Ruang presentasi dipenuhi belasan orang dari Divisi Produk dan Tim R&D. Beberapa wajah familiar buat Kirana, beberapa lainnya lebih baru. Tapi yang jelas, semua mata langsung menoleh saat ia masuk… bersama Ares. Sekilas mereka terlihat seperti dua pribadi yang saling melengkapi.
Kirana tampil seperti biasa—blazer hitam, tatanan rambut rapi, clipboard di tangan. Profesional, tegas, dingin.
Sementara Ares… datang dengan kemeja biru langit yang dilipat hingga siku dan celana bahan yang terlalu pas. Terlalu santai. Tapi entah kenapa, tetap memikat dan terkesan modis.
“Lo beneran yakin mau presentasiin bagian lo?” bisik Kirana sebelum mereka maju ke depan ruangan.
Ares mengangguk sambil tersenyum santai. “Gue bukan cuma ganteng, Kir. Gue juga bisa mikir.”
Kirana menghela napas panjang. “Tidak perlu saya peringatkan berkali-kali untuk tidak memanggil saya Kir di depan orang.”
Ares menyeringai. “Noted... Bu Kirana.”
Mereka maju ke depan.
Kirana membuka presentasi seperti biasa—to the point, padat, berisi. Ia menjelaskan overview Proyek Sigma dan progress awal. Setelah sekitar 15 menit, dia menyerahkan sesi ke Ares.
“Untuk hasil analisis perilaku pengguna dan rekomendasi model konten awal, Ares akan menjelaskan lebih detail.”
Ares maju dengan tenang, menekan clicker, dan memulai dengan sebuah pernyataan yang langsung bikin satu ruangan diam.
“Kalau kita terus pakai pendekatan konten seperti sekarang, kita akan kehilangan segmen usia 25–34 tahun dalam enam bulan ke depan.”
Beberapa kepala langsung mengangkat alis.
Ares melanjutkan dengan grafik, data, dan narasi yang dibungkus dengan gaya bicara ringan—tapi isinya tajam.
Dia menyebut istilah seperti “emotional hook”, “retention loop”, “instant value capture”—semuanya dengan percaya diri yang nggak biasa buat ‘anak baru’.
Beberapa staf dari Divisi Produk mulai mengangguk. Bahkan Pak Riko, Head of Product, terlihat cukup tertarik.
“Jadi, apa solusinya menurut Anda, Mas Ares?” tanya Pak Riko sambil menyilangkan tangan.
Ares tersenyum tipis. “Kita pakai sistem micro-challenge. Modul 3 menit per hari, dengan sistem poin, badge, dan leaderboard antar pengguna. Tapi dengan twist: kontennya adaptif. Makin sering mereka buka aplikasi, makin personal rekomendasinya.”
Pak Riko menaikkan alis. “Mirip algoritma media sosial?”
“Persis,” jawab Ares. “Tapi dibungkus dalam sistem edukasi. Kita pakai kebiasaan adiktif mereka... buat sesuatu yang produktif.”
Satu ruangan mulai ramai.
Kirana diam, tapi matanya mengamati. Ia sulit untuk mengakui ini… tapi Ares berhasil mencuri perhatian. Bahkan, mendapatkan persetujuan dari rival lamanya, Fanny—Product Manager ambisius yang selama ini sering menyepelekan divisi strategi. Fanny lebih sering menganggap divisi strategi sok tau dan tidak mengetahui teknis.
Saat meeting selesai, beberapa orang langsung menghampiri Ares, bertanya ini-itu. Kirana sempat diam di pojok ruangan sambil merapikan file-nya.
Hingga akhirnya Fanny menghampirinya.
“Anak baru itu… tajam juga ya. Lo rekrut dari mana?”
Kirana pura-pura santai. “Dari MahendraTech Bali. Bekas anak magang luar negeri juga.”
Fanny tersenyum miring. “Dia nggak terlihat seperti orang biasa, Kir. Lo yakin dia bukan titipan orang atas?”
Kirana menahan ekspresi.
“Yang penting kerjaannya beres.”
“Kalau dia sampai lompat divisi atau jadi ‘golden boy’, lo siap, kan?” Fanny bertanya sambil tersenyum tajam.
Kirana tak menjawab. Matanya hanya menatap Ares yang sedang tertawa santai di sudut ruangan, dikelilingi orang-orang.
Dan untuk pertama kalinya, ia merasa... penilaian awalnya cukup meleset