Bintara memutuskan untuk memperkuat keamanan desa yang nenek dan kakeknya tinggali. Ia juga mengutus dua penjaga untuk senantiasa berjaga-jaga di sekitar rumah tersebut. Kejadian kemarin yang menimpa kakeknya menjadi peringatan keras untuk Bintara. Orang-orang yang membencinya akan selalu mencari kelemahannya dan salah satu kelemahannya adalah orang-orang yang ia sayang.
Bintara saat ini sedang berada di sebuah kafe, menunggu kedatangan seseoang. Hingga seorang wanita berumur sekitar 35 tahun dengan dandanan yang modis, menghampiri mejanya. Bintara langsung berdiri dan mengulurkan tangan untuk bersalamaan.
“Oh, Anda sudah datang. Selamat Siang, Bu Meta.”
“Selamat Siang, Tuan Bintara.” Wanita itu pun langsung duduk di hadapan Bintara.
“Aku memesan sesuatu yang mungkin Anda suka. Apa perlu memesan makanan lain?” tawar Bintara.
“Ah, tidak perlu. Aku menyukai makanan ini,” sahut Bu Meta.
“Syukurlah. Jadi … apa boleh kita langsung membahasnya?”
“Tentu, Tuan Bintara. Aku dan Laras itu rival dari kami berada di bangku SMA. Hingga sampai saat ini, kami masih saja berperang dingin. Dia banyak mengetahui tentangku, tentu aku juga mengetahui banyak tentangnya. Bahkan tentang suaminya yang sekarang, aku juga satu universitas dulu. Jadi apa yang ingin kau tanyakan tentang wanita itu?” tanya Bu Meta.
“Jadi Anda tahu banyak tentang bisnis mereka juga?” tanya Bintara mulai tertarik.
Bu Meta yang tadinya menyesap minuman, tersenyum sambil menaruh cangkir di tempatnya. “Tentu. Untuk menjadi rival yang bagus, aku harus mengetahui seluk-beluk tentang bisnisnya. Tanyakan saja apa yang ingin kau tanyakan, Tuan. Aku akan menjawab dengan senang hati, aku tak akan membohongimu. Apalagi kau telah menjanjikan kerja sama yang bagus untukku.”
Bintara mengangguk percaya. “Anda tau Pak David dulu memiliki seorang istri bernama Rusmini?” Bintara langsung bertanya pada intinya saja.
“Aku tau itu. Laras sudah dari bangku SMA menyukai David tetapi sayang David malah menikah dengan Mini. Aku juga tahu Laras selalu berusaha mendekati David dan tanpa disangka mereka menikah. Aku kaget bagaimana mungkin? Setelah aku cari tahu, ternyata anak dari Rumini itu cacat pendengaran. David tak pernah mengenalkannya pada orang-orang sehingga membuatku kesulitan untuk melihat anaknya itu,” ungkap Bu Meta menjelaskan dengan raut wajah prihatin ketika membahas anak David.
Bintara meneguk salivanya susah payah. Mendengar identitasnya dulu disebut, membuat bayangan masa lalu tiba-tiba terputar di pikirannya. Dulu, ia sungguh tak dianggap oleh David. Hal tersebut menambah kobaran rasa marah di hati pria muda itu.
“Lalu, apa kau tahu di mana Rusmini sekarang?” tanya Bintara menatap lekat.
Baru kali ini Bu Meta menggeleng. “Aku tak tahu soal itu. Aku juga heran kapan David dan Mini bercerai. Tapi aku tak pernah berpikir mereka bercerai, sebab salah satu perusahaan David itu dengan nama Mini kudengar. Itu perusahaan yang tersukses yang David miliki. Jika ia bercerai dengan Mini, tidak mungkin ia masih memimpin perusahaan itu, bukan?”
Akhirnya Bintara tahu apa yang membuat ayahnya atau Laras hanya menculik ibunya. Tak membunuhnya seperti yang mereka lakukan padanya waktu itu. Tangan Bintara mengepal di samping badan.
“Terima kasih atas waktu yang Anda berikan, Bu Meta. Mari bertemu kembali di kantorku untuk pembahasan tentang kerja sama kita lebih lanjut,” ucap Bintara tersenyum ramah sambil mengajak bersalaman.
“Sama-sama, Tuan Bintara. Senang bekerja sama dengan Anda,” sahut Bu Meta.
***
Esok harinya Bintara dikejutkan dengan keadaan kantornya yang terlihat ramai dengan sejumlah awak media. Bintara menghentikan mobilnya di parkiran direktur, seketika para wartawan yang melihat langsung mengerumuni mobilnya.
“Aku akan keluar, Tuan,” ucap Erdo.
“Tak perlu, Do. Jalankan mobilnya ke bagian belakang kantor perusahaan dengan cepat. Kita akan masuk lewat pintu belakang,” titah Bintara.
“Baik, Tuan.”
Erdo memundurkan mobilnya dengan cepat, membuat para wartawan terkejut dan segera menghindar. Mobil yang Erdo kemudikan melaju menuju bagian belakang kantor perusahaan. Beberapa wartawan dan kameramen pun turut mengejaar mobil itu.
Mobil berhenti tepat di depan pintu bagian belakang. Bintara keluar mobil dengan cepat dan memasuki ruangan. Erdo ikut masuk dan mengunci pintu masuk tersebut.
“Cari tahu apa yang terjadi. Datang padaku jika kau berhasil menemukannya,” tegas Bintara terus melangkahkan kaki jenjangnya menuju lift.
“Baik, Tuan,” sahut Erdo menunduk hormat dan menjauh dari tuannya.
Bintara tumbuh menjadi sosok pria yang dingin, tegas, dan juga kejam. Namun, ia tetap mempunyai sisi Kelvin terdahulu hanya ketika ia bersama orang-orang yang ia sayangi. Tak ada raut khawatir sama sekali pada wajah Bintara selama menaiki sebuah lift. Ia melenggang dengan tenang keluar dari lift tersebut ketika sudah sampai pada lantai teratas.
Bintara melepaskan jasnya, lalu menaruh di sandaran kursi. Ia duduk dengan tenang sambil memejamkan mata, Tak lama seseorang mengetuk pintu ruangannya. Bintara pun menyuruhnya masuk. Erdo langsung datang menghadapnya.
“Lapor, Tuan. Keributan di depan disebabkan oleh rumor yang mengatakan bahwa Tuan membatalkan kerja sama parfume dengan perusahaan Pak David karena bahan parfume yang Tuan pilih berbahaya untuk kulit. Wajah David telah membanjiri laman beberapa situs media mengenai komentarnya langsung. David mengonfirmasi bahwa rumor tersebut adalah benar. Ada beberapa bukti yang beredar, beberapa remaja yang menggunakan parfume tersebut mengalami iritasi dan dilarikan ke rumah sakit,” tutur Erdo menjelaskan semuanya dengan lugas.
Bintara tertawa sumbang mendengar laporan tersebut. Ia menggelengkan kepalanya dengan tampang meremehkan. “Dia bertindak seolah-olah sedang menggalikan kuburan untukku, tetapi dia tak sadar sedang menggali kuburan untuk dirinya sendiri. Ayahku memang tak pernah berubah. Ia selalu bertingkah gegabah dari dulu, beruntungnya ada ibuku yang cerdas yang bisa mengatasi kecerobohan itu. Tapi sekarang, di sisinya hanya ada wanita licik yang berotak uang dan kebencian,” lontar Bintara.
“Apa yang harus kita lakukan untuk berita ini, Tuan?” tanya Erdo.
“Jangan lakukan apapun. Aku yang akan mengirimkan semua wartawan itu kembali ke Tuan David yang terhormat,” ucap Bintara menyeringai.
“Baik, Tuan. Lalu karyawan yang masih belum masuk?”
“Suruh mereka libur untuk hari ini.”
“Baik, Tuan,” sahut Erdo menunduk hormat seraya pergi dari ruangan Bintara.
Bintara menghidupkan komputernya dan memulai pekerjaannya. Tak peduli dengan keadaan di luar yang dipenuhi oleh wartawan dan awak media lainnya. Bahkan televisi di ruangan Bintara menayangkan siaran langsung di depan kantor Bintara Corp.
“Sampai saat ini Pak Bintara belum juga keluar dari gedung perusahaan untuk memberikan pernyataan tentang rumor yang—” Bintara langsung mematikan televisi tersebut.
Bintara mengetikkan sesuatu di ponselnya dan mengirimkannya pada seseorang. Tak lama ia menghubungi anak buahnya untuk berbicara secara langsung. “Kau sebarkan segera apa yang aku minta. Jangan lupa kau cantumkan beberapa bukti lain dari potongan CCTV di tempat itu.” Bintara memutuskan sambungan teleponnya dengan senyuman miring.