Setelah mengirimkan sebuah pesan untuk Dewa, Tara menangis dalam diam di kamarnya. Setelah ini, semua yang sudah ia lewati bersama Dewa akan berakhir begitu saja.
Ia memandangi cincin pernikahan pemberian Dewa. Perlahan, jemarinya mencoba melepasnya. Tapi cincin itu seolah menolak untuk pergi.
"Kenapa susah sekali, ayo lepaslah dari jariku," rengek Tara, suaranya parau.
Dengan sekuat tenaga, Tara terus berusaha. Namun, yang ia dapat justru rasa sakit yang menusuk. Cincin itu tetap membandel di jari manisnya, seolah menyuruhnya untuk tidak pergi.
"Aku benci Kak Dewa! Harusnya dari awal kita nggak nikah! Dan harusnya aku nggak menaruh perasaan apapun buat Kak Dewa!" isaknya, penuh kemarahan yang bercampur pilu.
Ia memukul-mukul bantal, sekuat tenaga. Meluapkan semua kecewa, amarah, dan patah hati yang selama ini tertahan.
Bayangan saat bersama terus berputar di kepalanya. Wajah Dewa, senyum kecilnya, genggaman tangannya, bahkan saat mencuri ciuman pertamanya, semuanya masih terekam jela