Search
Library
Home / Pendekar / Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api) / 5.Perguruan Katak Merah

5.Perguruan Katak Merah

Author: Gibran
2024-11-27 09:16:41

Hari itu juga setelah Pendeta Barata memberikan petunjuk dan warisan pedang, Bimasena pun pamit undur diri kepada gurunya. Tak henti Bima ucapkan terimakasih kepada kakek gurunya tersebut. Orang yang telah menyelamatkan hidupnya dan mengajarkan ilmu kesaktian kepadanya selama tiga tahun belakangan ini.

Dalam tiga tahun akhirnya Bimasena berhasil menguasai seluruh jurus dan kesaktian Pendeta Barata yang pernah mendapat julukan sebagai Sang Iblis Gila. Julukan itu bukan tanpa sebab, dulu Pendeta Barata adalah seorang pembunuh yang sangat liar. Itu sebabnya dia mendapatkan julukan tersebut.

Mengenai asal-usul orang tua tersebut, Bima belum mengetahui nya. Namun seiring berjalannya waktu, semua orang akan tahu bahwa si Iblis Gila itu mempunyai seorang penerus. Yaitu Bimasena.

Dengan pedang yang menggantung di punggung Bima pun meninggalkan tempat dimana dia berlatih dengan perasaan sedih. Pendeta Barata hanya melambaikan tangan saja ke arahnya dengan perasaan yang sedih bercampur bangga.

Dengan tekad yang kuat Bima melangkahkan kaki nya meninggalkan hutan tersebut. Dia sudah tahu arah perguruan Katak Merah.

Itu karena dulu sebelum Perguruan Julang Emas musnah, di Perguruan Katak Merah sering di adakan pertarungan antar murid dari berbagai Perguruan tingkat rendah. Namun tak ada yang bisa mengalahkan murid dari Perguruan Julang Emas, karena Perguruan itu adalah Perguruan tingkat atas. Bahkan nomer satu di Negara Angin bagian Barat.

Sambil berjalan Bima terus berpikir. Dia tidak tahu, siapa sebenarnya otak di balik pembunuhan besar-besaran di malam itu. Gurunya seolah telah memberikan teka-teki silang yang harus dia cari jawabannya sendiri.

Setelah setengah hari dia melangkah meninggalkan hutan, dia pun berhenti di sebuah kedai yang sudah masuk kawasan Katak Merah. Itu terlihat dari patung Katak berwarna merah yang ada di sebuah gerbang tak jauh dari kedai tersebut.

Di sebuah kedai yang cukup besar itu, Bima memesan secangkir kopi hitam dan beberapa potong gula aren. Di tambah beberapa potong kue kering dan daging panggang buatan kedai tersebut. Pemuda itu pun menikmatinya setelah sekian lamanya dia hanya selalu bertemu dengan sayur dan jamur. Tak ada daging sama sekali. Apalagi kopi dan gula aren kesukaannya.

"Guru yang keras, huh" batin Bima sambil tersenyum mengingat kekonyolan gurunya saat melatih dirinya. Dia menyeruput kopinya dengan perlahan lalu menggigit sedikit gula aren tersebut sebagai pemanis.

Pada saat dia asyik dengan kopinya, tiba-tiba ada satu rombongan orang yang mampir ke dalam kedai tersebut.

Ada lebih dari sepuluh orang masuk dan duduk di tempat yang tak jauh dari Bimasena berada. Mereka semua memakai pakaian yang sama dengan dominan warna merah.

Bima sudah menduga, mereka berasal darimana. Namun dia memutuskan untuk santai dan biasa saja.

Rombongan itu terlihat ramai saat berbincang di dalam kedai, hingga Bimasena pun mendengar dengan jelas apa yang mereka katakan.

"Perguruan kita akan mengadakan pertandingan umum untuk memperebutkan gulungan kitab abadi yang katanya bisa membuat tubuh kita semakin kuat seperti Gatotkaca," kata salah satu dari rombongan orang berseragam merah tersebut.

"Aku akan ikut dalam pertandingan itu, siapa yang akan menjadi lawan ku nanti, akan kuhajar tanpa ampun!" sahut satunya lagi yang terlihat paling congkak dari rombongan tersebut.

Bima mendengarkan dengan seksama. Dia sudah menebak mereka adalah para murid di Perguruan Katak Merah.

"Jaya, kamu sekarang sudah berada di lapisan tingkat tengah, Kira-kira mana ada pendekar kelas bawah yang berani melawan mu?" sahut yang lain.

"Sayang sekali Perguruan sampah itu tidak ikut lagi. Aku yakin jika mereka ikut pertandingan kali ini, mereka akan menang dengan curang seperti sebelum-sebelumnya..." ucap pemuda bernama Jaya.

"Mereka hanyalah sekumpulan sampah yang pantas musnah! Hahaha! Kita wajib merayakannya karena pertandingan lima tahunan ini mereka tidak bisa mengganggu kesenangan kita lagi!" ucap yang lainnya.

"Perguruan Julang Emas? Apa hebatnya mereka, cuih! Mereka hanya sok kuat, dan beruntung saja berada di peringkat pertama di negara ini!" ucap Jaya lagi dengan nada sinis.

Bima mencengkram gelasnya dengan amarah yang membakar di dadanya. Ingin sekali dia membunuh mereka semua saat ini. Namun dia tahan sebisa mungkin karena jika itu terjadi, rencana besar nya akan berantakan dan sia-sia.

Namun sayangnya salah satu rombongan murid itu melihat Bimasena yang mencengkram gelas keramik dengan kuat seperti menahan amarah.

"Hei lihatlah kalian, pengemis itu sedang melakukan hal aneh!" teriak salah satu rombongan itu.

Jaya yang pertama menoleh langsung mendatangi Bima dan berkacak pinggang di depan pemuda itu. Dia mengamati tangan Bima yang mencengkram kuat gelas keramik itu.

"Hei, pengemis, ada apa denganmu? kamu seperti tengah menahan amarah, apakah kamu tidak suka dengan kedatangan kami di kedai ini? Apa kamu tidak melihat kedai ini berada di perguruan apa? katakan padaku, kamu berasal darimana?" tanya Jaya dengan congkaknya. Senyumnya sinis menyebalkan.

Bimasena berusaha menahan amarahnya yang sudah merasuk kedalam peredaran darah dan mengalir ke seluruh tubuhnya.

Tiba-tiba salah satu teman Jaya langsung mencengkram kepala Bima dan mendorongnya hingga menabrak meja.

Brak!

Jaya tersenyum senang melihat itu.

"Bagus! Kamu akan mendapat hadiah dariku karena aksi kejam mu ini hahaha!" kata Jaya.

Melihat salah satu kawannya di puji oleh Jaya karena berlaku kejam pada Bima, mereka semua berbondong-bondong memukuli kepala Bima.

Pemuda itu masih bertahan meski di aniaya begitu rupa. Rencana dia adalah membunuh ketua mereka dan menggali informasi klan musuh, bukan bocah-bocah yang masih minta perlindungan orang lain seperti mereka ini.

Namun Bima tak bisa lagi menahan amarah saat salah satu orang memegang gagang pedangnya. Dengan gerakan cepat dia menangkap tangan orang tersebut lalu meremas nya.

Krak!

Orang itu berteriak setinggi langit saat tulang pergelangan tangannya hancur diremas oleh Bimasena. Melihat hal itu, Jaya dan kawan-kawannya yang terkejut langsung menyerang Bima dengan serius.

Namun Bima sudah siap dengan semua itu. Dia sudah mendalami ilmu dan jurus dari gurunya secara sempurna. Dalam sekejap saja sepuluh orang itu kalah oleh serangan tangan Bimasena.

Jaya memegang dadanya yang terkena pukulan Bimasena. Dia merasakan tulang rusuknya sangat sakit.

"Hanya dalam beberapa gerakan...? Siapa orang ini! Cepat mundur! Laporkan hal ini kepada guru!" teriak Jaya.

Para murid Perguruan Katak Merah itu lari tunggang langgang meninggalkan kedai yang saat ini terlihat semakin ramai karena adanya pertarungan.

Semua orang melihat aksi Bimasena, mereka kagum dengan pemuda itu. Bima mengalahkan semua berandal dari Perguruan Katak Merah tanpa bergeser dari tempat duduknya. Bahkan minumannya pun tak ada satu pun yang tumpah!

Jaya bersama para pengikutnya melaporkan kejadian itu kepada guru pembimbing mereka, Marga.

Mendengar hal itu dan melihat sendiri para murid nya babak belur, dengan wajah marah Marga mendatangi kedai yang di maksud Jaya dan kawan-kawan nya.

"Mampus kau pengemis!" batin Jaya dengan tersenyum sinis.

Mereka mengikuti gurunya datang ke kedai dimana keributan baru saja terjadi. Dan Bimasena sudah pergi meninggalkan kedai itu beberapa saat yang lalu. Pemilik kedai mengatakan jika pemuda berikat kepala merah itu pergi ke arah selatan.

Dengan cepat Marga bersama para muridnya menyusul ke arah selatan. Benar saja, orang yang mereka cari saat ini tengah berjalan menuju ke tempat penginapan.

"Hei! berhenti di tempat!" teriak Marga.

Bimasena tak peduli. Dia tidak merasa ucapan itu mengarah kepada dirinya.

"Aku bilang berhenti!" kali ini sebuah teriakan mengandung inti tenaga dalam yang mengarah kepadanya membuat Bima menoleh lalu bergerak menangkis serangan tak terlihat itu.

Tubuh Bimasena surut beberapa langkah setelah menangkis serangan tak terlihat dari suara Marga. Untungnya indra nya sangat terlatih berkat latihan keras dari gurunya sehingga dia bisa dengan cepat menangkis meski tidak melihat adanya serangan.

Saat melatih panca indra nya, kepala Bimasena babak belur saat berlatih menguasai apa yang di sebut insting. Dia harus merasakan arah serangan dengan mata tertutup. Berkali-kali kayu gurunya menghantam kepalanya hingga banyak luka di kepala pemuda itu.

Namun latihan itu berhasil Bima kuasai setelah dia berlatih menangkap air yang menetes dari atas pohon. Dia pun berhasil menghindari serangan gurunya meski dengan mata tertutup. Kata gurunya, insting ini bisa terus di tingkatkan dengan cara melatihnya.

Marga terkejut saat tahu serangannya berhasil di tahan. Di dalam Perguruan hanya ada beberapa orang saja yang bisa menahan serangan tanpa terlihat miliknya.

Dalam hati Marga mulai gusar.

"Siapa orang ini...?" batinnya dengan perasaan yang tidak enak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP