Aku tiba di rumah pukul sepuluh malam, tubuhku terasa lelah setelah diskusi panjang dengan Claire dan ancaman terbaru Alex. Kalung Dupont di leherku terasa berat, mengingatkanku pada tanggung jawab sebagai pewaris keluarga. Tapi yang mengejutkan, Tiara ada di ruang tamu, duduk di sofa dengan wajah canggung, bukan kebiasaannya menungguku.
“Mas, kenapa baru pulang?” tanyanya, nadanya biasa tapi matanya penuh curiga.
“Habis meeting,” jawabku singkat, melepas sepatu, berharap dia tidak bertanya lebih.
Tapi Tiara berdiri, mendekat, suaranya kini tajam.
“Tadi jam tujuh aku lewat kantormu, gerbangnya sudah di tutup. Pedagang soto di depan bilang, kamu sudah pulang dari sore. Meeting di mana, Mas? Sama siapa?” tanyanya, nadanya menuntut.
Aku menahan napas, amarah mulai membuncah. Dia, yang selalu membohongiku, berselingkuh dengan Alex, berani menuduhku?
“Aku meeting di luar, Ti. Biasa, urusan design iklan,” kataku, berusaha tenang.
Tapi Tiara menggeleng, matanya menyipit.
“Jang