Search
Library
Home / Pendekar / Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api) / 3.Berlatih

3.Berlatih

Author: Gibran
2024-11-27 09:15:44

Pendeta Barata tersenyum kepada Bimasena yang sangat berhasrat ingin tahu tentang para penjahat yang membantai satu Perguruan dimana Bima tinggal.

"Jika kau tahu, apa yang akan kau perbuat? Kemampuanmu saja sangat lemah. Menghindari lemparan batu kecil saja tidak bisa, apa lagi menahan tebasan Pedang dari pendekar hebat? Sudah tewas kau!" ucap Pendeta Barata membuat wajah Bima memerah karena malu dan kesal.

"Lalu, apa yang harus aku lakukan kakek?" tanya Bima.

"Kau harus melatih dirimu sendiri. Jika kau mau berlatih padaku, ada tiga tahap yang harus kau lalui untuk menjadi pendekar kelas tengah. Itu saja masih belum cukup untukmu bisa melawan mereka," kata Pendeta Barata sambil mengelus jenggot putihnya yang tidak begitu panjang.

"Apakah kakek benar-benar mau mengajariku?" tanya Bima penuh harap.

Mata si kakek itu melotot membuat Bima merasa ngeri.

"Sudah di tolong, sudah di kasih obat, sudah di beri makan, malah sekarang minta di ajari ilmu! Anak siapa kau cah lanang!? Bisa-bisanya kau menawar tanpa membayar! Huh!" umpat Pendeta Barata membuat hati Bima kecut seketika.

Melihat wajah masam dari pemuda itu membuat si kakek tersenyum.

"Sekarang apakah kau masih merasakan sakit?" tanya kakek.

Bimasena menggeleng.

"Sedikit tapi bukan apa-apa." jawabnya singkat.

"Kalau begitu, ambil kapak itu. Kau potong sama persis dengan kayu yang sudah dipotong itu,jangan sampai kepanjangan atau kependekan," perintah si kakek sambil menunjuk ke arah kayu.

"Sekarang kek?" tanya Bima dengan wajah terkejut.

"Besok bocah geblek! Ya sekarang lah! Orang itu kayu akan di jual ke pasar untuk beli beras dan kebutuhan obat mu!" bentak Pendeta Barata kesal.

Dengan berat hati Bima melangkah dan mengambil kapak.

"Ingat, harus sama ukurannya. Jika gagal satu tebasan, jatah makan di kurangi satu porsi!" ucap kakek itu membuat Bima menggenggam kapaknya erat-erat menahan emosi yang telah memuncak.

"Sebaiknya kau gunakan amarahmu untuk banyak membelah kayu! Biar amarahmu lebih berguna ketimbang tubuhmu!" kata Pendeta Barata semakin membuat Bima kesal saja.

Dengan sekali ayun, Bima membelah kayu itu. Dia tersenyum kecil.

"Ini sih sangat mudah kek." ucap Bima lalu membelah lagi.

Pendeta Barata berdiri dan mengambil potongan kayu yang Bima kerjakan.

Matanya melotot. Lalu di lemparnya kayu itu ke tanah.

"Aku bilang ukurannya sama persis dengan potongan yang telah aku kerjakan! Kamu ini tolol apa bodoh! Dasar tidak berguna!"

Bima hanya bisa diam dan menahan amarah. Di maki habis-habisan, dia sudah terbiasa menerima semua itu saat berada di Perguruan Julang Emas.

Waktu itu, Anggoro lah yang paling sering menjahili dirinya. Ada saja yang Anggoro lakukan untuk membuat Bimasena kesusahan. Karena Anggoro adalah murid berbakat dan dia murid yang lambat.

Mengingat kejadian itu, dengan kesal Bima mulai memotong kayu-kayu tersebut. Sedangkan Pendeta Barata menjadi penilai pas dan tidaknya kayu dengan ukuran yang kakek itu minta.

Banyak kegagalan saat Bima memotong kayu tersebut. Dari dua ratus potong kayu, seratus enam puluh potong kayu berbeda dengan milik Pendeta Barata.

"Ingat, dalam seratus enam puluh hari, jatah makan-mu berkurang satu porsi setiap harinya," kata Pendeta Barata membuat Bimasena geram.

Tapi Bima tidak bisa menyangkal. Dia hanya menurut saja karena dia memang menumpang di tempat orang.

"Besok, antar aku ke pasar. Ingat, sebelum ayam jantan berkokok, kau harus sudah bangun dan menyiapkan kayu," kata Pendeta Barata.

Bima hanya bisa mengangguk.

"Sekarang, kau ambil air di sungai dan kau penuhi wadah besar itu hingga penuh." ucap Kakek lagi membuat Bima melongo.

Rasa lelah belum hilang, sudah ada perintah lain yang lebih melelahkan.

"Saat kau tidur di atas sana dan aku merawat-mu, aku setiap hari mengisi wadah itu dua kali, sendirian tak ada yang membantu. Kebutuhan air meningkat. Jadi jangan tanya kenapa aku menyuruhmu mengambil air di sungai," kata kakek membuat Bima diam tak berkata apapun.

Dengan berat hati Bima mengambil sebuah wadah yang terbuat dari kulit binatang. Lalu dia mulai menimba air di sungai.

Dua jam kemudian wadah air besar itu telah penuh. Bima menyeka keringat yang menetes banyak di dahinya itu.

"Bagus, hari ini kau sudah bekerja dengan baik. Beristirahatlah sejenak. Aku masih ingin minta pertolonganmu." kata Pendeta Barata membuat wajah Bima semakin masam saja.

Pemuda itu tiduran di bawah pohon. Karena rasa lelah dan mengantuk, membuat tubuhnya semakin bersandar pada pohon itu. Hingga tiba-tiba...

"Duk!" kaki Bimasena ada yang menendang.

Sontak pemuda itu terkejut lalu segera bangkit berdiri.

Pendeta Barata tertawa melihat Bima yang marah karena kakinya sengaja dia tendang.

"Hei cah lanang! Jika itu pedang yang menghampiri-mu, pasti kakimu sudah buntung. Mungkin juga lehermu sudah robek!" ucap orang tua yang tak lain Pendeta Barata.

Bima merasa kesal dan malu. Dia benar-benar merasa menjadi pemuda yang lemah. Hawa keberadaan orang lain saja dia tak bisa mengetahui. Jika ada orang berniat buruk, sudah pasti dia akan celaka.

"Jangan terlalu banyak melamun, itu akan menurunkan konsentrasi-mu. Ayo ikut aku, aku butuh bantuan-mu!" ucap si kakek sambil meletakkan kantong kain di hadapan Bima.

Sesaat Bima merasa dirinya di jadikan budak. Namun mengingat apa yang Pendeta Barata lakukan untuk menyelamatkan hidupnya, hal ini sangat kecil untuk membalas budi si kakek tua tersebut.

Akhirnya Bima melangkah mengikuti si kakek ke dalam hutan. Dia tidak tahu, apa yang akan dia kerjakan.

Sesampainya di kaki tebing, kakek Barata berhenti. Kepalanya mendongak ke atas mencari sesuatu. Akhirnya matanya yang jeli terlihat berbinar-binar.

"Nah, coba kamu tengok ke atas sana! Kamu lihat ada satu batu kecil berwarna hijau?"

Bima menatap sesuai arah telunjuk si kakek. Matanya silau terkena sinar matahari. Tapi sekilas dia melihat batu kecil bersinar hijau.

"Aku melihatnya kek!" ucap Bima.

"Benarkah!? Padahal aku hanya berbohong karena mata tuaku ini tak mungkin melihat batu hijau sejauh itu!" kata Pendeta Barata membuat Bima tercengang.

"Berarti tadi kakek hanya menebak!?" tanya Bima tak percaya. Si kakek hanya tertawa kecil.

"Nah sekarang, kamu yang sudah melihat batu itu, cobalah kau ambil batu itu!" perintah si kakek.

Bimasena terdiam sesaat. Amarahnya meledak lagi. Tapi dia mencoba untuk menahan amarahnya.

"Jika kau berhasil mengambil batu itu, maka jatah makan-mu yang tadi berkurang seratus enam puluh porsi itu akan di potong seratus dan hukuman menjadi enam puluh porsi saja. Anggap saja yang seratus porsi itu adalah upah karena kau telah mengambil batu hijau itu." kata si kakek membuat Bima berpikir sejenak.

Akhirnya pemuda itu setuju. Dia mulai mendaki tebing curam itu perlahan-lahan. Ini pertama kalinya dia mendaki tebing.

"Sial, batunya licin!" batin Bima merasa kesal karena seharian seolah telah menjadi pekerja keras.

Namun dia mencoba bertahan. Dia kuatkan tekadnya untuk menggapai batu hijau itu.

Pendeta Barata tersenyum melihat kegigihan Bima.

Meski Bima merasakan semua jarinya sakit dan lecet, Bima tetap berusaha mencapai batu hijau itu.

Kesulitan kembali terjadi. Tak ada lagi batu yang bisa digunakan sebagai pegangan tangan. Sementara jarak antara dia dengan batu itu masih sekitar dua belas kaki.

Bima menoleh ke bawah sana. Jika dia turun tanpa hasil, jatah makannya akan tetap berkurang seratus enam puluh porsi.

"Sial... Apakah aku harus loncat?"

Akhirnya setelah berpikir beberapa saat dia pun memutuskan untuk melompat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP