Wanita dengan manik hitam segelap malam itu menatap ke arah pria paruh baya di hadapannya dengan mata membulat, ekspresi wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan atas semua hal yang baru saja dia dengar. "Ayah!" teriak wanita itu, tak mampu menahan amarahnya lagi. "Demi seorang jal*ng, Ayah mengusir kami?!" Jarinya menunjuk ke arah seorang wanita muda yang memasang wajah ketakutan di belakang sang ayah.
Tentu saja itu hanya sebuah kepura-puraan. "Dasar rubah!" gumam Alvira yang masih bisa didengar oleh ayahnya.
"Alvira! Jaga ucapanmu!"
"Sudah, ayo kita pergi dari sini, tidak usah membuat tenaga kakak habis hanya gara-gara sampah seperti mereka!" Raka membawa kakak dan ibunya untuk menjauh dari rumah yang sejak kecil ia tinggali.
Alea tidak mampu berkata, hatinya begitu rapuh saat mengetahui orang yang dicintai sudah berhianat. Dengan mengeret koper ia meninggal rumah megah yang banyak kenangan di dalamnya. Mereka pergi tidak membawa apa-apa hanya pakaian yang boleh dibawa, semua fasilitas diambil kembali pada sang kepala keluarga.
***
Semenjak perpisahan itu terjadi Alvira harus bekerja membantu sang ibu Alea mencari uang. Pada malam hari ia bekerja sebagai waiters di kafe milik sahabatnya. Jika pagi ia akan pergi kuliah, Menjadi mahasiswa di fakultas kedokteran yang sebentar lagi akan menyandang gelar S.ked. Sedangkan adiknya Raka baru saja duduk di bangku kuliah semester awal. Awalnya Raka menolak untuk melanjutkan pendidikannya karena biaya yang dibutuhkan akan sangat banyak, ia berencana untuk mencari kerja sesuai kemampuan dirinya untuk membantu ibu dan kakaknya. Tapi Alvira tidak mengizinkannya, Alvira terus membujuk Raka agar melanjutkan pendidikannya soal biaya biar menjadi tanggung jawabnya. Setelah Alvira dan ibunya terus mendesak dirinya akhirnya Raka pun menurutinya untuk melanjutkan pendidikannya dengan memgambil jurusan bisnis dan manajemen. Dengan impian dirinya akan menjadi pembisnis yang berhasil seperti ayahnya yang sudah tidak diketahui kabarnya lagi.
“Hai, ngelamun aja lo?” seru Vita saat melihat Alvira duduk di bangku kantin sambil menatap kosong gelas yang ada di depannya.
“Apaan sih lo kagetin aja,”seru Alvira.
“Mikirin apa sih calon ibu dokter?” tanya Vita sambil menyenggol lengan Alvira yang dibuatnya bertumpu pada wajahnya.
“Apaan sih lo, lo juga calon dokter kali," jawab Alvira yang tidak terima dengan pernyataan Vita.
“Lo nggak makan?” tanya Vita yang melihat di meja Alvira hanya ada segelas minuman berwarna kuning.
“Enggak gua masih kenyang," balas Alvira masih banyak diam sambil mengaduk-aduk minuman berwarna kuning di depannya,
“Yakin masih kenyang, temani gua makan yuk kita pergi ke kafe yang ada diujung sana. Masih ada waktu satu jam lagi bukan untuk ketemu sama pak dosen,"desak Vita sambil mengoyang-goyang kan lengan Alvira.
“Gua udah kenyang Vit, elo aja deh," tolak Alvira dengan suara lembut.
“Ayolah temani gua, masa lo tega biarkan gua makan sendiri entar gua diculik sama cowok ganteng gimana?” Vita memohon agar Alvira mau menemani diri nya. Vita tau kalau Alvira bukannya kenyang dia hanya menghemat pengeluaran saja karena Alvira harus memikirkan Raka dan ibunya.
Vita terus merengek untuk minta ditemani makan siang. Pada akhirnya Alvira menyetujui, karena Vita terlihat seperti anak kecil yang minta di belikan perman. Dengan menggunakan mobil milik Vita mereka menuju kafe Pinky yang jaraknya tidak jauh dari kampus mereka.
“Elo mau makan apa?” tawar Vita. Begitu sampai di kafe dan keduanya sudah duduk di bangku pojokan kafe tersebut.
“Jangan bilang kalau loe sudah kenyang ya, ayo pesan gua bayarin kok. Lo tenang aja,” sambung Vita lagi sambil melihat daftar menu makananya.
“Bukannya gitu tapi--?"
“Udah ayo pesan nggak ada tapi-tapian," timpal Vita.
Karena menunggu Alvira yang lama banget mikirnya akhirnya Vita yang memesan dua menu makanan.
“Lo kenapa sih?” selidik Vita.
“Ada masalah, kalau ada tuh cerita ke gua siapa tau gua bisa bantu jangan dipendam sendiri.”
“Gua mikirin nasib kuliah nih, apa gua bisa nyandang gelar dokter nantinya. Usaha kue nyokap akhir-akhir ini terjadi penurunan. Kalau ngandalin gaji gua di kafe mah, nggak bakal cukup." adu Alvira lesu.
“Elo semangat dong, gua yakin lo bakal jadi dokter muda. Soal biaya nanti gua bantu, Lo tenang aja ya," sahut Vita.
“Kenapa enggak kasih tau bokap lo aja, gua yakin bokap lo mau bantu biayanya,” lanjut Vita memberi saran.
“Gua takut diusir lagi, lo tau sendiri kan istrinya gimana?” lirih Alvira yang sudah menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.
“Gua kapok ah ke sana lagi, malas gua cari ribut.”
“Ya udah nggak usah dipikirin dulu, kita makan dulu yok dah lapar nih,” ajak Vita karena cacing dalam perutnya dari tadi sudah memanggil minta diisi.
Vita memperhatikan Alvira yang begitu lahap dengan makanannya betul saja dugaannya tadi kalau sebenarnya Alvira juga lapar. Mereka makan saling diam tidak ada obrolan yang terjadi keduanya fokus pada makanan dan pikirannya masing masing.
Selesai makan keduanya kembali ke kampus karena jam masuk sebentar lagi. “Sebentar lagi kita koas nih lo senang nggak akhirnya kita bisa bantu-bantu di rumah sakit nih,” seru Vita sambil matanya fokus pada jalanan.
“Gua sebenarnya senang sih malah udah nggak sabar banget, tapi apa tabungan gua cukup yah?” lirih Alvira kembali mengingat keuangannya yang semakin menipis.
“Lo tenang aja, kalau bokap lo nggak mau kasih uang. Biar gua yang bantu," jawab Vita penuh keyakinan. Vita membelokkan mobilnya memasuki pelataran kampus. Keduanya berjalan menuju ruang dosen. Saat menaiki anak tangga Alvira tidak sengaja menabrak seseorang hingga buku yang berada ditangannya jatuh berserakan.
“Lo nggak liat apa?” cerca Alvira.
“Maaf gua nggak sengaja, gua buru-buru,” ucapnya sambil memungut buku milik Alvira.
“Walau buru-buru mata tuh dipake,” teriak Alvira sambil menunjuk matanya.
“Kan gua juga udah minta maaf, ni buku lo,” ucapnya sambil menyerahkan buku milik Alvira dan berlalu pergi.
“Ih ngeselin banget sih tuh orang, main pergi aja," sambil menatap kepergian orang tersebut menjauh darinya.
“Udah dong, dia juga tadi udah minta maaf kan," ucap Vita sambil menarik lengan Alvira.
“Iya tapi tuh cowok ngeselin banget. Lo tau nggak siapa dia?” tanya Alvira yang masih penasaran dengan penabrak.
Vita mengangkat kedua bahunya sambil melangkah menuju ruang dosen, tangannya masih menarik lengan Alvira.
***
Daffin Mallory adalah pewaris tunggal kerjaaan bisnis milik sang papi Ahmad Mallory. Menjadi anak tunggal yang mengharuskan Daffin meneruskan bisnis keluarganya. Beruntung dirinya juga mempunyai otak yang sangat cerdas jadi tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mempelajari kerjaan bisnis papinya.
Menjadi seorang CEO yang mempunyai beberapa bisnis membuat Daffin belum memiliki kekasih hati. Hari-harinya disibukkan dengan kerja dan kerja. Seperti hari ini ia harus datang ke kampus untuk melakukan meeting. Kampus yang cukup terkenal di kotanya itu adalah milik keluarga Mallory.
Saat ia buru-buru dengan tidak sengaja ia menabrak seorang mahasiswa. Walau sudah meminta maaf namun dirinya masih saja mendapat perlakuan ketus. Tidak ingin terus berdebat membuat ia langsung melangkahkan kaki kembali ke pakiran.
Daffin akan melakukan pertemuan lagi dengan relasi bisnisnya untuk membicarakan kerja sama yang akan mereka lakukan. Di mobil sudah ada pak Budi sebagai sopir pribadinya dan Reiki sebagai assistennya. Setelah pertemuannya di kampus tadi Reiki langsung beranjak dan menuju mobil lebih dulu dari Daffin. Mobil yang Daffin tumpangi sudah melintasi jalan raya menuju restoran untuk pertemuannya itu. Daffin tampak serius dengan MacBook yang ada di pangkuannya. Sebelum bertemu relasinya tersebut Daffin mempelajari kerja sama yang akan dilakukannya.
Daffin begitu teliti dengan mengamati setiap tulisan yang di layar itu. Pak Budi membelokkan mobilnya saat tujuannya telah sampai.
Restoran yang dipilih mereka berada di mall ternama di Jakarta. Daffin melangkahkan kaki memasuki area resto dan menuju ruang VIP berada, Reiki berjalan di samping Daffin seperti assisten yang lain, Reiki siap siaga membantu Daffin.
BERSAMBUNG....
Setelah pertemuan itu selesai Daffin segera keluar dari restoran tersebut untuk kembali ke kantor. Namun, saat ia sudah sampai di pakira mall, tidak sengaja ia menabrak seseorang lagi. Orang yang sama seperti di kampus tadi. “Elo,” ucap Alvira penuh penekaan saat melihat orang yang berada tepat di depannya. “Lo lagi, lo lagi,” ucap Daffin tak kalah sinis dengan Alvira. Karena keduanya tadi sibuk dengan ponsel mereka masing-masing jadi mereka tidak melihat saat berjalan. Tidak ada kata maaf keluar dari mulut mereka, keduanya malah saling melemparkan tatapan sinis. Alvira ditarik oleh vita untuk segera masuk ke dalam mall. Mereka saat ini berada di mall karena dosen yang mau mereka datangi tidak hadir, jadi vita mengajak alvira untuk mencari buku dan alat penunjang lainnya untuk persiapan KOAS yang sebentar lagi mereka jalani. “Kenapa sih harus ketemu dia lagi,” gerutu Alvira sambil berjalan mengikuti vita. “Jodoh lo kali,” sahut vita as
Vita kini menepikan mobilnya tepat di depan rumah Alvira, rumah dengan nuansa putih bersih itu tampak sepi. Alvira keluar dari mobil Vita tidak lupa ia mengucapkan terima kasih. Setelah Alvira keluar vita kembali menacapkan gasnya meninggalkan pelataran rumah Alvira. Alvira berjalan masuk ke dalam rumah. “kenapa vitanya nggak disuruh masuk sayang?” tanya Alea “Sudah sore bu,” jawab Alvira lalu bergabung bersama ibu Alea di ruang tengah. “Sayang ibu mau bicara sama kamu,”ujar Alea menatap manik mata anaknya dengan intens. “Bicara aja kali bu, biasanya juga langsung ngomong,” jelas Alvira. Alea diam ia menarik nafasnya dan membuangnya secara kasar, melihat ibunya yang serius Alvira mengerutkan keningnya bingung. Ia pun menunggu ibunya untuk mulai berbicara. “Gini tadi kevin ke sini bersama keluarganya,” ucap Alea. Alea sengaja menjeda pembicaraannya ingin melihat reaksi anak sulungnya itu gimana pun ia tidak ingin membuat anaknya
Alvira mencuri pandang pada Kevin, seandainya Kevin tidak berselingkuh mungkin ini adalah kabar yang paling mengembirakan untuk dirinya. Ia juga ingin menolak secara langsung tidak bisa karena Kevin telah banyak membantunya, Kevin juga yang sudah membantu keuangannya saat ingin membeli rumah yang sekarang ia tempati bersama ibu dan juga adiknya. Saat itu Alvira ingin menyicilnya namun Kevin menolaknya. Sekarang ia hanya akan mencari alasan untuk memperlambat acara pernikahannya. Setelah ia berhasil mengumpulkan uang banyak ia akan membayarnya pada Kevin biar dirinya tidak berhutang budi. Mengingat uang, ia pun belum tau apa bisa mengumpulkan uang sebanyak itu. Soalnya kuliahnya saat ini pun memerlukan banyak biaya. "Apakah ayah masih mau memberikan aku uang?" batin Alvira yang mengingatkan kalau dirinya susah untuk bertemu sang ayah. “Silahkan duduk,” titah Kevin dengan suara lembutnya sambil menarik kursi yang ada di depan. Alvira hanya mengikuti saj
Reiki mengikuti langkah Daffin, Sampainya di basement pak Budi sudah siap di dalam mobilnya. Jika Daffin lembur dua orang inilah yang selalu menemaninya dan terpaksa ikutan untuk lembur juga. Jalanan kota Jakarta sudah tampak lenggang, jam sudah menunjukkan pukul 12:22. Hanya untuk menghasilkan produk yang terbaik Daffin rela untuk lembur hingga dini hari, jika tidak mengingat anak buahnya ia akan lembur hingga pagi menjelang. Pak Budi sopir pribadi Daffin mengantarkan Daffin lebih dulu ke apartementnya barulah ia mengantar Reiki dan terakhir barulah ia pulang ke rumah. Daffin memilih tinggal di apartement karena ia ingin sedikit bebas dan tidak terus di tanya oleh sang mami soal calon pendamping hidup. Apartment yang terletak di daerah semanggi memiliki fasilitas yang cukup memuaskan untuk penghuninya. Dengan menggunakan private lift Daffin sudah sampai di dalam apartemantnya. Ia meletakkan jas dan juga tasnya di sembarang tempat, ia menghempaskan bo
Arka akan bertanya pada seketaris ke mana uang yang selama ini disuruhnya mengirim ke anak-anaknya. “Maafkan ayah ya sayang,” ujar Arka lagi dengan perasaan yang sangat bersalah, sambil mengenggam tangan Alvira. Arka benar-benar merasa bersalah pada anak-anaknya, kali ini dirinya akan bersikap tegas. Sudah cukup ia mengalah pada Maya. Arka langsung mengambil dompetnya dan memberi salah satu kartu debitnya pada sang putri. “Simpan itu untuk keperluan kalian,” ucap Arka. “Tapi yah, ini terlalu banyak.” Protes Alvira yang tau kalau isi di dalamnya pastilah sangat banyak. “Itu untuk ibu mu, dan uang untuk biaya kuliahmu nanti akan ayah kirim lagi, sebenarnya tiap bulan ayah mengirimkan kalian uang melalui seketaris ayah. Tapi tampaknya uang tersebut tidak dikirim ke kalian, nanti ayah akan menanyakannya,” jelas Arka. "Untuk kartu itu, itu milik ibu mu yang waktu itu ayah ambil dan sekarang ayah ingin mengembalikannya. Maafkan ayah ya sudah
Sebulan sudah berlalu kini Alvira dan Vita sudah menyandang gelar S.ked. Namun mereka belum bisa menjadi seorang dokter sungguhan masih ada beberapa tahapan lagi yang harus mereka jalani. Salah satunya melakukan koas. Koas atau dokter muda adalah tahapan mereka menjalani kegiatan di rumah sakit dengan dokter pembimbing. Mereka akan menjalani koas selama 1,5 tahun atau bisa menjadi 2 tahun lamanya. Selama menjalani koas mereka akan mendampingi dokter senior untuk memeriksa pasien dalam segala macam penyakit. Mereka pun harus mau untuk berjaga malam. Karena itu merupakan sebagian dari tugas dokter. Alvira dan Vita mendapatkan rumah sakit yang sama. Rumah sakit tempat mereka melakukan koas adalah pilihan dari kampusnya. Alvira begitu bersyukur karena ia bisa mengikuti koas, seperti apa yang dicita-citakannya. Walaupun belum menjadi dokter sungguhan tapi ini adalah tahapan di mana ia bisa langsung berhadapan dengan seorang pasien. Menolong mereka dengan i
Tibalah sudah hari Sabtu di mana Kevin membawa Alvira menemaninya untuk menghadiri acara bisnisnya. Kevin memberhentikan mobilnya tepat di depan hotel di mana acara itu diadakan. Seperti pasangan kekasih pada umumnya Kevin membukakan pintu mobil untuk Alvira, lalu ia menyerahkan kunci mobilnya oleh petugas. Mereka berjalan menuju ballroom hotel sambil bergandengan tangan. Keduanya begitu tampak serasi. Mereka disambut hangat oleh usher. Usher merupakan orang-orang yang ditunjuk untuk menerima tamu. Mereka mengarahkan Kevin dan juga Alvira untuk duduk di kursi yang telah disediakan. “Wah, ada yang ditemani nih,” ujar rekan bisnis Kevin sambil melirik Alvira yang berada di samping Kevin. Kevin hanya tersenyum menanggapinya. Kevin pun terlibat percakapan serius, percakapan seputaran bisnis. Al
Karena yang dicarinya tidak ketemu Daffin kembali ke meja yang terdapat papi dan maminya di sana. “Liat tuh para sahabat kamu pada bawa gandengan, kamu kapan Daffin?” tanya mami penuh penekanan, sambil melirik orang-orang yang berada di sekitar mereka. “Sabar mi, nanti juga kalau sudah waktunya pasti Daffin kenalkan sama mami,” ucap Daffin. “Iya tapi waktunya itu kapan?” “Apa kamu sudah ada cuman nggak mau dikenalkan sama mami?” tanya Shela lagi. “Jodoh Daffin masih dijaga orang nih,” celetuk Daffin asal. “Apa?” tanya Shela yang menang tidak mendengar ucapan Daffin karena Daffin mengucapkannya sangat pelan. “Enggak mi, bukan apa-apa.” Selesai acara Daffin beserta papi dan maminya meninggalkan tempat acara. Dengan menggunakan mobil masing-masing mereka berpisah di basement hotel. Daffin masih ditemani oleh Reiki dan pak Budi. “Langsung ke apartemen aja ya pak!” titah Daffin. Pak Budi hanya mengangguk seba