Isvara ditinggal calon suami tepat di hari pernikahan. Dalam keadaan panik dan tertekan, dia justru nekat mengajak pria asing di KUA untuk menikah, tanpa tahu siapa dia sebenarnya. Namun siapa sangka, pria asing itu ternyata adalah CEO dari salah satu perusahaan skincare paling berpengaruh di negeri ini. Dan kini, dia terjebak dalam pernikahan kontrak dengan pria yang hidupnya jauh dari kata biasa.
View More“Aku nggak bisa menikah sama kamu, ada perempuan lain yang sedang mengandung anakku.”
Isvara terdiam beberapa saat setelah mendengar ucapan Tara, pria yang seharusnya menikah dengannya sekarang, dari sambungan telepon.
“Maksud kamu apa, Tara?” tanya Isvara lemah, seolah masih tidak bisa memahami semua itu dengan baik.
“Kita nggak jadi menikah, Isvara!” jawab Tara dari seberang.
Isvara sedikit terperanjat, lalu menunduk, menatap dirinya sendiri yang sudah rapi dengan baju pengantin berwarna putih, lalu mengalihkan pandangannya ke area KUA. Semua keluarganya telah datang, tetapi sekarang pengantin pria malah membatalkan pernikahan.
“Ta–tapi aku dan keluargaku sudah siap, kita nggak mungkin membatalkan semua ini begitu saja,” kata Isvara sambil menahan air matanya. Tangannya mulai bergetar, detak jantungnya mulai terpacu lebih cepat.
“Aku nggak peduli, Ra. Lagipula, aku nggak mencintai kamu lagi.”
“Kenapa kamu tega? Tiga tahun kita selama ini kamu anggap apa?” Suara Isvara terdengar lebih serius, tetapi rasa kecewa itu tidak bisa ditutupi sama sekali.
“Jujur saja, aku muak sama kamu, Ra. Kamu terlalu kolot dan sok suci, ciuman saja nggak mau! Sudahlah, percuma juga kamu mau gimana pun, aku tetap nggak akan datang.”
Panggilan itu terputus begitu saja.
Isvara sekali lagi terperanga. Dia sama sekali tidak menyangka jika Tara akan mengatakan hal itu. Selama ini, dia memang selalu menjaga dirinya untuk suaminya nanti. Kalaupun dia memang menikah dengan Tara, bukankah hal itu juga jelas akan Tara dapatkan?
Isvara menghela napas berat. Pandangannya beredar ke sembarang arah, pikirannya berlarian tanpa tujuan.
Apa yang harus dia katakan pada orang tuanya?
Orang tua Isvara sangat mendukung hubungannya dan terus mendorongnya untuk segera menikah. Selain menganggap pacaran lama tidak baik, mereka merasa usia Isvara yang sudah 26 tahun sudah cukup matang. Mereka sering berkata ingin melihat Isvara dan adiknya menikah sebelum tutup usia. Adik laki-laki Isvara yang lebih muda setahun, sudah siap menikah, tapi harus menunggu Isvara sebagai kakak. Meski Isvara tak keberatan adiknya menikah lebih dulu, tetapi orang tua mereka tidak setuju.
Semua itu membuat Isvara merasa cukup tertekan.
Saat air mata Isvara meluncur dari sudut matanya, dia buru-buru menyekanya karena mendengar suara dua pria yang sedang sedikit berdebat dalam sambungan telepon di sudut halaman KUA.
“Cari dia, jangan sampai pernikahanku gagal cuma karena dia tidak ada hari ini,” kata pria itu dengan nada kesal.
Samar-samar, Isvara mendengar ucapan pria itu.
“Jemput saja dia, aku akan menunggu di sini,” ucap pria itu lagi.
Setelah mendengar pria itu mendengus kesal, Isvara langsung bergerak mendatanginya. Entah kenapa, ucapan pria itu membuat Isvara berpikir bahwa sepertinya dia mengalami nasib yang sama dengannya.
“Permisi,” kata Isvara dengan sedikit keraguan.
Pria itu memakai setelan kantor biasa, dengan jas hitam dan celana bahan hitam, langsung menatap Isvara dengan cukup tajam. Wajahnya tegas, sangat serasi dengan postur tubuhnya yang tinggi dan atletis. Namun, dalam tatapan itu, seperti ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebingungan.
“Maaf, saya tidak sengaja mendengar percakapan Anda di telepon, dan saya kira situasi kita sama,” ucap Isvara tanpa basa-basi.
Namun, pria itu masih diam dengan tatapan penuh selidik ke arah Isvara.
“Ayo menikah denganku,” kata Isvara lagi tiba-tiba karena tidak kunjung mendapat respon, membuat pria itu mengernyitkan dahinya seketika.
“Anda sedang buru-buru menikah, ‘kan?” kata Isvara lagi. Dia mengambil satu langkah lebih dekat dengan pria berjas mewah itu. “Kebetulan, saya juga ada di posisi yang sama dengan Anda. Bagaimana kalau kita saling membantu?”
Namun, lagi-lagi pria itu tetap bungkam.
Ucapan Isvara selain terdengar sangat impulsif, juga seperti sebuah percakapan bisnis di telinga pria itu, sama sekali tidak terlihat seperti sebuah keputusan tentang peristiwa sekali seumur hidup.
“Saya yakin Anda sangat membutuhkan pernikahan ini,” desak Isvara lagi, seolah hanya dirinya solusi terakhir dan tercepat yang bisa membantu pria itu.
Pria itu masih diam, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Sesekali dia melihat ponselnya, lalu kembali menatap Isvara.
“Siapa namamu?” tanya pria itu akhirnya.
“Isvara Mahavira,” jawab Isvara dengan percaya diri.
Namun, begitu mendengar nama itu, Alvano langsung mengernyitkan dahinya lagi, seolah ada sesuatu dengan nama itu.
“Bagaimana?” tanya Isvara lagi untuk memastikan. Waktu pernikahan Isvara seharusnya akan berlangsung 15 menit lagi. Dia tidak bisa menunggu terlalu lama lagi.
Belum sempat bersuara lagi, pria itu justru mendapat panggilan telepon.
“Tuan Alvano, Anda harus segera kembali ke kantor, meeting akan dimulai 1 jam lagi,” kata pihak di seberang sambungan telepon.
“Ya,” jawab Alvano singkat lalu memutuskan sambungan telepon itu.
Alvano Narendra Putra, pria berjas itu kembali bungkam. Dia memang membutuhkan pernikahan ini karena orang tuanya bilang mereka butuh seorang pewaris segera, sementara kakaknya yang seorang model tentu belum bisa memberikan keturunan dalam waktu dekat. Namun, sebenarnya dia sendiri juga belum siap menikah meskipun sudah memiliki kekasih. Dan meskipun harus menikah dalam waktu dekat, tetapi rasanya tidak bisa kalau harus seperti ini.
Alvano adalah pria terpandang. Seorang CEO perusahaan skincare ternama, berasal dari keluarga konglomerat yang sangat disegani. Jadi, tidak mungkin dia menikah dengan wanita sembarangan.
Mungkin, jika harus mencari wanita pengganti, itu bukan hal yang sulit bagi seorang Alvano. Namun, keluarganya terlanjur senang dan merestuinya dengan sang kekasih yang berasal dari kelas sama dengan keluarganya.
Namun, sekali lagi Alvano menatap Isvara, terutama pada bagian pelipis kanan Isvara yang terdapat tahi lalat tipis di sana.
Tanpa pikir panjang, Alvano langsung menjawab, “Aku setuju menikah denganmu.”
Isvara akhirnya bisa bernapas lega.
Namun, sebelum keduanya memasuki ruangan, Isvara menghentikan langkahnya.
“Maaf, siapa nama Anda? Saya belum tahu nama Anda,” tanya Isvara sambil menatap Alvano dengan sedikit ragu.
“Nama saja tidak tahu, tapi berani mengajak menikah.” Alvano tersenyum kecil. “Alvano Narendra Putra.”
Sejenak Isvara merutuki dirinya sendiri yang bertindak begitu impulsif karena menarik pria asing untuk menikah dengannya.
“Jangan-jangan kamu …”Isvara sengaja menggantungkan kalimatnya. Matanya menatap pria di depannya tanpa berkedip, mencoba membaca bahasa tubuh Alvano.Alvano mengangkat alis, menunggu lanjutan kalimat itu sambil tetap memegang kantong kecil berisi permen kapas dengan gambar koala.“Jangan-jangan kamu … nyelidikin masa lalu aku, ya?” tuduh Isvara.“Siapa yang kamu suruh? Jefri?”Alvano mengerjapkan mata, sedikit lega, sedikit bingung, dan … sedikit terpojok.“Apa? Nggak, aku nggak nyelidikin kamu,” jawab Alvano cepat. “Aku nggak nyuruh siapa-siapa.”Isvara menyilangkan tangan di dada. “Terus kamu bisa tahu aku suka permen ini waktu kecil dari mana? Emangnya kamu paranormal?”Namun, alih-alih menjelaskan, Alvano perlahan meletakkan permen itu di meja.“Udah deh. Emang itu penting?” kata Alvano, berusaha mengalihkan pembicaraan. “Yang penting sekarang … aku udah minta maaf dengan tulus. Dan kamu …” Alvano menatap Isvara, mata mereka bertemu, “kamu maafin aku, nggak?”Isvara tidak langs
Kali ini Alvano harus memutar otak—bukan untuk menyusun strategi bisnis, bukan juga untuk merancang alibi di hadapan orang tuanya. Kali ini, dia harus memikirkan satu hal yang jauh lebih sulit: bagaimana caranya meminta maaf ... kepada Isvara.Alvano duduk di ruang tengah, sendirian. Jas kerjanya sudah dilepas, dasi dilonggarkan, tapi ketegangannya belum juga hilang. Kedua tangan bertaut di pangkuan, memijit pelipis yang sejak tadi terasa berat.Isvara masih di luar, belum pulang. Atau lebih tepatnya—belum mau pulang. Dan Alvano tidak bisa menyalahkannya.Ciuman itu … kalau boleh mengulang waktu, Alvano akan memilih untuk mundur beberapa langkah, menutup mulutnya sendiri, atau kalau perlu—mengikat kedua tangannya ke belakang supaya tidak gegabah menyentuh Isvara.Dan kemudian … transfer lima puluh juta sebagai ‘kompensasi’?‘Brilian sekali. Pinter banget kamu,’ ejek Alvano dalam hati.Pria itu tidak tahu harus tertawa atau mengutuk diri sendiri.Itu refleks, cara paling cepat yang sela
Jefri berdiri kaku beberapa detik, sebelum akhirnya sadar bahwa ruangan itu sudah bukan tempatnya lagi. Udara tiba-tiba terasa lebih tipis, seolah tembok kantor pun ikut menahan napas.Tanpa sepatah kata pun, Jefri membungkuk sopan dan segera keluar, menutup pintu perlahan di belakangnya.Alvano menghela napas. “Mam, duduk dulu.”Tanpa menunggu, Marina berjalan ke sofa tamu dan duduk dengan postur sempurna. Dagu terangkat, tangan bertaut di pangkuan.“Jelaskan,” ucap Marina. Bukan perintah. Lebih seperti ultimatum.Alvano beranjak dari kursi kerjanya, lalu berjalan mendekat. Langkahnya tampak mantap, tapi sorot matanya tidak bisa menyembunyikan beban yang menumpuk di balik raut tenangnya. Dia duduk di sofa seberang, menatap ibunya lurus-lurus.“Ada apa Mama tiba-tiba datang ke kantor?” tanya Alvano hati-hati.“Pertanyaannya salah,” sahut Marina cepat. “Yang benar: sejak kapan kamu menikah diam-diam dan tidak memberi tahu siapa pun?”Alvano terdiam. Dia menarik napas pendek.Dan ya—itul
Isvara mengusap wajahnya, entah untuk menghapus air mata atau rasa malu yang terlalu dalam untuk dijelaskan.Isvara masih belum habis pikir. Bagaimana bisa ... seseorang mencium bibirnya tanpa izin, lalu menyodorkan angka, seolah semua sudah lunas?Apa sesederhana itu cara Alvano melihatnya?Isvara bukan sekadar marah. Dia kecewa.Karena di pikiran wanita itu, bahkan orang asing pun tahu bahwa harga diri perempuan bukan sesuatu yang bisa dikompensasikan. Apalagi dengan uang!Dan yang membuatnya lebih perih lagi—bukan karena Alvano mencoba membayarnya. Namun, karena pria itu tidak sadar bahwa tindakannya salah sampai harus melakukan itu.Bagaimana bisa seseorang yang begitu cerdas ... justru begitu tumpul saat menyangkut perasaan orang lain?Isvara membalikkan badan, menahan air mata yang kembali menggenang di pelupuk. Namun, sebelum dia sempat melangkah ke arah pintu, Alvano bersuara lagi. Bukan perintah. Bukan pembelaan. Hanya ... permintaan.“Ajari aku.”Isvara berhenti. Bahunya mene
Tangan Isvara spontan naik, mendorong dada Alvano. Namun, sentuhan ragu itu justru membuat pria itu mencondongkan tubuh sedikit, ciumannya berubah. Lebih dalam. Lebih lama. Lebih membuat napas wanita itu tersengal karena panik yang naik ke dada.Apa yang pria ini lakukan?!“Cukup!” Suara Livia pecah antara marah, panik, dan histeris. Seolah-olah dia tidak benar-benar percaya pada apa yang sedang disaksikannya, atau tidak ingin mempercayainya.Alvano perlahan menjauh. Tangannya masih melayang di samping wajah Isvara seolah ingin memastikan wanita itu tetap tegak. Tatapannya tetap tertuju pada wajah Isvara—yang kini menunduk dalam diam. Wajahnya merah, bukan hanya karena malu, tapi juga campuran marah, kecewa, dan bingung.“Kalau kamu masih ragu,” ucap Alvano, tanpa sedikit pun menoleh ke arah Livia, “itu urusan kamu. Tapi satu hal yang pasti, Isvara adalah istriku.”Sunyi.Bukan sunyi yang nyaman, tapi sunyi yang menegangkan. Yang membuat dada sesak.Livia menggertakkan giginya. Tatapan
Prang!Gelas itu jatuh, pecah menjadi kepingan tajam di lantai, sebagian mengarah ke kaki Isvara yang berdiri kaku seperti patung.Untuk sesaat, waktu seolah membeku.Alvano masih duduk, tapi matanya menusuk ke arah Livia—dingin dan tajam, seperti peringatan tidak bersuara. Isvara tidak mampu bergerak, hanya bisa menatap pantulan wajahnya sendiri di antara serpihan kaca—tegang, panik, dan sedikit takut.“Ya Tuhan,” gumam Isvara pelan.Aroma sup dan ayam goreng yang tadinya mengundang selera kini seolah menguap, digantikan ketegangan pekat di udara.Sementara itu, Livia berdiri seperti ratu yang baru saja menemukan rakyat jelatanya duduk di singgasana kerajaan.“Kamu … kenapa bisa ada di sini?!” tuding Livia tajam, sambil mengarahkan jari telunjuk ke arah Isvara.Isvara belum sempat menjawab—kakinya tanpa sengaja bergerak, dan salah satu pecahan kaca kecil menembus kulitnya.“Ahh!” erang Isvara pelan.Seketika, kursi Alvano bergeser.Pria itu berdiri dan melangkah cepat, tanpa menoleh
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments