Search
Library
Home / Rumah Tangga / Setelah Kamu Pilih Dia / Ada yang Tersisa di Antara Kita

Ada yang Tersisa di Antara Kita

Author: Lina Astriani
2025-06-18 12:37:16

Jakarta belum juga benar-benar kering. Hujan yang sejak tadi sore turun hanya berubah menjadi gerimis tipis yang tak kunjung usai. Langit malam tetap kelabu, dan udara masih lembab oleh sisa dingin yang mengendap di trotoar basah dan dinding-dinding yang berembun.

Di balik kemudi mobilnya, Arsen mengemudi perlahan. Wajahnya sembab. Di kaca spion, mata itu terlihat merah, letih oleh tangis yang tertahan, tertumpah, lalu tertahan lagi. Radio mobil dibiarkan mati. Sunyi lebih cocok untuk menemani hatinya yang riuh oleh penyesalan.

Ia menyusuri jalanan yang pernah ia lewati bertahun lalu, saat hidup masih sederhana dan cinta belum dibumbui luka. Jalanan kecil di pinggiran Jakarta Selatan, yang kini terasa jauh meski hanya beberapa kilometer dari pusat kota. Ia mencari jejak. Bukan sekadar rumah. Tapi sisa dirinya yang dulu.

Jejak yang Telah Pergi

Mobil Arsen berhenti di depan rumah kontrakan sederhana. Rumah kecil bercat kusam dengan pagar kayu yang sudah mulai lapuk. Rumah itu… tempat mereka dulu memulai semuanya. Bukan tempat yang mewah, tapi cukup untuk menciptakan tawa dan mimpi kecil bersama.

Gerimis masih jatuh saat ia turun. Payung hitam ia buka dengan enggan. Tapi langkahnya tetap tertuju ke rumah itu. Lampunya padam. Jendela tertutup rapat. Namun kehadiran kenangan begitu terang, menyala dari dalam.

Ia mengetuk pintu perlahan.

Tok. Tok. Tok.

Hening.

Sekali lagi.

Tok. Tok. Tok.

Masih tak ada jawaban.

Pintu rumah sebelah terbuka pelan. Seorang pria paruh baya muncul dari balik tirai, menyipitkan mata menatap sosok yang familiar di bawah payung.

“Mas Arsen?”

Arsen menoleh cepat. “Pak Soleh?”

Pria itu tersenyum kecil. “Masih inget saya? Tetangga lama.”

“Iya, Pak. Masih ingat. Bapak sehat?”

Pak Soleh mengangguk. “Alhamdulillah. Tapi Dinda udah lama nggak di sini, Mas. Udah pindah sebulan lalu.”

Deg.

Arsen menunduk. “Bapak tahu… dia pindah ke mana?”

“Gak bilang, Mas. Cuma pamit. Katanya pengen mulai dari awal. Nyari tempat yang tenang, katanya. Dia bawain kue terakhir kali. Bilang makasih udah jadi tetangga baik.”

Kalimat itu seperti hantaman. Arsen menggenggam payung lebih erat, menahan gemetar.

“Kalau… kalau Bapak ketemu dia, saya titip salam ya. Bilang… saya nyesel.”

Pak Soleh menepuk bahunya pelan. “Kamu baik-baik ya, Sen. Kadang, yang paling kita sakiti… justru yang paling tulus sayangnya.”

Arsen hanya mengangguk. Tak sanggup bicara lagi.

Ia kembali ke mobil. Udara dalam kabin terasa seperti kamar sempit tanpa ventilasi. Ia mengambil cincin pernikahan dari dashboard. Digenggam. Didekap.

“Maaf, Din…” bisiknya. “Gue terlalu egois. Dan sekarang gue kehilangan lo.”

Percakapan yang Tak Terduga

Di sisi lain kota, sebuah kafe kecil di pinggiran Depok jadi latar yang berbeda. Payung besar menaungi dua orang dari gerimis tipis. Kafe itu tenang, jauh dari hiruk-pikuk Jakarta. Seolah menciptakan ruang di mana waktu bergerak lebih lambat, memberi napas bagi hati yang lelah.

Dinda duduk di sana. Sweater krem dan celana jeans longgar, tanpa riasan berlebihan. Wajahnya masih memancarkan sisa-sisa luka, tapi tatapannya kini lebih tenang.

Rayhan datang membawakan dua gelas kopi dan sepiring pasta.

“Maaf ya, agak lama,” katanya sambil duduk.

Dinda tersenyum kecil. “Gak apa. Aku juga baru nyampe.”

Rayhan menatap sekeliling. “Tempat ini tenang, kan? Seperti bukan Jakarta.”

“Iya,” jawab Dinda, mengangguk. “Aku suka. Rasanya kayak… bisa berhenti mikir sebentar.”

Rayhan tertawa. “Itu tujuan aku ngajak kamu ke sini. Biar kamu bisa tarik napas panjang.”

Dinda menatapnya lama. Di mata pria itu, ia melihat sesuatu yang berbeda dari Arsen. Bukan godaan. Bukan bujukan. Hanya penerimaan. Tanpa syarat.

“Boleh aku nanya sesuatu?” tanya Rayhan.

“Boleh,” jawab Dinda hati-hati.

“Kamu kayaknya masih nyimpen luka yang dalam. Maaf kalau aku lancang.”

Dinda menarik napas. “Nggak apa. Kamu gak salah. Memang belum sembuh.”

Rayhan tak menimpali. Hanya tersenyum pelan.

“Aku gak minta kamu lupain siapa-siapa, Din. Aku cuma pengen kamu bahagia.”

Ucapan itu sederhana. Tapi seperti tali yang menahan Dinda agar tidak jatuh terlalu dalam.

“Aku takut, Han. Takut buka hati lagi. Takut jatuh ke lubang yang sama.”

“Takut itu manusiawi. Yang penting… jangan tutup semua pintu buat diri sendiri.”

Dinda menunduk. Ada benjolan di tenggorokannya. Tapi tak ada air mata. Hanya kelegaan yang samar.

“Aku belum siap.”

Rayhan mengangguk. “Gak apa. Aku gak buru-buru. Aku cuma pengen temenan. Teman yang bisa nemenin kamu ngobrol, ketawa, atau diem bareng kalau kamu butuh.”

Dinda menatapnya. Lalu tersenyum. Untuk pertama kalinya, senyum itu tulus.

“Makasih ya, Han.”

Mereka lanjut bicara, mulai dari film, pekerjaan, hingga hal-hal remeh yang biasanya tak penting—tapi sore itu jadi pengisi kekosongan. Dinda tertawa kecil beberapa kali. Tawa yang sudah lama tidak terdengar.

Hatinya belum pulih. Tapi sore itu, dia tahu dirinya sedang mengarah ke sesuatu yang lebih sehat.

Yang Tersisa di Taman

Arsen menyetir tanpa arah. Sampai akhirnya ia berhenti di taman kecil yang pernah jadi tempat kencan pertamanya dengan Dinda. Taman itu sepi. Bangku kayu tempat dulu mereka duduk masih ada di sana. Basah oleh gerimis. Tapi tetap utuh.

Ia duduk. Menatap langit. Lalu menutup mata.

“Aku suka tempat kayak gini,” ucap Dinda waktu itu.

“Kenapa?”

“Karena di sini semua orang sama. Gak ada status. Gak ada topeng. Semua cuma pengen tenang.”

Suara Dinda bergema dalam kepalanya. Membuat dadanya nyeri. Teramat nyeri.

Telepon berdering. Nama di layar: Alya.

Arsen menatapnya beberapa detik. Lalu menekan reject.

Seketika, notifikasi pesan masuk.

Alya

“Jangan pernah hubungi gue kalau lo gak bisa lepasin dia.”

Arsen menutup layar. Napasnya berat. Seberat semua kesalahan yang kini menumpuk dan tak bisa ia benarkan lagi.

Ia menatap langit.

“Din…” bisiknya. “Kalau lo masih bisa maafin gue… gue janji, gue gak akan sia-siain lo lagi.”

Namun kata-kata itu hanya tertinggal di udara malam. Tak ada yang mendengar. Tak ada yang menjawab. Hanya suara gerimis yang jatuh pelan di daun-daun basah.

Dan untuk pertama kalinya, Arsen sadar… mungkin semua ini memang pantas ia tanggung sendiri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP