LOVE SONG
"Ketika seseorang memintamu mendengarkan suatu lagu, maka dengarkanlah. Karena pada lagu itu tersimpan makna tersirat untukmu."
✈✈✈
Andin mendecis sebal. Kebisingan dari barisan belakang sungguh mengganggunya. Berani sekali mereka berbuat onar kala sesi amanat. Apalagi yang menjadi amanat saat ini adalah Ibu Nis, guru yang sangat dihormati.
Andin melirik barisan yang terdiri dari satu orang, itu adalah barisan ketua kelas. Tampaknya Arya tak terganggu dengan kebisingan di barisang belakang. Tentu saja karena jaraknya cukup jauh.
"Siapa sih yang ribut di barisan belakang?" keluhnya.
Meysa melirik ke belakang. Mendapati empat cowok duduk mengapar di lapangan ini. Apa yang sedang mereka lakukan? Apa kalian dapat menebaknya?
Beberapa kartu berciri khas gambar koi tergenggam di masing-masing tangan. Tidak, ini bukanlah perjudian. Mereka memainkannya untuk kesenangan semata.
"Astaga." Meysa memutar kepalanya menghadap Andin.
"Kenapa?"
"Lagi upacara gini mereka malah main kartu di belakang."
"Hah?" kejut Andin. Dia langsung berbalik untuk membuktikan fakta yang ada.
Andin menilik seseorang mengenakan topi sekolah terbalik yang jarang sekali dia temui di kelas. Bahkan Andin berpikir jika dia adalah siswa baru di IPA-4.
"Sya, gue baru lihat cowok itu. Siswa baru?"
"Gue juga baru lihat."
Seorang siswi yang baris di belakang Andin berpaling menghadap biang keributan. Kepalanya menggeleng pelan usai mengetahui tingkah Empat Perewa. "Asep, diem!" suruh siswi itu. Jari telunjuknya menempel di depan bibir tipis.
"Oke." Cowok itu menunjukkan ibu jari padanya.
Bukan ketenangan yang ditawarkan, dia justru masih berkutik dengan permainan kartu. Mereka masih saja lanjut. Semakin lama keributan itu semakin jadi.
Andin dan siswi di belakangnya sama-sama mengawasi seorang wanita berseragam putih-hitam. Wanita itu berkacak pinggang di tempatnya. Menatap tajam empat siswa yang biasa berlangganan dengannya.
"Sep, berhenti! Ada Bu Ulfa," peringatnya terakhir kali. Dia gugup untuk menoleh karena wanita itu telah berdiri di belakang barisan kelasnya.
"Sekarang giliran siapa?" tanya cowok berambut gondrong. Sepasang mata sibuk menilik satu per satu kartu di tangannya.
"Giliran saya," celetuk seseorang di belakangnya.
Aneh sekali. Tak ada yang menyadari siapa yang menyahut ucapan Asep. Mereka serempak menghadap seseorang yang berdiri di belakang Asep. Seorang wanita berwajah sangar menatap sinis dengan tangan menyilang di bawah dada.
Semuanya tampak mati kutu kecuali Asep. Hanya dia sendiri yang belum menyadari. Tatkala dia menoleh ke belakang, dia tersentak kaget sampai melompat kecil di tempatnya. "Astaghfirullah."
"Antonio Septhian," ucapnya bernada panjang, "kamu lagi yang berbuat ulah."
Tanpa basa-basi Ulfa langsung memelintir telinga kirinya. Bahu cowok itu refleks menaik. "Aduh... sakit, Bu," ringisnya.
Bukan hanya Asep yang mendapat rezeki nomplok, ketiga temannya pun mendapat perlakuan yang sama. Dengan begitu kedudukan menjadi adil, bukan?
Beberapa pasang mata kini menjadikan mereka titik fokus. Semuanya berpaling menghadap belakang, menghiraukan seseorang berkicau di belakang mimbarnya.
"Apa yang kalian lihat? Cepat hadap ke depan!" tegas Ulfa pada seluruh peserta didik yang sempat menjadikannya bahan tontonan.
Andin dan Meysa bergidik ngeri. Ulfa memang dikenal sosok guru yang beringas dan pemarah. Maka tak mengherankan dia disegani banyak orang, kecuali Asep. Ralat. Antonio Septhian.
"Maju ke depan sana!" titah Ulfa. Dia menunjuk barisan di samping paduan suara.
"Ayo, pergi kalian!" seru Asep. Dengan percaya diri dia mengarahkan temannya, seolah dia tak terlibat.
"Kamu juga, Asep!" Ulfa menatap tajam si biang masalah itu.
Dalam posisi terpojok Asep menyempatkan diri untuk tertawa. Meski canda tawa itu sangat canggung dan hambar. Lalu dia berlari menyusul ketiga temannya ke tempat yang diperintahkan Ulfa.
Puluhan pasang mata menyambut kedatangan empat siswa itu. Mereka berbisik membicarakan penampilan Asep dan rekannya. Sebetulnya barisan ini khusus untuk peserta didik yang tidak memakai atribut lengkap. Sedangkan Empat Perewa itu memakai full set mulai dari kaos kaki sampai topi sekolah. Hal inilah yang menjadi perbincangan hangatnya.
✈✈✈
Ruang seni menjadi kunjungan utama Andin setelah bel istirahat bergema. Hanya dia sendiri di ruangan kecil itu. Dia begitu larut memandangi sebuah kanvas di easel.
Lukisan itu hampir selesai. Tinggal membubuhkan beberapa warna lagi untuk memberikan kejelasan. Kali ini dia melakukannya tanpa melihat angsana. Bunganya telah gugur akibat hujan kemarin.
Andin tak menyadari bila seseorang berdiri di ambang pintu. Manik matanya larut memandangi lukisan indah dari hasil tangan Andin. Otot sekitar bibirnya refleks menarik hingga membentuk suatu lekukan tipis. Dia tersenyum.
"Ga, lo ngapain?" sahut temannya.
Andin berpaling mendengar suara yang tak dikenali, mendapati tiga cowok memperhatikannya. Andin memasati lama salah seorang. Cowok itu yang mengantarnya pulang kemarin.
Dia tersenyum samar. Entah gugup atau malu karena tertangkap basah. Satu tangan menggaruk tengkuk leher yang tak gatal. Agaknya dia salah tingkah.
Andin membalas dengan senyuman canggung. Belum terlalu mengenal seseorang yang dia ketahui namanya Dirga. Tak lama cowok itu pergi bersama kedua penguntit yang senantiasa di belakangnya kapanpun dan dimanapun bagai pengawal.
Andin masih menghadap sana. Memandang kosong ambang pintu dengan secuil pikiran membebani otaknya. Betul apa yang diucapkan Dirga kemarin, mereka berjumpa lagi hari ini seakan dunia begitu sempit. Ralat. Sekolah ini yang sempit.
Andin kembali sadar dari lamunan kala seseorang berdiri di ambang pintu. Bukan, dia bukan cowok yang tadi. Di sini Andin tersenyum paling dulu menyambut kedatangannya.
"Gue kira lo di perpustakaan," ungkapnya. Dia berjalan gagah mendekati Andin.
Andin tak memberi respons sama sekali. Dia begitu larut memandangi seseorang mengenakan earphone putih. Cowok itu tengah mendengarkan musik melalui mp3 player jadul dilengkapi USB.
Arya duduk di sampingnya. Menatap Andin bingung karena sedari tadi diam tak berkutik. "Din, lo ngelamunin apa?" Arya melambaikan tangannya di hadapan Andin.
Andin mengerjapkan matanya cepat. Sepasang mata kini saling berjumpa. "Lo ngelamunin apa?" tanya Arya sekali lagi.
Andin menggeleng. Buru-buru dia mengalihkan pandangan ke kanvas dan melanjutkan aktivitas melukisnya.
Arya tersenyum memandangnya. Dia mengambil earphone sebelah kanan dan memberikannya pada Andin.
"Apa?" tanya Andin. Bingung.
"Dengerin lagunya, Din." Arya menganggukkan kepala mengikuti lantunan lagu yang diputar.
Andin mengambil earphone itu dan memasangnya di telinga kiri. Dia menatap kosong keramik putih sambil mendengarkan lagu.
♪Betapa sempurna dirimu di mata hatiku
♪Tak pernah ku rasakan damai sedamai bersamamu
♪Tak ada yang bisa yang mungkinkan mengganti tempatmu
Andin mengetahui lagu ini. Lagu ini dirilis grup vokal Tangga di tahun yang sama berjudul "Hebat". Salah satu lagu yang banyak digandrungi anak-anak muda.
♪Jantungku bergerak cepat
Sama seperti yang Andin rasakan, jantungnya berdetak di atas normal. Sangat cepat.
♪Semua yang berat bisa lewat
Hari-hari berat yang dia lalui terasa ringan ketika bersamanya. Semua keluhan hilang hanya dengan melihat wajahnya.
♪Inikah cinta yang sejati, cinta
Andin memandangnya dalam. Melihat wajah Arya dalam jarak dekat seperti ini berhasil merombak suasana hatinya. Andin bahagia. Bahkan lebih dari itu jika harus dideskripsikan.
Lalu mata mereka saling berjumpa. Iya, Arya juga berpaling memandangnya. Sepasang mata antara dua insan bertaut cukup lama.
AWKWARD"Ketika kau bertemu dengan orang yang kau sukai, tanpa sadar kau akan menunjukkan tingkah aneh di depannya."✈✈✈Agustus, 2005.Agustus adalah satu bulan yang sangat berarti bagi Indonesia. Kalian pasti tahu peristiwa apa yang terjadi puluhan tahun lalu pada bulan ini, bukan? Tepatnya 17 Agustus 1945, dimana Ir. Soekarno selaku Bapak Proklamator, memproklamasikan kemerdekaan yang berlatar tempat di rumahnya.Pada hari itu pula berkibarnya saka merah-putih yang dijahit istrinya bernama Fatmawati. Rakyat Indonesia sangat antusias. Sudah saatnya mereka bebas dari belenggu penjajahan dan penindasan.Sambutan hangat dari rakyat tak pernah lepas dari pemasangan bendera di setiap rumah. Ruas jalan pun diramaikan pernak-pernik berwarna yang sama dengan bendera kita.Satu minggu sebelum hari besar, tepatnya tanggal 10 Agustus,
SCENARIO"Tak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Semua mengikuti skenario yang ada. Entah memang skenario dari Semesta atau skenario yang dia rancang sendiri."✈✈✈Suara yang bersumber dari benda elektronik memecah keheningan di ruangan besar ini. Bila tak ada benda tersebut mungkin suara jangkrik di luar akan terdengar sampai ke dalam rumah. Rumah bertingkat dua itu memang terlihat sunyi. Hanya berpenghuni satu keluarga yang terdiri dari tiga orang.Seorang gadis duduk di atas sofa empuk. Menghiraukan benda di depannya berbicara sendiri. Seakan tak ada artinya benda itu menyala. Dia sedang sibuk. Matanya tak henti mengawasi telepon rumah yang terletak di atas meja. Berharap ada dering panggilan dari seseorang.Wanita yang duduk di samping meliriknya gemas. Anak semata wayangnya itu memasang muka kecut dengan bibir manyun. Kedua tangannya melipat di depan.&nbs
ABILITY"Tuhan menciptakan manusia dengan kemampuannya masing-masing. Kamu hanya perlu mengeksplorasi diri untuk mengetahuinya."✈✈✈Ketika tujuh belasan, beberapa instansi melakukan kegiatan upacara untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia. Namun yang paling utama dan dihadiri tokoh-tokoh penting adalah upacara yang dilaksanakan di Istana Negara. Diinspekturi Pemimpin Negara yang menjabat di tahun 2005, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono bersama wakilnya Bapak Jusuf Kalla, menyelenggarakan Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-60 tahun. Tentunya upacara ini akan diliput langsung oleh stasiun televisi di Indonesia, baik stasiun televisi negeri maupun swasta.SMA Bakti Nusa turut berperan andil. Seluruh warga sekolah wajib berkumpul di lapangan terlebih dahulu untuk mengikuti serangkaian upacara di hari istimewa ini. Mereka mengenakan seragam sekolah dengan atribut lengkap, mulai dari topi, dasi,
FRIENDSHIP"Belum sah namanya kalau dalam pertemanan tidak menyukai orang yang sama."✈✈✈"Lo hebat banget, Sep," puji Andin.Cowok itu membuka lebar kedua tangan. Dadanya membusung disertai kepala yang sengaja didongakkan. Ah, sial, dia mulai tinggi hati. Setelah berhasil memenangkan perlombaan babak pertama dan mendapatkan pujian dari beberapa orang, dia menjadi sangat arogan."Iya dong," balasnya. Kedua tangan cowok itu berada di pinggang. Dia semakin berlagak.Sekar memutar bola matanya. Malas menghadapi orang semacam Asep. Sekar yang hendak memujinya terpaksa menguburkan niat itu dalam-dalam. Dia tak ingin Asep semakin tinggi hati.Lain halnya dengan Andin yang menganggap itu gurauan semata. Dia menyambut tingkah Asep dengan tawa kecilnya. Lalu Andin berpaling melihat keadaan sekitar. Banyak sekali orang berlalu-lalang menuju lokasi
INDECISIVE"Bimbang. Ketika kau ragu untuk memilih bertahan atau melepaskan perasaan yang bahkan belum sempat dinyatakan."✈✈✈Jatuhnya jutaan bulir air di atap halte berhasil menciptakan momentum harmoniasi. Denting itu mengalun seperti irama yang dihasilkan alat musik drum. Seorang gadis berteduh di sana. Menikmati alunan musik abstrak yang tercipta di sekelilingnya.Tangan kanan gadis itu menjulur ke depan. Mengukur kadar kecepatan air yang jatuh membasahi bumi dari hasil prespitasi."Masih deras," tuturnya.Pupil gadis itu meluncur pelan menilik anggota badan sampai jemari kakinya. Blues putih dengan bawahan skinny jeans itu terlihat sedikit basah. Beruntunglah dia sempat berteduh sebelum hujan deras. Lalu dia melirik cepat dari sudut kiri hingga sudut kanan. Hanya beberapa kendaraan saja yang memberanikan diri berlintas kala hujan lokal ini.Kepalanya men
CONGRATULATION "Seribu ucapan selamat dari orang asing akan berbeda sensasinya dengan satu ucapan selamat dari seseorang yang kamu suka." ✈✈✈ Kicauan burung pingai bertaut dari satu pohon yang mereka hinggapi dan menjuru ke pohon lain. Alunan abstrak itu berhasil menciptakan harmonisasi yang sangat indah. Beberapa peserta didik yang mampu menangkap gelombang suaranya merasa tenang dan damai. Mengalihkan sejenak dari kegiatan yang sangat membosankan ini. Satu per satu peserta didik mengeram jengkel. Mau sampai kapan mereka harus berdiri seperti mendapat hukuman setrap. Mereka terpaksa mendengarkan amanat yang isinya tak jauh berbeda dengan minggu sebelumnya. Sungguh membosankan, bukan? Andin menghela napas panjang. Dalam posisi istirahat dia mencoba untuk meregangkan otot kakinya. Sangat melelahkan. Lalu pupilnya berpindah halus hingga berhenti di sudut akhir. Melirik se
PLAN "Tidak semua yang direncanakan dapat berjalan baik, tidak semua harapan pula harus menjadi nyata. Jangan bersedih. Semua yang terjadi telah diatur Semesta. Dia tahu mana yang terbaik untukmu." ✈✈✈ Hembusan angin membelai pelan setiap helai rambut panjangnya. Rambut hitam tergerai itu menari-nari mengikuti arus ombak di musim panas. Bersamaan rambut yang tumbuh di permukaan kulitnya berdiri kokoh bagai pohon kaktus. Tangannya mengusap cepat dari pergelangan tangan hingga sikunya yang terpapar hembusan agar menghasilkan panas alami. Giginya tak berhenti gemertak mengikuti alunan abstrak yang dia ciptakan sendiri. Angin malam ini menghadirkan hawa dingin yang tak dia inginkan. Dia beranjak dari kursi. Melunjurkan tangannya demi meraih sudut jendela. Lalu dia menutup rapat jendela itu. Seakan dia menutup akses sang angin malam untuk menginjak kamar tidurnya lagi.
REALITY "Kamu terlalu menggantungkan harapan dengan dunia nyata. Sehingga ketika kenyataan mengkhianati harapanmu, kamu akan sulit menerimanya." ✈✈✈ Andin memutar badannya ke belakang. Manik matanya membulat tatkala memandangi wajah seseorang yang memanggilnya. Tubuh Andin terpaku. Seluruh otot tubuhnya mendadak tak berfungsi. Dia tak bisa melakukan apapun selain bernapas. "Ja...jadi lo yang ngirim surat dan kertas di UKS ini?" tanya Andin gugup. Dia menunjukkan dua kertas di tangannya. Cowok itu menggaruk tengkuk lehernya. "I...iya, Din." Mulut Andin ternganga. Sungguh, dia masih tidak percaya jika cowok itu yang mengirimnya. Pengirim surat itu bukanlah orang yang seperti Andin harapkan. Ini nggak mungkin. Gue sangat yakin bukan dia orangnya. Andin menggeleng cepat. Dia masih memandang cowok itu