Share

Chapter 7

LOVE SONG

"Ketika seseorang memintamu mendengarkan suatu lagu, maka dengarkanlah. Karena pada lagu itu tersimpan makna tersirat untukmu."

✈✈✈

Andin mendecis sebal. Kebisingan dari barisan belakang sungguh mengganggunya. Berani sekali mereka berbuat onar kala sesi amanat. Apalagi yang menjadi amanat saat ini adalah Ibu Nis, guru yang sangat dihormati.

Andin melirik barisan yang terdiri dari satu orang, itu adalah barisan ketua kelas. Tampaknya Arya tak terganggu dengan kebisingan di barisang belakang. Tentu saja karena jaraknya cukup jauh. 

"Siapa sih yang ribut di barisan belakang?" keluhnya.

Meysa melirik ke belakang. Mendapati empat cowok duduk mengapar di lapangan ini. Apa yang sedang mereka lakukan? Apa kalian dapat menebaknya?

Beberapa kartu berciri khas gambar koi tergenggam di masing-masing tangan. Tidak, ini bukanlah perjudian. Mereka memainkannya untuk kesenangan semata.

"Astaga." Meysa memutar kepalanya menghadap Andin.

"Kenapa?"

"Lagi upacara gini mereka malah main kartu di belakang."

"Hah?" kejut Andin. Dia langsung berbalik untuk membuktikan fakta yang ada.

Andin menilik seseorang mengenakan topi sekolah terbalik yang jarang sekali dia temui di kelas. Bahkan Andin berpikir jika dia adalah siswa baru di IPA-4.

"Sya, gue baru lihat cowok itu. Siswa baru?"

"Gue juga baru lihat."

Seorang siswi yang baris di belakang Andin berpaling menghadap biang keributan. Kepalanya menggeleng pelan usai mengetahui tingkah Empat Perewa. "Asep, diem!" suruh siswi itu. Jari telunjuknya menempel di depan bibir tipis.

"Oke." Cowok itu menunjukkan ibu jari padanya.

Bukan ketenangan yang ditawarkan, dia justru masih berkutik dengan permainan kartu. Mereka masih saja lanjut. Semakin lama keributan itu semakin jadi.

Andin dan siswi di belakangnya sama-sama mengawasi seorang wanita berseragam putih-hitam. Wanita itu berkacak pinggang di tempatnya. Menatap tajam empat siswa yang biasa berlangganan dengannya.

"Sep, berhenti! Ada Bu Ulfa," peringatnya terakhir kali. Dia gugup untuk menoleh karena wanita itu telah berdiri di belakang barisan kelasnya.

"Sekarang giliran siapa?" tanya cowok berambut gondrong. Sepasang mata sibuk menilik satu per satu kartu di tangannya.

"Giliran saya," celetuk seseorang di belakangnya.

Aneh sekali. Tak ada yang menyadari siapa yang menyahut ucapan Asep. Mereka serempak menghadap seseorang yang berdiri di belakang Asep. Seorang wanita berwajah sangar menatap sinis dengan tangan menyilang di bawah dada.

Semuanya tampak mati kutu kecuali Asep. Hanya dia sendiri yang belum menyadari. Tatkala dia menoleh ke belakang, dia tersentak kaget sampai melompat kecil di tempatnya. "Astaghfirullah."

"Antonio Septhian," ucapnya bernada panjang, "kamu lagi yang berbuat ulah."

Tanpa basa-basi Ulfa langsung memelintir telinga kirinya. Bahu cowok itu refleks menaik. "Aduh... sakit, Bu," ringisnya.

Bukan hanya Asep yang mendapat rezeki nomplok, ketiga temannya pun mendapat perlakuan yang sama. Dengan begitu kedudukan menjadi adil, bukan?

Beberapa pasang mata kini menjadikan mereka titik fokus. Semuanya berpaling menghadap belakang, menghiraukan seseorang berkicau di belakang mimbarnya.

"Apa yang kalian lihat? Cepat hadap ke depan!" tegas Ulfa pada seluruh peserta didik yang sempat menjadikannya bahan tontonan.

Andin dan Meysa bergidik ngeri. Ulfa memang dikenal sosok guru yang beringas dan pemarah. Maka tak mengherankan dia disegani banyak orang, kecuali Asep. Ralat. Antonio Septhian.

"Maju ke depan sana!" titah Ulfa. Dia menunjuk barisan di samping paduan suara.

"Ayo, pergi kalian!" seru Asep. Dengan percaya diri dia mengarahkan temannya, seolah dia tak terlibat.

"Kamu juga, Asep!" Ulfa menatap tajam si biang masalah itu.

Dalam posisi terpojok Asep menyempatkan diri untuk tertawa. Meski canda tawa itu sangat canggung dan hambar. Lalu dia berlari menyusul ketiga temannya ke tempat yang diperintahkan Ulfa.

Puluhan pasang mata menyambut kedatangan empat siswa itu. Mereka berbisik membicarakan penampilan Asep dan rekannya. Sebetulnya barisan ini khusus untuk peserta didik yang tidak memakai atribut lengkap. Sedangkan Empat Perewa itu memakai full set mulai dari kaos kaki sampai topi sekolah. Hal inilah yang menjadi perbincangan hangatnya.

✈✈✈

Ruang seni menjadi kunjungan utama Andin setelah bel istirahat bergema. Hanya dia sendiri di ruangan kecil itu. Dia begitu larut memandangi sebuah kanvas di easel.

Lukisan itu hampir selesai. Tinggal membubuhkan beberapa warna lagi untuk memberikan kejelasan. Kali ini dia melakukannya tanpa melihat angsana. Bunganya telah gugur akibat hujan kemarin.

Andin tak menyadari bila seseorang berdiri di ambang pintu. Manik matanya larut memandangi lukisan indah dari hasil tangan Andin. Otot sekitar bibirnya refleks menarik hingga membentuk suatu lekukan tipis. Dia tersenyum.

"Ga, lo ngapain?" sahut temannya.

Andin berpaling mendengar suara yang tak dikenali, mendapati tiga cowok memperhatikannya. Andin memasati lama salah seorang. Cowok itu yang mengantarnya pulang kemarin.

Dia tersenyum samar. Entah gugup atau malu karena tertangkap basah. Satu tangan menggaruk tengkuk leher yang tak gatal. Agaknya dia salah tingkah.

Andin membalas dengan senyuman canggung. Belum terlalu mengenal seseorang yang dia ketahui namanya Dirga. Tak lama cowok itu pergi bersama kedua penguntit yang senantiasa di belakangnya kapanpun dan dimanapun bagai pengawal. 

Andin masih menghadap sana. Memandang kosong ambang pintu dengan secuil pikiran membebani otaknya. Betul apa yang diucapkan Dirga kemarin, mereka berjumpa lagi hari ini seakan dunia begitu sempit. Ralat. Sekolah ini yang sempit.

Andin kembali sadar dari lamunan kala seseorang berdiri di ambang pintu. Bukan, dia bukan cowok yang tadi. Di sini Andin tersenyum paling dulu menyambut kedatangannya.

"Gue kira lo di perpustakaan," ungkapnya. Dia berjalan gagah mendekati Andin.

Andin tak memberi respons sama sekali. Dia begitu larut memandangi seseorang mengenakan earphone putih. Cowok itu tengah mendengarkan musik melalui mp3 player  jadul dilengkapi USB.

Arya duduk di sampingnya. Menatap Andin bingung karena sedari tadi diam tak berkutik. "Din, lo ngelamunin apa?" Arya melambaikan tangannya di hadapan Andin.

Andin mengerjapkan matanya cepat. Sepasang mata kini saling berjumpa. "Lo ngelamunin apa?" tanya Arya sekali lagi.

Andin menggeleng. Buru-buru dia mengalihkan pandangan ke kanvas dan melanjutkan aktivitas melukisnya.

Arya tersenyum memandangnya. Dia mengambil earphone sebelah kanan dan memberikannya pada Andin.

"Apa?" tanya Andin. Bingung.

"Dengerin lagunya, Din." Arya menganggukkan kepala mengikuti lantunan lagu yang diputar.

Andin mengambil earphone itu dan memasangnya di telinga kiri. Dia menatap kosong keramik putih sambil mendengarkan lagu.

♪Betapa sempurna dirimu di mata hatiku

♪Tak pernah ku rasakan damai sedamai bersamamu

♪Tak ada yang bisa yang mungkinkan mengganti tempatmu

Andin mengetahui lagu ini. Lagu ini dirilis grup vokal Tangga di tahun yang sama berjudul "Hebat". Salah satu lagu yang banyak digandrungi anak-anak muda.

♪Jantungku bergerak cepat

Sama seperti yang Andin rasakan, jantungnya berdetak di atas normal. Sangat cepat.

♪Semua yang berat bisa lewat

Hari-hari berat yang dia lalui terasa ringan ketika bersamanya. Semua keluhan hilang hanya dengan melihat wajahnya.

♪Inikah cinta yang sejati, cinta

Andin memandangnya dalam. Melihat wajah Arya dalam jarak dekat seperti ini berhasil merombak suasana hatinya. Andin bahagia. Bahkan lebih dari itu jika harus dideskripsikan.

Lalu mata mereka saling berjumpa. Iya, Arya juga berpaling memandangnya. Sepasang mata antara dua insan bertaut cukup lama.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status