Malam itu, vila yang jauh dari keramaian dunia luar menjadi saksi bisu dari perasaan yang begitu kuat antara Daffa dan Nada. Di bawah bintang-bintang yang bersinar cerah, mereka merasa seperti berada di dunia mereka sendiri, sebuah tempat yang penuh kebahagiaan, kenyamanan, dan kasih sayang yang tulus. Setelah berpelukan dalam kehangatan satu sama lain, mereka akhirnya terlelap, tidur dalam kedamaian, merasa seolah dunia berhenti berputar, dan hanya ada mereka berdua.Angin malam yang lembut masih berhembus, membawa kedamaian. Suara alam, meski hampir tidak terdengar, menyatu dengan detak jantung mereka yang berdetak bersamaan. Semua yang ada hanya kebahagiaan dan ketenangan yang tak terlukiskan, seperti sebuah janji yang tak terucapkan—bahwa mereka akan selalu ada untuk satu sama lain.Malam itu, mereka merasa seperti berada di dunia mereka sendiri, sebuah tempat yang penuh dengan kebahagiaan, kenyamanan, dan kasih sayang yang tulus. Mereka terlelap dalam pelukan satu sama lain, mera
Beberapa detik mereka terdiam dalam pelukan, merasakan kedekatan yang semakin mendalam. Hanya suara angin sepoi-sepoi yang terdengar di sekitar mereka, sementara matahari mulai turun sedikit, memberi warna keemasan pada langit. Suasana begitu tenang, seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua.Setelah beberapa saat, mereka melepaskan pelukan, namun tangan Daffa tetap menggenggam tangan Nada. Daffa tersenyum.“Yuk, masuk. Aku ingin menunjukkan seluruh vila ini kepadamu. Pasti kamu akan semakin jatuh cinta dengan tempat ini.”Nada mengangguk, masih dengan senyum lebar di wajahnya. “Aku yakin ini akan jadi liburan yang paling indah dalam hidupku,” katanya dengan suara penuh kebahagiaan.Mereka berjalan bersama menuju pintu utama vila. Begitu melangkah masuk, mereka disambut oleh ruang tamu yang luas dengan perabotan mewah dan desain interior yang elegan. Lampu-lampu gantung yang besar memancarkan cahaya lembut, memberikan suasana hangat di dalam ruangan.Daffa membimbing Nada melalui se
Sore yang cerah dan indah menyelimuti Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, saat pesawat yang dinaiki Daffa dan Nada akhirnya mendarat dengan mulus setelah perjalanan panjang dari Jakarta. Suara pesawat yang memudar menjadi hening, diikuti dengan suara pengumuman dari awak kabin yang memberitahukan para penumpang bahwa mereka telah sampai. Daffa menatap layar di depannya, menandakan bahwa mereka sudah sampai di tujuan.Pesawat berhenti sepenuhnya, dan suasana di dalam kabin mulai terasa lebih tenang. Daffa dengan lembut mengalihkan pandangannya ke Nada yang duduk di sebelahnya. Wajah Nada terlihat lelah, tetapi matanya memancarkan kegembiraan, seolah-olah siap menghadapi petualangan baru.Dengan senyum hangat, Daffa meraih tangan Nada yang terletak di atas kursinya. Tangan mereka saling menggenggam dengan erat, seolah-olah tak ingin berpisah. Daffa menatap Nada, merasa bahagia bisa membawa wanita yang dia cintai ke tempat yang baru.“Selamat datang di Jogja,” ucap Daffa pelan, suaranya pen
Sesampainya di bandara, suasana semakin ramai dan penuh dengan hiruk-pikuk. Orang-orang berlalu-lalang, ada yang terburu-buru dengan langkah cepat menuju gate, ada pula yang duduk santai di ruang tunggu sambil memainkan ponsel atau membaca majalah. Suara-suara terdengar di setiap sudut, dari pengumuman penerbangan yang bersahutan hingga suara sepatu yang beradu dengan lantai marmer bandara. Beberapa petugas keamanan terlihat sibuk mengatur lalu lintas penumpang, sementara di kafe-kafe, aroma kopi dan makanan ringan tercium menguar.Daffa dan Nada berjalan berdampingan, langkah mereka terkoordinasi meski ada sedikit kekakuan. Tangan mereka saling menggenggam, erat. Di belakang mereka, Yugo mengikuti dengan hati-hati, mata waspada mengawasi setiap gerakan di sekitarnya. Dia tidak pernah benar-benar bisa melupakan rasa cemas, meskipun suasana bandara tampak cukup normal.Daffa, yang merasa sedikit tertekan dengan keramaian, mencoba tersenyum dan menoleh pada Nada yang berjalan di samping
Pagi itu, sinar matahari menyusup lembut melalui celah tirai kamar Daffa. Udara segar membawa aroma mawar dari taman yang tertata rapi, menyentuh setiap sudut rumah seperti berusaha membisikkan bahwa hari ini akan menjadi hari yang indah. Suasana begitu damai.Nada sudah bangun sejak subuh. Ia bergerak riang di dalam kamar, senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Di samping tempat tidur, koper biru tua terbuka lebar, sebagian besar sudah terisi pakaian yang dilipat rapi. Tangannya gesit memasukkan pakaian, charger, buku bacaan, dan satu kotak kecil berisi kejutan manis untuk Daffa."Ah, rasanya menyenangkan sekali bisa liburan. Aku sudah lama sekali ingin pergi ke Jogja," bisiknya pada diri sendiri, seolah tak ingin kebahagiaannya terdengar terlalu keras oleh alam.Sementara itu, Daffa baru saja membuka mata. Pandangannya masih kabur, tubuhnya terasa berat, tapi senyum Nada adalah hal pertama yang ia lihat pagi itu—dan itu sudah cukup membuatnya bangun sepenuhnya.“Kamu sudah siap?” ta
Malam itu, hujan tipis mulai turun membasahi kaca jendela besar di kamar utama penthouse milik Daffa. Lampu gantung kristal di langit-langit memantulkan cahaya hangat ke seluruh ruangan. Di luar, kota berkilau dengan gemerlap lampu malam, tapi di dalam kamar yang hening itu, hanya terdengar satu suara. Yakni isakan lirih seorang gadis.Nada terlihat duduk di pinggir tempat tidur king size yang luas, berselimut sprei linen putih bersih. Di tangannya, sebuah rapot sekolah tergenggam erat. Pandangannya kosong menatap kolom kosong di bagian tanda tangan wali murid. Hatinya sesak.“Kenapa hidup aku sehampa ini sih? Bahkan saat temen-temen yang lain bisa milih ada papa atau mamanya yang tanda tangan, aku justru nggak bisa milih siapa-siapa. Biasanya nenek yang bakalan tanda tangan di sini. Tapi sekarang …? Huhuhu?” tangis Nada semakin pecah dan menjadi-jadi.Daffa, yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah, mengenakan kaos santai dan celana panjang tidur. Ia menghenti