dan salam perpisahan karena Aslan akan berangkat bekerja di kantor milik keluarga Buana. Rutinitas yang dulu ia anggap sebagai bukti cinta.
Namun kini, semua itu hanya terasa seperti rekaman lama yang membosankan. Segalanya berubah sejak ia tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Pengkhianatan yang menusuk, kebohongan yang menyakitkan.
Dengan satu sentuhan dingin, Anaby menghapus pesan itu. Tidak ada lagi Aslan dalam hidupnya.
Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju kamar mandi, dan mulai mempersiapkan diri. Wajahnya yang segar dipoles dengan make-up tipis, rambutnya dikuncir santai, dan tubuhnya dibalut setelan kasual bernuansa biru pastel yang sederhana namun tetap memancarkan aura elegan seorang putri dari keluarga terpandang.
Tas kecil berwarna putih ia ambil dari lemari, dan tanpa banyak suara, Anaby melangkah menuju ruang makan. Di sana, ayahnya, Tuan Carlo, sudah duduk tenang bersama Nyonya Kemala sambil meminum kopi hitam. Sementara Laura, seperti biasa, belum bangun.
Anaby tak berkata banyak. Ia hanya mengambil segelas susu dari meja dan meneguknya perlahan. Ia memandang ayahnya dan berkata dengan lembut, "Papa, aku pergi dulu."
"Pergi ke mana, Ana? Ini masih pagi."
Sebelum Anaby sempat menjawab, suara tajam khas Nyonya Kemala memotong percakapan.
"Ana pasti ingin berbelanja, menghamburkan uang bersama sahabatnya yang miskin itu.”Anaby hanya tersenyum tipis, senyum yang lebih banyak menyiratkan ironi daripada kehangatan. Ia menjawab dengan suara tenang.
"Aku hanya ingin jalan-jalan, menghirup udara pagi. Tapi, seandainya aku ingin berbelanja pun, tidak masalah, kan? Uang keluarga ini milikku juga."
Tuan Carlo mengerjapkan mata, tak menyangka akan mendengar jawaban seberani itu. Namun, ia tidak menegur. Sementara itu, wajah Nyonya Kemala menegang, dan matanya menyipit seperti mencari-cari celah untuk menyerang.
Anaby menghampiri ayahnya, lalu membungkuk dan mengecup pipi pria paruh baya itu dengan lembut.
"Jangan lupa minum vitamin pagi, Papa," ucapnya lirih, nyaris seperti bisikan cinta dari seorang anak yang takut kehilangan.
Setelah itu, Anaby melangkah pergi. Di luar, angin sepoi membelai rambut panjang Anaby saat ia mengenakan kacamata hitam. Mobil mewah dengan sopir pribadi sudah menunggunya di depan.
Anaby membuka pintu dan masuk ke dalam kabin dengan gerakan anggun.
"Antar saya ke toko barang antik di Jalan Teratai, Pak," katanya tanpa ragu.
Sopirnya, Pak Darto, mengangguk patuh dan menyalakan mesin mobil. Saat kendaraan itu meluncur perlahan meninggalkan rumah, Anaby menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap jalanan yang masih sepi.
Hari ini, ia akan membuka kembali satu bagian dari masa lalu yang pernah ia abaikan—kalung dari Sandra. Ia tidak tahu apakah benda itu benar-benar membawa pengaruh buruk.
Namun, Anaby bertekad untuk mengetahui kebenarannya. Ia tidak bisa lagi hidup dalam kebodohan dan manipulasi.
Lalu, setelah itu, ia harus bersiap untuk menemui calon suaminya. Jodoh yang telah ditentukan oleh sang kakek sebelum ia tumbuh dewasa.
Michael Rajasa.
Dentuman musik orkestra yang merdu memenuhi ruang ballroom. Tepat ketika jarum jam menunjuk pukul tujuh malam, acara perayaan ulang tahun Nyonya Safira resmi dimulai.Seorang pembawa acara melangkah ke panggung dengan percaya diri. Senyum ramah tersungging di bibirnya ketika ia mengucapkan salam hangat, menyambut para kerabat, sahabat, dan tamu kehormatan. “Sebagai pembuka acara malam ini,” suara sang pembawa acara bergema jelas, “kami dengan hormat mempersilakan Tuan Michael Rajasa, CEO Matrix Group sekaligus putra tunggal Nyonya Safira, untuk menyampaikan sambutan.”Semua mata seketika beralih pada Michael. Sebelum beranjak dari kursi, pria itu melirik ke arah Anaby.Senyum tipis terbit di bibir Anaby. Anggukan penuh keyakinan ia berikan kepada Michael, seakan menyalurkan kekuatan lewat tatapan matanya.Michael bangkit. Dengan gerakan tenang, ia merapikan jas putih yang membalut tubuh tegapnya, lalu melangkah menuju panggung.Tepuk tangan membahana, mengiringi setiap langkahnya. Aur
Anaby duduk di kursi lobi salon, jemarinya memainkan pita emas pada kantong kado yang tergeletak di pangkuannya. Sekali-kali ia melirik jam tangan tipis di pergelangan, lalu menarik napas panjang. Beberapa menit yang lalu, ia sudah menghubungi Michael. Sang suami berjanji akan menjemputnya sebentar lagi. Meski begitu, degup jantungnya tetap tak mau tenang.Dentuman dari mesin mobil yang berhenti di depan salon, membuat Anaby menoleh cepat. Dari balik kaca besar, ia melihat sosok yang membuat wajahnya seketika berseri. Michael turun dari mobil dengan setelan jas putih elegan, kontras dengan kulitnya yang cerah dan mata biru yang menyala. Posturnya yang tinggi dan tegap membuat langkahnya memancarkan pesona yang tak terelakkan.Para pegawai salon, bahkan beberapa pengunjung yang sedang duduk menunggu, spontan menghentikan aktivitas mereka. Pandangan mereka terikat pada satu titik, pria yang baru saja masuk. Bisik-bisik kecil terdengar di udara. Sebagian tersenyum, sebagian lain hanya
Mobil yang ditumpangi Anaby melaju menyusuri jalan menuju rumah sakit jiwa. Langit berwarna biru cerah, seolah merestui perjalanan Anaby hari ini.Di dalam kabin, Anaby hanya terdiam sambil menggenggam map kunjungan yang telah disiapkan. Begitu tiba di halaman RSJ, ia turun dengan langkah mantap.Anaby masuk ke lobi dan menghampiri meja resepsionis untuk menyerahkan kartu identitas.“Ada yang bisa saya bantu?” tanya petugas, dengan sopan.“Saya ingin menjenguk pasien atas nama Sandra. Dia baru saja mengalami keguguran,” jawab Anaby tenang.Petugas itu memeriksa buku catatan dan layar komputer, kemudian meminta Anaby mengisi formulir kunjungan. Setelah prosedur administrasi selesai, seorang perawat menghampiri.“Silakan ikut saya, Nona."Sang perawat memimpin Anaby melewati lorong panjang dengan pintu-pintu besi di sisi kiri dan kanan. Lorong itu sunyi, hanya sesekali terdengar teriakan atau tawa aneh dari balik pintu.“Kami menempatkan Nona Sandra di ruang perawatan khusus,” jelas per
Pagi itu, Anaby berdiri di hadapan Michael, membantu merapikan kerah jas yang jatuh sedikit miring. Jemarinya bergerak telaten, memastikan tidak ada satu pun lipatan yang mengganggu penampilan suaminya. “Sedikit condong ke kiri… ya, begitu,” pungkas Anaby, penuh perhatian. Tanpa membuang waktu, Anaby mengambil dasi yang tergantung di sandaran kursi. Ia melilitkannya dengan gerakan yang telah dihafalkan di luar kepala.Michael menatap sang istri sambil terkekeh kecil. “Kau selalu tahu cara membuatku terlihat seperti direktur di majalah bisnis,” ujarnya, setengah bercanda, setengah tulus.Anaby mengangkat pandangan, menatap wajah lelaki itu sejenak sebelum mengencangkan simpul dasi. “Bukan terlihat, Michael. Kau memang seorang direktur dari Matrix Group,” sahut Anaby. Ada kebanggaan yang nyata dalam nada bicaranya.Michael menunduk sedikit, menyentuh ujung hidung Anaby dengan jemarinya.“Hari ini, aku ingin kau berada di salon saja. Manjakan dirimu. Lakukan semua perawatan yang membu
Anaby dan Michael masih berbaring di ranjang, tubuh mereka saling melekat tanpa jarak. Kehangatan kulit Michael di pelukannya membuat Anaby merasa aman, seakan dunia luar dengan segala ancamannya tak akan pernah mampu menjangkau mereka.Namun, denting nada dering ponsel tiba-tiba memecah keintiman yang mereka nikmati. Anaby membuka mata dan melihat ponsel Michael bergetar di meja samping ranjang. Perlahan, ia melepaskan pelukan, bangkit, lalu meraih ponsel tersebut. “Sayang, telepon masuk,” tuturnya, lembut.Dengan gerakan hati-hati, Anaby membantu Michael setengah duduk. Ia menyelipkan beberapa bantal di belakang punggung pria itu, memastikan sandarannya nyaman.Michael menatap layar sebentar, bibirnya membentuk garis tipis. “Pengacaraku. Pasti tentang proses pengadilan Aslan, Sandra, dan Laura.”Anaby mengangguk, lalu menyerahkan ponsel itu ke tangan Michael.“Angkat saja. Aku ingin tahu,” pungkas Anaby, meski hatinya dipenuhi rasa tak menentu.Michael menekan tombol jawab dan men
Hening menggelayut sesaat, usai Michael menyampaikan harapan tulusnya kepada sang ibu. Sebuah permintaan sederhana yang lahir dari kelemahan tubuhnya, tetapi penuh kekuatan cinta. Matanya yang masih redup menatap sang ibu, memohon tanpa suara agar perempuan yang telah melahirkannya itu sudi menerima Anaby. Akan tetapi, Nyonya Safira masih bungkam. Wajahnya tampak tenang, tetapi sorot matanya menyimpan gejolak batin yang sulit ditebak.Hati Anaby semakin resah. Ia memahami bahwa diamnya seorang ibu kadang lebih menyakitkan dari penolakan terang-terangan.Meski begitu, Anaby bertekad tidak akan menyerah. Ia tahu cinta tidak bisa dipaksakan, dan penerimaan pun memerlukan waktu.Melihat ibunya tak kunjung bicara, bibir Michael kembali bergerak. Walaupun serak dan lirih, suara lelaki itu cukup untuk mengguncang ruangan yang sunyi. “Kenapa Mama diam?” Nyonya Safira menghela napas panjang. Tatapannya berpindah dari Michael ke Anaby, lalu kembali lagi ke wajah putranya. “Kita tidak perlu m