Jam sudah menunjukkan pukul 20:35. Kantor mulai sepi. Beberapa lampu lantai bawah sudah dimatikan. Tapi di lantai delapan, ruang kerja divisi strategi masih terang. Hanya dua orang yang tersisa.
Kirana dan Ares.
Ares sedang duduk di depan dua layar monitor, men-scroll data panjang berisi perilaku pengguna aplikasi e-commerce milik perusahaan. Matanya fokus, tangan kirinya sesekali mencatat di iPad kecil yang selalu dia bawa.
Kirana berdiri di sebelahnya sambil memegang mug kopi kedua malam itu.
“Segmen 25–34 paling aktif buka aplikasi jam 9–11 malam. Tapi yang klik konten edukasi justru usia 30 ke atas. Kamu lihat juga?” tanya Kirana.
Ares mengangguk. “Iya. Gue juga nemu anomali di sini,” ujarnya sambil menunjuk grafik. “Konten video pendek durasinya paling sering di-skip setelah 15 detik. Tapi yang bentuk artikel dibaca sampai habis, malah lebih disukai.”
Kirana menaikkan alis. “Berarti orang-orang ini bukan cari hiburan. Mereka beneran mau belajar.”
Ares melirik Kirana. “Mungkin mereka mirip lo.”
Kirana menatap. “Maksudnya?”
Ares nyengir. “Keliatannya cuek, tapi sebenernya haus ilmu.”
Kirana mendesis pelan. “Jangan sok kenal.”
Ares tertawa pendek. “Baru satu hari kerja, tapi udah bisa tebak vibe lo, Boss.”
Kirana meletakkan kopinya di meja dan bersandar di pinggiran meja Ares. “Kamu tahu banyak, tapi belum tentu bisa kerja cepat.”
Ares menatap layar, lalu memutar laptopnya sedikit ke arah Kirana.
“Gue udah bikin chart ini. Breakdown user behavior by device, waktu, jenis konten, dan durasi konsumsi. Gue lagi mau cross-compare sama funnel user journey di halaman utama aplikasi.”
Kirana menatap layar itu, matanya membulat sedikit. Analisisnya rapi. Segmentasinya tepat. Bahkan dia belum minta data ini.
“Ini lo bikin barusan?”
“Gue suka main data, Kir. Eh—Bu Kirana,” ujarnya cepat sambil nyengir, sadar keceplosan.
Kirana pura-pura tidak dengar. Tapi dalam hati, dia harus mengakui: ini di luar ekspektasi.
Dia pikir Ares cuma titipan. Anak bos yang ditaruh biar ‘ada kerjaan’. Tapi cowok ini… tajam. Pinter. Dan tahu main strategi.
“Besok kamu ikut aku presentasi ke Divisi Produk,” kata Kirana akhirnya.
Ares menoleh cepat. “Serius? Hari kedua kerja langsung diajak presentasi?”
“Kalau kamu bisa handle materi ini dan jawab pertanyaan mereka dengan tenang, saya bisa percaya kamu.”
Ares tersenyum lebar. “Challenge accepted.”
Mereka kembali fokus ke layar masing-masing. Beberapa detik berjalan dalam keheningan, sampai Kirana melirik jam tangan.
“Udah jam sembilan. Kamu nggak mau pulang?”
Ares mengangkat bahu. “Gue anak malam. Jam segini baru pemanasan.”
Kirana mengerutkan kening. “Kamu anak dugem, ya?”
Ares meliriknya. “Kenapa? Keliatan banget?”
Kirana diam. Lalu berkata, “Selama kamu bisa kerja kayak gini tiap hari, saya nggak peduli kamu ngedance di atas bar sekalipun.”
Ares tertawa. “Lo keren juga, Kir.”
“Stop manggil saya kir.”
“Oke, Bu Manager Kirana yang galak tapi jago kerja,” ucapnya sambil memberi hormat pura-pura.
Kirana memutar bola matanya.
Dan malam itu, meski mereka tak saling bicara selama beberapa menit, ada sesuatu yang berubah. Untuk pertama kalinya… Kirana merasa punya partner kerja yang benar-benar bisa diandalkan.
Dan Ares?
Dia merasa... penasaran. Bukan cuma soal kerjaan. Tapi soal perempuan bernama Kirana Larasati—yang hatinya terasa jauh lebih rumit dari data yang sedang ia analisa.
Ini tidak seperti dirinya, masa membuat senyum kecil saja sesulit itu.