Sebuah mobil Ferrari hitam melintas di jalanan dengan kecepatan sedang. Seorang pemuda dengan setelan jas dan kacamata hitam duduk di kursi penumpang sambil mengamati sebuah tab yang ada di tangannya. Pada tab tersebut terpampang jelas potret sang ayah yaitu David yang tersenyum lebar ketika adiknya diangkat menjadi Walikota. Senyum sinis Kelvin tampilkan ketika melihat berita yang tengah menjadi perbincangan public tersebut, sebab David mampu mengalahkan lawannya yang sangat berpengalaman.
"Tak kusangka aku anak dari pria jahat ini," ucapnya. "Senyum lebarmu akan memudar secara perlahan setelah kedatanganku, Tuan David," lanjutnya dingin. Akhirnya mobil yang membawa Bintara a.k.a Kelvin sampai di depan sebuah gedung perusahaan yang sempat menjadi harapan besarnya dulu. Dulu, Bintara berharap bisa bekerja di sana untuk melanjutkan bisnis ayahnya. Namun, setelah tahu fakta bahwa ia tak diharapkan membuatnya membuang angan-angan tersebut. Bintara keluar dari mobil di dampingi oleh asisten pribadinya, Dhani. Kaki jenjangnya melangkah memasuki perusahaan tersebut dengan percaya diri dan tampang yang dingin. Sesekali ia tersenyum pada karyawan yang membungkuk hormat padanya. Hingga sampailah ia di depan ruang meeting. Dhani segera mengetuk pintu beberapa kali dan membukanya sopan untuk Bintara. Bintara masuk dengan langkah percaya lagi. Sorot matanya menyorot pada seorang wanita paruh baya cantik berambut pendek hitam. Wanita itu tak lain adalah Laras, istri muda ayahnya. Laras tersenyum lebar melihat kedatangan Bintara yang merupakan klient spesailnya. "Selamat Siang, Pak Bintara," ucap Laras. "Siang," sahut Bintara langsung duduk di kursinya. Ia begitu dingin pada Laras, membuat wanita itu melunturkan senyumnya dan kembali duduk. Meeting yang berlangsung dua jam penuh itu akhirnya selesai juga. Bintara segera beranjak dari tempat duduknya diikuti oleh Dhani. Laras buru-buru menyusulnya keluar untuk sekadar berbasa-basi dengan klientnya. "Pak Bintara!" Bintara menoleh ke belakang, ia mendapati wajah tersenyum Laras padanya. "Terima kasih telah menghadiri rapat kali ini. Saya tahu Anda sangat sibuk," ucap Laras tersenyum manis. Bintara melepas kacamata yang tadinya ia pakai, lalu menghadap pada Laras sepenuhnya. "Anda sungguh tak menggenal saya?" tanyanya terkekeh sinis. Raut wajah Laras tiba-tiba berubah. Ia menatap lekat sosok pria muda di hadapannya. Memang terlihat familiar, tetapi ia tak ingat apapun tentang pria muda yang bernama Bintara tersebut. "M-maksud Anda apa, ya, Pak? Tentu saya mengenali Anda karena Anda adalah klient saya," sahut Laras kembali tersenyum. Bintara tertawa sumbang. "Setelah menyingkirkan kami berdua apakah kaian hidup sedamai ini? Sesekali renungilah dosa kalian. Tapi sekarang sudah terlambat untuk merenunginya, sebab ini waktunya kalian waspada dengan serangan dari arah mana saja," tutur Bintara sebelum memakai kacamatanya lagi dan pergi dari hadapan Laras. Laras terbelalak mendengar hal itu. Bulu kuduknya seketika merinding begitu mulai menyadari siapa sosok Bintara yang sebenarnya. "Kelvin ... Kelvin Bintara?" Laras menutup mulutnya panik. "A-apa dia masih hidup? B-bagaimana bisa ia berada di sini sekarang dengan keadaan seperti itu?" Setelah meninggalkan gedung perusahaan tersebut, Bintara menuju sebuah kafe yang tak begitu besar. Ia melangkahkan kakinya ke dalam kafe tersebut dengan langkah percaya diri. Sebuah senyuman terbit di bibirnya ketika melihat sosok gadis cantik berambut panjang, berkulit putih, dan perawakan tinggi sedang sibuk dengan buku di hadapannya. Bintara pun melangkah menuju gadis itu. "Viona," panggil Bintara. Gadis itu mendongkak, seketika senyumnya mengambang begitu melihat sosok Bintara berdiri di hadapannya. "BIN!" pekik gadis bernama Viona itu dengan senang. "Apa ini sungguh aku, Bin?" "Memangnya siapa lagi?" sahut Bintara seraya duduk di kursi yang berhadapan dengan gadis itu. Viona tersenyum senang. "Aku sungguh tak menyangka ketika kau membalas DM-ku. Setelah tiga tahun menghilang tanpa jejak kau membalasnya, aku sangat terkejut. Aku sungguh tak menduga kau benar-benar muncul di hadapanku sekarang," celoteh gadis itu tanpa jeda. "Maaf karena menghilang tanpa kabar. Tapi yang terpenting, sekarang aku sudah ada di hadapanmu," ucap Bintara ramah. Viona melihat ke arah telinga Bintara yang tak mengenakan alat bantu dengar seperti dulu. "Kau sudah tak memakai alat bantu dengar? Apa sudah sembuh?" Bintara mengangguk. "Seperti yang kau lihat. Pengobatanku berjalan dengan baik, sekarang aku bukan tuna rungu lagi dan tak muda sakit seperti dulu." Viona mengembuskan napas lega, gadis itu tak henti-hentinya menatap Bintara dengan tatapan penuh binar bahagia. "Aku sungguh merindukanmu, Bin. Aku bahkan memberi nama kafe ini dengan memakai sebagian namamu. Berharap suatu saat aku bisa bertemu denganmu seperti saat ini," ucapnya terdengar sendu. "Kafe Binvi?" "Bin dan Viona," sahut gadis itu dan berakhir mereka tertawa bersama. Viona tiba-tiba merasa gugup, kedua tangannya saling meremas gelisah. Ia menatap Bintara yang sedang menyesap kopi yang baru saja di antar oleh pelayan. Ada sesuatu yang ingin Viona tanyakan pada pria itu. "Bin," panggil Viona serius. "Heum?" sahut Bintara menatap sepenuhnya gadis itu. "Apa ... hubungan kita yang lama masih berlanjut? Bukankah kita sebelumnya ...." Viona menggigit bibirnya sendiri saking gugupnya. Bintara yang paham pun tersenyum lebar. "Kau masih kekasihku, Vi. Kita tak pernah putus, bukan?" Gadis itu langsung beranjak dari duduknya, lalu menarik lengan Bintara dengan semangat. "Kita harus berkencan sekarang! Enak saja kau tak melakukan apapun setelah lama menghilang dariku. Kau harus membayar jatah kencan kita hari ini!" rengek Viona sambil mengomel, membuat Bintara tertawa lepas. "Baiklah-baiklah, kita berkencan seharian hari ini," sahut Bintara sambil beranjak dari duduknya. Lengannya langsung dipeluk oleh gadis itu sembari berjalan menuju pintu keluar kafe. Mereka melakukan banyak hal hari ini. Mulai dari makan di kedai dekat sekolah dulu, ke taman hiburan, lalu berakhir berbelanja di mall. Dhani sebagai asisten pribadi Bintara dengan setia membawakan belanjaan Viona yang cukup banyak. "Oh, ibuku katanya ingin menemuiku untuk menyerahkan cincinku yang dia temukan di kantornya. Bisakah kita menunggunya di sini, Bin?'' tanya Viona ketika selesai membaca pesan dari ibunya. "Tentu saja. Kita akan menunggunya di sini," sahut Bintara seraya berjalan menuju sebuah kursi panjang. Mereka berdua duduk di sana menunggu kedatangan ibu Viona. "Vi, bisakah kau tunggu di sini sementara aku ke toilet sebentar?" tanya Bintara. Viona mengangguk patuh, Bintara mengusap rambutnya sebelum ia beranjak dari sana. Kurang lebih sepuluh menit orang yang ditunggu Vioan datang juga. Ternyata wanita yang dipanggil ibu oleh Vioana adalah Laras. Laras menyerahkan sebuah cincin pada Viona. "Lain kali jangan suka memainkan cincin, kau itu sangat pelupa, Viona," keluh Laras, "Iya, Ma. Aku tak akan melepasnya lagi. Ini satu-satunya kenang-kenagan dari papa, jadi aku harus menjaganya," sahut Viona memakai kembali cincinnya. "Apa Rendra tetap membiayaimu sampai sekarang?" tanya Laras. "Tentu saja. Papa sangat menyayangiku. Dia bahkan membelikan sebuah kafe untukku," sahut Viona. Laras berdecih tak suka. "Kalau kau mau ikut dengan Mama, suami Mama akan memberikan posisi yang bagus di perusahaannya. Sayangnya kau begitu bebal, Vioana." Tak jauh dari mereka, Bintara terkejut melihat Viona sedang bersama Laras. Pikirannya sekarang tertuju pada ucapan Viona sebelumnya yaitu ingin menemui ibunya. "Apakah ... wanita itu adalah ibu dari Viona?" gumam Bintara mencelos.