Share

Chapter 8

AWKWARD

"Ketika kau bertemu dengan orang yang kau sukai, tanpa sadar kau akan menunjukkan tingkah aneh di depannya."

✈✈✈

Agustus, 2005.

Agustus adalah satu bulan yang sangat berarti bagi Indonesia. Kalian pasti tahu peristiwa apa yang terjadi puluhan tahun lalu pada bulan ini, bukan? Tepatnya 17 Agustus 1945, dimana Ir. Soekarno selaku Bapak Proklamator, memproklamasikan kemerdekaan yang berlatar tempat di rumahnya.

Pada hari itu pula berkibarnya saka merah-putih yang dijahit istrinya bernama Fatmawati. Rakyat Indonesia sangat antusias. Sudah saatnya mereka bebas dari belenggu penjajahan dan penindasan. 

Sambutan hangat dari rakyat tak pernah lepas dari pemasangan bendera di setiap rumah. Ruas jalan pun diramaikan pernak-pernik berwarna yang sama dengan bendera kita. 

Satu minggu sebelum hari besar, tepatnya tanggal 10 Agustus, pihak OSIS disibukkan dengan rancangan kegiatan menyambut hari kemerdekaan. Kegiatan itu tak lepas dari bermacam-macam lomba agustusan. Setiap kelas wajib mengirim satu perwakilan perorangan maupun kelompok, sesuai dengan kategori lomba yang diikuti. Apabila ada kelas yang tidak mematuhi akan diberi sanksi berupa denda. 

Tidak seperti teman kelasnya yang sibuk mendaftarkan diri untuk mengikuti perlombaan, Andin justru duduk manis di bangkunya. Memperhatikan orang-orang berkerumun di barisan depan.

"Din, lo nggak mau ikut lomba?" tanya Meysa. Dia baru saja mendaftarkan diri mengikuti lomba balap bakiak.

Andin menggeleng pelan. "Nggak, Sya."

"Kenapa?"

"Gue lebih seneng nonton."

Andin melirik seseorang yang terlihat sibuk di kerumunan itu. Wajahnya dipenuhi bulir keringat. Agaknya dia kelelahan. Sudah menjadi tugasnya sebagai ketua kelas untuk mendata siswa yang ingin mengikuti lomba.

Andin memandanginya cukup lama sampai orang itu menoleh padanya. Dia tersenyum. Entah mengapa Andin dapat merasakan senyuman hangat cowok itu melebur bersama eritrositnya.

Dengan sigap Andin menyangkal pemikiran absurd yang mencamuki benaknya saat ini. Dia tak ingin dikhianati harapan. Mungkin saja orang itu memang dikenal sosok pemurah senyum.

Meysa memperbaiki posisi bangkunya dan duduk di sana. Menilik seorang siswi dengan rambut tergerai di sampingnya. Dia sibuk memandangi seseorang yang sempat Meysa temui tadi. "Din," panggil Meysa. Menyadarkan siswi itu dari lamunan singkat.

"Iya, Sya," jawabnya. Kikuk.

"Ke kelas Putri, yuk?" ajaknya memegangi pergelangan Andin.

Andin mengangguk. Dia membiarkan Meysa menuntunnya menuju pintu keluar. Sebelum itu Andin sempat melirik seseorang yang kebetulan sedang melihatnya juga. Iya, mereka saling memandang. Hanya memandangi, tak mampu bertegur sapa. Mungkin karena rasa gugup atau memang menunggu salah satu untuk menegur.

Meysa berjalan semangat menuju kelas teman masa kecilnya. Hal itu tampak dari langkahnya yang bersenandung riang. Melompat kiri, melompat kanan, seperti anak kecil diajak ke Dufan.

Andin tersenyum di belakang. Memandangi Meysa selayaknya ibu mengawasi anak. Dia berjalan biasa seperti orang kebanyakan.

Beberapa orang yang melintas di koridor ini sempat berhenti melihat tingkah Meysa. Jika kalian bertanya apakah Meysa merasa malu, maka jawabannya tidak. Dia tidak merasa malu sedikit pun. Justru Andin yang merasakannya.

Sebisa mungkin Andin menutupi permukaan wajahnya dengan kedua telapak tangan. Seumpama ada jalan lain menuju kelas Putri, tentu Andin akan memilihnya.

"Putri!" jerit Meysa di depan kelas orang lain. Beberapa orang di dalam cukup terganggu dengan keberadaannya.

Pemilik nama itu pun berjalan mendekati Meysa. Wajahnya terlihat panik dan cemas. "Jangan jerit, Sya! Lo kira ini hutan," celetuk Putri. Menyuruhnya untuk mengecilkan intonasi suara.

Meysa menutup bibir. Matanya mengedar ke penjuru ruang. Hampir seluruh siswa fokus dengan buku di hadapannya. "Anak IPA-1 rajin banget," pujinya.

"Habis ini ulangan harian Fisika."

Meysa dan Andin ber-oh ria. Sepertinya mereka sudah paham mengapa orang di sini mendadak jadi siswa kutu buku. 

Andin menggeser bola matanya. Mendapati dua cowok tertawa kecil berjalan mengarahnya. "Nama lo Andin?" tanya seorang cowok pemilik dua lesung pipi.

Andin memasati wajahnya. Cowok itu pernah dia temui di depan ruang seni. "Iya," jawabnya gugup, "kenapa?"

Cowok itu berpaling melihat seseorang duduk di bangkunya, bangku nomor dua dari depan. Kepalanya menunduk dengan satu tangan menempel di kening. Berusaha menutupi wajah merah mudanya. 

"Jadi ini orangnya, Man," ungkap cowok itu menyinggung siku orang di sampingnya.

"Pantesan aja dia kagum." Cowok itu melirik kembali temannya. Kali ini dia menyembunyikan wajahnya di atas tangan yang melipat erat.

Andin tak mampu mengenalinya langsung. Sedari tadi cowok itu berusaha menutupi wajahnya. Cukup lama Andin memandang. Namun orang itu tak kunjung menunjukkan batang hidungnya.

"Kalian berdua kenapa, sih?" tanya Putri. Kedua tangannya melipat di depan dada.

"Lo masih kecil, nggak tau apa-apa," kekeh Guntur, nama cowok pemilik lesung pipi. Seseorang di sampingnya ikut tertawa.

Putri memasang ekspresi masam. Menandakan dia sangat benci situasi ini. Matanya menatap sinis dua orang yang tak kunjung diam. Mereka terus saja tertawa seperti orang gila.

"Udah, Put, nggak usah diladenin," saran Meysa memegangi bahunya.

Andin tak memihak siapapun. Independen. Menghiraukan apa yang terjadi di sekitar karena seseorang telah merebut perhatiannya. 

"Din, lo liat siapa, sih? Dari tadi diem aja." Putri menyinggung sikunya. Hanya Andin yang paling diam di sini. Putri mengikuti kemana arah mata Andin. Mendapati seorang cowok yang juga ketua kelasnya.

Andin spontan mengalihkan pandangnya. "Nggak ada," jawabnya cepat.

"Lo liatin Dirga?"

Dirga.

Nama itu tak asing lagi dalam Indra pendengarannya. Tentu saja Andin mengenal cowok itu. Rasa penasaran ini terbayar sudah. Dia sudah mengetahui siapa yang berusaha menyembunyikan wajahnya.

Kedua cowok itu saling melirik dan tersenyum lebar. "Itu Dirga, cowok ganteng se-Bakti Nusa," jelas seseorang di samping pemilik lesung pipi. Dialah Luqman.

Andin memilih diam. Membiarkan matanya mendominasi dari seluruh indra yang ada. Pandangannya fokus pada cowok itu. Selama apapun Andin menunggu, cowok itu tak kunjung mendongak. Mungkin setelah Andin pergi dia akan menunjukkan wajahnya.

✈✈✈

Andin mengunjungi ruangan kecil berciri khas wewangian cat. Tentu saja dia memiliki tujuan ke sini, tak lain mengambil lukisannya untuk diperlihatkan pada Siti yang menunggu di kantor guru.

Andin mendekati satu lukisan yang terpajang di easel. Manik matanya mendapati secarik kertas tertempel di sisi atas. Buru-buru Andin menyuluk saku dan mengeluarkan dua kertas. Dia menyandingkan kertas lama itu dengan kertas baru. Lalu bola matanya membulat sempurna. Tulisan itu sama persis.

Andin mengambil kertas itu dan duduk di bangku dekatnya. Mata Andin menilik satu per satu prasa yang tertuang di sana. Bibirnya refleks membentuk lekukan tipis. Kulit sekitar matanya pun tampak mengerut. Andin tersenyum bahagia.

...

Lukisan kamu sangat cantik

Sama seperti yang melukisnya

Si Peri cantik dan baik

Apa kamu penasaran dengan sosokku?

Aku sangat berharap kamu begitu

Sampai bertemu di lomba agustusan

Kamu dapat menemukanku di lomba estafet air

Kupastikan kamu tidak sulit mencariku

Karena aku akan tersenyum melihatmu

...

Andin memutar bola matanya. Menatap lurus dinding cream di depan. Tatapan itu kosong dan dingin. Agaknya dia sedang melamunkan suatu hal.

Siapa...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status