Pukul delapan pagi.
Dua ruang operasi, dua meja bedah, dua kehidupan yang digantungkan pada jarum waktu.
Amora dibaringkan di bawah cahaya terang. Wajahnya tenang, meski tubuhnya sudah mulai gemetar karena dingin dan cemas. Masker oksigen menutupi sebagian wajahnya, selang infus menancap di tangan kanan.
“Tekanan darah stabil,” ujar perawat.
“Pasien siap untuk anestesi,” tambah dokter anestesi.
Dokter Bram berdiri di sisi kepala Amora, menatapnya sejenak sebelum prosedur dimulai.
“Amora, semua akan baik-baik saja. Kami ada di sini. Kamu sudah sangat berani.”
Amora tersenyum samar, lalu memejamkan mata.
Dalam hati, ia menyebut nama anaknya.
"Emran, Mama hanya sebentar pergi. Setelah ini, kita bersama lagi."
Di ruang berbeda, Alvaro pun terbaring lemah. Tim dokter bergerak cepat. Monitor menunjukkan angka-angka yang tak stabil. Denyut jantung turun naik, tekanan darah nyaris kritis.
“Pasien siap menerima donor,” seru kepala tim bedah yang merupakan dokter dari Amerika.
“Segera mulai pr