Tara terbangun di ranjang pria yang tak seharusnya, dengan ingatan yang kabur dan kenyataan yang mengerikan: ia dituduh hamil oleh keluarga sendiri. Dipojokkan, dihina, bahkan ditampar oleh ayahnya, Tara tahu—ada rahasia besar yang disembunyikan, dan ia dijadikan kambing hitamnya. Ketika cinta, pengkhianatan, dan kehormatan bertabrakan, Tara harus memilih: tunduk pada tekanan... atau melawan segalanya demi kebenaran.
View More"Suster... tolong Ayah saya."Dewa berteriak meminta bantuan para perawat, wajahnya panik, nafasnya terengah engah, ayahnya masih sempat berbicara mustahil bagi Dewa ayahnya pergi begitu saja.Tara masih di dalam ruangan, ia terus mencoba membangunkan ayah Dewa, namun tubuh itu sudah lemas dingin dan kaku. Tara tak kuasa menangis, meski ia baru pertama kali bertemu, namun kata-kata terakhir itu terngiang-ngiang dikepala.Dokter bersama perawat pun masuk, Tara menyingkir memberi ruang untuk para tenaga medis. Dokter memompa jantung ayah Dewa secara manual namun tidak ada reaksi, lalu lanjut menggunakan alat kejut jantung tetap juga tidak bereaksi."Tuan, ayah anda sudah meninggal beberapa menit yang lalu," ujar dokter dengan nada pasrah.Dewa memegangi kepalanya kuat-kuat, matanya terpejam, deru nafasnya semakin kencang, ia tampak seperti ketakutan, tak lama kemudian tubuh Dewa ambruk jatuh ke lantai."Kak Dewa!" teriak Tara, langsung berlari menghampirinya.Ia mengguncang tubuh Dewa.
"Benda itu milik Kak Liora. Aku ke rumah Kak Dewa demi dia, agar Kak Dewa mau bertanggung jawab."Tara duduk di pinggir ranjang, benaknya kembali mengulas pertengkaran terakhir dengan Liora sebelum malam kejadian. Senyum kecut muncul di wajah Dewa. Ia sempat menahan tawa saat Tara dengan penuh kesungguhan meminta pertanggungjawaban atas kehamilan Liora."Kalau benda itu memang ada di tangan Kak Dewa, kenapa Kak Dewa gak bilang ke Ayah sama Mamah? Jelaskan kalau tespek dan foto USG itu bukan milikku, tapi milik Kak Liora," ucap Tara, sorot matanya penuh tanya dan kekecewaan."Kenapa malah menerima? Yang seharusnya Kak Dewa nikahi itu Kak Liora, bukan aku. Aku bahkan sama sekali gak hamil," lanjutnya, suaranya bergetar menahan gejolak."Aku lebih memilih menikahimu daripada menikahi Liora," jawab Dewa santai, senyum kecut masih bertahan di wajahnya.Tara berdiri, napasnya memburu, hatinya makin tak mengerti arah pemikiran Dewa. Dengan geram, ia meraih kerah kemeja Dewa, meremasnya deng
"Tuan, ini dompet dan kunci mobilnya."Pria bersetelan jas hitam itu menyerahkan kunci pada Dewa. Tara mengerutkan kening. Siapa pria ini? Dan kenapa ia memanggil Dewa dengan sebutan Tuan."Hah, Tuan?" batin Tara tercekat, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar."Lama sekali," ujar Dewa, datar, tanpa ekspresi."Maaf, Tuan. Ada sedikit masalah," jawab pria itu sopan, menunduk hormat.Tara semakin tak mengerti. Apa yang ia lihat, apa yang ia dengar, semua terasa asing dan bertolak belakang dengan apa yang selama ini Liora ceritakan. Siapa sebenarnya Dewa?Black card itu diserahkan Dewa kepada pelayan. Tara tertegun. Black card? Bukankah kartu itu hanya dimiliki kalangan elit?"Terima kasih, Tuan," ucap pelayan, menyerahkan kembali kartu itu dengan sopan.Tara kehilangan kata-kata. Kepalanya penuh tanya. Siapa Dewa sebenarnya?Dewa bangkit dari kursinya. Pria suruhannya sudah membawa koper Tara. Namun Tara masih terpaku, tenggelam dalam pusaran pikirannya."Jadi bener kamu mau c
"Tara, semua pakaian dan barang-barang kamu, sudah Ayah masukkan dalam koper."Ucapan Ayahnya menghantam hati Tara tanpa ampun. Dunianya seolah runtuh dalam sekejap. Ia terdiam, terkejut, tak percaya. Bagaimana mungkin orang tuanya tega melakukan ini?Apakah aku diusir? Apakah aku dibuang? pikirnya kalut.Semua barangnya sudah dikemas, lengkap, tak ada yang tertinggal. Ia memandang kedua orang tuanya, matanya penuh tanya, hatinya sesak. Kenapa? Apa sebenarnya yang mereka inginkan darinya?"Ayah, apa ini maksudnya?" tanyanya, nyaris tak terdengar. Suaranya gemetar, seperti hendak pecah bersama tangis yang ditahannya mati-matian."Mulai detik ini kamu tinggal di rumah Dewa. Ayah sama Mamahmu gak bisa menampung kalian di rumah ini," kata Danu, datar."Tara, kamu udah buat kesalahan besar. Kamu juga udah gagal menjadi seorang anak," tambah Rina, tajam.Air mata Tara jatuh, tak bisa ditahan lagi. Ucapan kedua orang tuanya terasa seperti pisau yang menyayat hati, berkali-kali, tanpa jeda. S
Hari itu akhirnya tiba, hari pernikahan Tara dengan Dewa. Segalanya telah disiapkan dengan sempurna, kursi-kursi untuk para tamu dan keluarga tersusun rapi, seperti menunggu dimulainya sebuah pertunjukan besar.Namun tidak dengan Tara. Ia duduk terdiam di balkon kamarnya, melamun. Lututnya ditekuk ke dada, rambutnya berantakan, dan sorot matanya tampak lelah, jelas kurang tidur semalaman."Apa gak ada yang bisa menolongku?" gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan pada diri sendiri.Pintu kamar mendadak terbuka. Rina muncul bersama juru rias yang membawa perlengkapan make up.“Tara... hentikan tangismu. Beberapa jam lagi akad dimulai,” bisik Rina dengan nada tajam, menggenggam lengan putrinya erat.“Tara nggak mau nikah, Mah...” rintih Tara lirih, wajahnya penuh luka yang tak kasat mata.“Sudah. Mamah lelah terus-menerus harus berdebat denganmu,” sahut Rina, datar tapi tegas.“Mbak, langsung makeup saja,” lanjutnya tanpa menoleh.Tara tak mampu melawan. Ia hanya bisa diam, menyerah pada
Tara keluar dari kamar, langkahnya lesu dan malas saat menuruni anak tangga. Di ruang keluarga, Dewa sudah duduk bersama Rina dan Danu."Om, Tante, saya ingin pernikahannya digelar minggu ini," ujar Dewa, suaranya tegas dan penuh percaya diri.Tara menatap lekat wajah Dewa. Hatinya sontak tersentak, dadanya seolah dihantam ombak besar. Apa maksudnya ini? Permainan macam apa yang sedang Dewa mainkan? Kenapa dia begitu ngotot ingin semuanya disegerakan?Sementara itu, Rina dan Danu saling melempar pandang. Di dalam hati mereka bergemuruh penolakan yang tak bisa diucap. Putri mereka akan menikah dengan pria yang belum mapan. Tapi apa daya, menjaga nama baik keluarga lebih mendesak saat ini."Kenapa Kak Dewa memutuskan sepihak? Aku juga punya hak untuk menolak," ujar Tara, suaranya lirih namun jelas."Tara!" tegur Danu cepat, mencoba meredam gejolak yang mulai muncul.Dewa hanya melirik sekilas ke arah Tara, lalu kembali menatap Danu dan Rina. "Bagaimana, Om, Tante?" tanyanya lagi, tenang
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments