Di salah satu kamar perawatan intensif di lantai atas rumah sakit, suara monitor detak jantung terus berbunyi pelan, memberi tanda bahwa kehidupan masih bertahan, meski tubuh di ranjang semakin lemah dari hari ke hari.
Alvaro terbaring dengan mata terpejam. Wajahnya pucat. Pipi tirus. Bibir kering. Nafasnya pendek-pendek. Satu tabung oksigen menempel di sisi kanan, sementara selang infus terus mengalirkan cairan ke tubuhnya yang sudah mulai dingin.
Penyakit hati yang selama ini diam-diam ia derita, kini benar-benar menyerangnya dengan ganas. Fungsi organ vital itu terus menurun drastis. Bila tidak segera mendapatkan transplantasi, harapan untuk bertahan bisa habis kapan saja.
Di sisi ranjang itu, duduklah seorang gadis kecil berusia lima tahun. Rambutnya berwarna coklat, dikuncir dua. Zolin, satu-satunya anak Alvaro, sekaligus cahaya di matanya yang mulai meredup.
Zolin menggenggam tangan sang ayah dengan erat. Tangannya mungil, tapi hangat. Ia terus duduk di situ, seharian penuh tanp