Setelah pertemuan itu selesai Daffin segera keluar dari restoran tersebut untuk kembali ke kantor. Namun, saat ia sudah sampai di pakira mall, tidak sengaja ia menabrak seseorang lagi. Orang yang sama seperti di kampus tadi.
“Elo,” ucap Alvira penuh penekaan saat melihat orang yang berada tepat di depannya.
“Lo lagi, lo lagi,” ucap Daffin tak kalah sinis dengan Alvira.
Karena keduanya tadi sibuk dengan ponsel mereka masing-masing jadi mereka tidak melihat saat berjalan. Tidak ada kata maaf keluar dari mulut mereka, keduanya malah saling melemparkan tatapan sinis.
Alvira ditarik oleh vita untuk segera masuk ke dalam mall. Mereka saat ini berada di mall karena dosen yang mau mereka datangi tidak hadir, jadi vita mengajak alvira untuk mencari buku dan alat penunjang lainnya untuk persiapan KOAS yang sebentar lagi mereka jalani.
“Kenapa sih harus ketemu dia lagi,” gerutu Alvira sambil berjalan mengikuti vita.
“Jodoh lo kali,” sahut vita asal.
“Amit-amit dah, nikah sama om-om seperti itu. Yang ada malah tensi gua naik terus songong banget.”
“Itu bukan om-om Viirraaa,” jawab vita penuh tekanan tepat di wajah Alvira yang membuat langkah Alvira berhenti mendadak.
“Lo rabun atau gimana yah, cowok cakep gitu dibilang om-om. Gua aja kalau diajak nikah sama tuh orang nggak akan mikir dua kali deh langsung gua sanggupi aja tuh," lanjut Vita lagi, kemudian melangkah meninggalkan Alvira yang masih diam di tempatnya.
Alvira hanya memutarkan bola matanya jengah mendengar perkataan sahabatnya itu. Lalu berlari menyusul Vita yang sudah masuk ke dalam toko.
Toko yang lumayan besar itu menyediakan alat-alat yang akan mereka butuhkan. Sengaja mereka membelinya sekarang agar nantinya mereka sudah siap semua. Selesai membeli kebutuhannya keduanya singgah untuk membeli es cream kesukaan mereka masing-masing.
Alvira memyukai es cream dengan rasa coklat sedangkan vita vanila. Puas keduanya makan es cream kini Alvira dan vita kembali menyusuri jalan raya. Vita akan mengantarkan Alvira terlebih dulu.
***
Daffin terus mengerutu mulutnya tak henti mengumpat semenjak dirinya dan Alvira kembali bertemu dengan cara yang sama.
“Jadi cewek kok nggak ada lembut-lembutnya sih,” ucap Daffin yang sudah masuk mobil dan duduk di bangku belakang.
“Kalau sekali lagi gua ketemu dia bakal gua kasih pelajaran tuh cewek,"lanjut Daffin dengan rahang yang masih mengeras.
Reiki yang duduk di bagian depan menemani pak Budi hanya diam mendengar ocehan sang bosnya. Ia takut untuk bersuara saat Daffin dalam emosi yang memuncak seperti ini. Entah mengapa emosinya meledak, apa karena ketabrak dengan alvira atau ada hal lain yang membuat Daffin Mallory seperti ini. Reiki membatin sendiri melihat bosnya.
Kini Daffin dan Reiki sudah berada di kantor, perusahaan yang dipengang Daffin bukanlah Perusahaan utama milik keluarga Mallory melainkan perusahaan anak cabang namun tidak kalah besar dengan perusahaan utama yang masih di pimpin oleh papinya pak Ahmad.
Sebenarnya papinya mempunyai adik laki-laki penerus kedua keturunan Mallory, namun saat usianya menginjak enam belas tahun, adiknya meninggal karena penyakit jantung yang dideritanya semenjak lahir. Padahal kedua orang tua mereka sudah mengobatinya hingga keluar negri dan keadaan Daffan sudah dipastikan oleh dokter membaik tapi sayang dokter hanya bisa memberikan keterangan sesuai dengan yang diperiksanya. Tapi tuhan berkehendak lain ia kembali menghadap sang ilahi saat usianya sudah mengijak remaja. Karena cintanya kepada sang adik papi Ahmad pun memberikan nama anaknya yang hampir sama dengan nama adik satu-satunya yaitu Daffin Mallory.
Daffin yang mempunyai postur tubuh yang atletis dengan warna kulit putih bersih dan rahang sedikit tegas yang ditumbuhi bulu-bulu halus membuat seorang Daffin banyak diminati wanita, karena selain tampangnya yang rupawan ia merupakan satu-satu pewaris di keluarga Mallory, karena ia tidak mempunyai adik maupun kakak. Tapi semua wanita itu diacuhkan olehnya padahal yang mendekati dirinya adalah pembisnis-pembisnis dan juga selebrtis hingga ada relasi bisnisnya ingin menjodohkan putri mereka dengan Daffin namun ia menolaknya secara langsung padahal ia belum bertemu dengan orang yang akan dijodohkannya.
Saat ini Daffin hanya ingin fokus untuk mengembangkan bisnisnya. Ia ingin seprti papinya yang berhasil membangun berbagai macam bisnis dengan banyaknya anak cabang yang tersebar. Wanita menurutnya hanya membuat kepalanya sakit.
Papinya sangat mendukung niatnya yang ingin memajukan perusahaan yang sekarang dikelolahnya. Berbeda dengan sang mami, maminya begitu tidak setuju kalau putra semata wayangnya hanya memikirkan bisnis tanpa mau memikirkan calon pendamping hidup. Mengingat usia Daffin yang sudah pantas untuk berumah tangga. Usia yang sudah mengijak kepala tiga itu, membuat mami terus menanyakan kapan dirinya menikah?
Tapi jawaban Daffin tetap sama belum ada yang cocok dengannya, jika ada yang cocok ia akan mengenalkan langsung pada mami.
Sebenarnya tidak ada kriteria tersendiri untuk menjadi keluarga Mallory, keluarga Mallory tidak pernah memandang seseorang dari jabatan atau materinya. Asalkan saling menyayangi dan mengerti maka papi dan mami bersedia menikahkan Daffin. Tidak serta merta karena Daffin mempunyai kekuasaan. Seperti maminya yang terlahir dari keluarga biasa saja, tapi mampu mendampingi sang papi hingga saat ini.
Maminya Daffin yang bernama Shela dulunya hanya seorang dari keluarga sederhana ayahnya hanya bekerja sebagai PNS ibunya seorang ibu rumah tangga. Karena pertemuan yang tidak sengaja oleh papi Ahmad dan mami Shela hingga berakhir sampai saat ini.
Di kantor Daffin duduk di kursi putarnya matanya fokus pada tumpukan kertas yang ada di atas meja. Membaca setiap tulisan yang ada di atas lembaran putih tersebut dengan teliti, selesai membaca dirinya membubuhkan tanda tangannya pada tempat yang telah disediakan. Daffin melakukannya hingga tumpukan itu habis tidak tersisa.
Fokusnya terganggu oleh ketukkan pintu, tidak ingin yang mengentuk menuggu terlalu lama ia pun menyuruh untuk segera masuk.
“Maaf pak nggangu,” ucap Reiki sang assisten.
“Ya ada apa?” tanyanya.
“Gini pak produk baru yang akan kita keluarkan minggu depan, sudah dikeluarkan oleh perusahaan lawan pak,” lanjut Reiki dengan setengah gugup saat menyampaikan.
Seketika rahang Daffin mengeras mencoba mencerna dari setiap kata-kata Reiki.
“Kenapa bisa, apa ada yang membocorkannya?” tanya Daffin dengan tangan yang sudah melipat di dada.
“Itu masih saya selidiki pak,” jawab Reiki yang berdiri di depan Daffin.
“Cepat selidiki dan beritahu saya, siapa yang berani menghianati saya,” titah Daffin.
“Baik pak,”sahut Reiki sambil menundukkan sedikit badannya ia pun meninggalkan ruangan Daffin.
Sepeniggalan Reiki, Daffin menghembuskan nafasnya secara kasar, ia pun membuka website lawan dan terpampang jelas produk yang baru, yang sama dan akan dikeluarkan minggu depan. Tapi produk itu sudah diklaim oleh perusahaan sebelah dan sama persis dengan yang dibuat oleh perusahaannya.
Daffin yakin kalau ada orang dalam yang menghiati dirinya,tidak mungkin produk itu sama persis. Ia pun mencoba mencari apa yang terjadi dalam perusahaannya sehingga bisa bocor seperti ini dan kalah cepat.
Karena masalah ini ia pun segera mengumpulkan semua dewan direksi beserta para staff tertinggi di perusahaan itu. Untuk membahas masalah yang terjadi sambil dirinya menyelidik siapa dalang dari semua itu.
BERSAMBUNG.....
Vita kini menepikan mobilnya tepat di depan rumah Alvira, rumah dengan nuansa putih bersih itu tampak sepi. Alvira keluar dari mobil Vita tidak lupa ia mengucapkan terima kasih. Setelah Alvira keluar vita kembali menacapkan gasnya meninggalkan pelataran rumah Alvira. Alvira berjalan masuk ke dalam rumah. “kenapa vitanya nggak disuruh masuk sayang?” tanya Alea “Sudah sore bu,” jawab Alvira lalu bergabung bersama ibu Alea di ruang tengah. “Sayang ibu mau bicara sama kamu,”ujar Alea menatap manik mata anaknya dengan intens. “Bicara aja kali bu, biasanya juga langsung ngomong,” jelas Alvira. Alea diam ia menarik nafasnya dan membuangnya secara kasar, melihat ibunya yang serius Alvira mengerutkan keningnya bingung. Ia pun menunggu ibunya untuk mulai berbicara. “Gini tadi kevin ke sini bersama keluarganya,” ucap Alea. Alea sengaja menjeda pembicaraannya ingin melihat reaksi anak sulungnya itu gimana pun ia tidak ingin membuat anaknya
Alvira mencuri pandang pada Kevin, seandainya Kevin tidak berselingkuh mungkin ini adalah kabar yang paling mengembirakan untuk dirinya. Ia juga ingin menolak secara langsung tidak bisa karena Kevin telah banyak membantunya, Kevin juga yang sudah membantu keuangannya saat ingin membeli rumah yang sekarang ia tempati bersama ibu dan juga adiknya. Saat itu Alvira ingin menyicilnya namun Kevin menolaknya. Sekarang ia hanya akan mencari alasan untuk memperlambat acara pernikahannya. Setelah ia berhasil mengumpulkan uang banyak ia akan membayarnya pada Kevin biar dirinya tidak berhutang budi. Mengingat uang, ia pun belum tau apa bisa mengumpulkan uang sebanyak itu. Soalnya kuliahnya saat ini pun memerlukan banyak biaya. "Apakah ayah masih mau memberikan aku uang?" batin Alvira yang mengingatkan kalau dirinya susah untuk bertemu sang ayah. “Silahkan duduk,” titah Kevin dengan suara lembutnya sambil menarik kursi yang ada di depan. Alvira hanya mengikuti saj
Reiki mengikuti langkah Daffin, Sampainya di basement pak Budi sudah siap di dalam mobilnya. Jika Daffin lembur dua orang inilah yang selalu menemaninya dan terpaksa ikutan untuk lembur juga. Jalanan kota Jakarta sudah tampak lenggang, jam sudah menunjukkan pukul 12:22. Hanya untuk menghasilkan produk yang terbaik Daffin rela untuk lembur hingga dini hari, jika tidak mengingat anak buahnya ia akan lembur hingga pagi menjelang. Pak Budi sopir pribadi Daffin mengantarkan Daffin lebih dulu ke apartementnya barulah ia mengantar Reiki dan terakhir barulah ia pulang ke rumah. Daffin memilih tinggal di apartement karena ia ingin sedikit bebas dan tidak terus di tanya oleh sang mami soal calon pendamping hidup. Apartment yang terletak di daerah semanggi memiliki fasilitas yang cukup memuaskan untuk penghuninya. Dengan menggunakan private lift Daffin sudah sampai di dalam apartemantnya. Ia meletakkan jas dan juga tasnya di sembarang tempat, ia menghempaskan bo
Arka akan bertanya pada seketaris ke mana uang yang selama ini disuruhnya mengirim ke anak-anaknya. “Maafkan ayah ya sayang,” ujar Arka lagi dengan perasaan yang sangat bersalah, sambil mengenggam tangan Alvira. Arka benar-benar merasa bersalah pada anak-anaknya, kali ini dirinya akan bersikap tegas. Sudah cukup ia mengalah pada Maya. Arka langsung mengambil dompetnya dan memberi salah satu kartu debitnya pada sang putri. “Simpan itu untuk keperluan kalian,” ucap Arka. “Tapi yah, ini terlalu banyak.” Protes Alvira yang tau kalau isi di dalamnya pastilah sangat banyak. “Itu untuk ibu mu, dan uang untuk biaya kuliahmu nanti akan ayah kirim lagi, sebenarnya tiap bulan ayah mengirimkan kalian uang melalui seketaris ayah. Tapi tampaknya uang tersebut tidak dikirim ke kalian, nanti ayah akan menanyakannya,” jelas Arka. "Untuk kartu itu, itu milik ibu mu yang waktu itu ayah ambil dan sekarang ayah ingin mengembalikannya. Maafkan ayah ya sudah
Sebulan sudah berlalu kini Alvira dan Vita sudah menyandang gelar S.ked. Namun mereka belum bisa menjadi seorang dokter sungguhan masih ada beberapa tahapan lagi yang harus mereka jalani. Salah satunya melakukan koas. Koas atau dokter muda adalah tahapan mereka menjalani kegiatan di rumah sakit dengan dokter pembimbing. Mereka akan menjalani koas selama 1,5 tahun atau bisa menjadi 2 tahun lamanya. Selama menjalani koas mereka akan mendampingi dokter senior untuk memeriksa pasien dalam segala macam penyakit. Mereka pun harus mau untuk berjaga malam. Karena itu merupakan sebagian dari tugas dokter. Alvira dan Vita mendapatkan rumah sakit yang sama. Rumah sakit tempat mereka melakukan koas adalah pilihan dari kampusnya. Alvira begitu bersyukur karena ia bisa mengikuti koas, seperti apa yang dicita-citakannya. Walaupun belum menjadi dokter sungguhan tapi ini adalah tahapan di mana ia bisa langsung berhadapan dengan seorang pasien. Menolong mereka dengan i
Tibalah sudah hari Sabtu di mana Kevin membawa Alvira menemaninya untuk menghadiri acara bisnisnya. Kevin memberhentikan mobilnya tepat di depan hotel di mana acara itu diadakan. Seperti pasangan kekasih pada umumnya Kevin membukakan pintu mobil untuk Alvira, lalu ia menyerahkan kunci mobilnya oleh petugas. Mereka berjalan menuju ballroom hotel sambil bergandengan tangan. Keduanya begitu tampak serasi. Mereka disambut hangat oleh usher. Usher merupakan orang-orang yang ditunjuk untuk menerima tamu. Mereka mengarahkan Kevin dan juga Alvira untuk duduk di kursi yang telah disediakan. “Wah, ada yang ditemani nih,” ujar rekan bisnis Kevin sambil melirik Alvira yang berada di samping Kevin. Kevin hanya tersenyum menanggapinya. Kevin pun terlibat percakapan serius, percakapan seputaran bisnis. Al
Karena yang dicarinya tidak ketemu Daffin kembali ke meja yang terdapat papi dan maminya di sana. “Liat tuh para sahabat kamu pada bawa gandengan, kamu kapan Daffin?” tanya mami penuh penekanan, sambil melirik orang-orang yang berada di sekitar mereka. “Sabar mi, nanti juga kalau sudah waktunya pasti Daffin kenalkan sama mami,” ucap Daffin. “Iya tapi waktunya itu kapan?” “Apa kamu sudah ada cuman nggak mau dikenalkan sama mami?” tanya Shela lagi. “Jodoh Daffin masih dijaga orang nih,” celetuk Daffin asal. “Apa?” tanya Shela yang menang tidak mendengar ucapan Daffin karena Daffin mengucapkannya sangat pelan. “Enggak mi, bukan apa-apa.” Selesai acara Daffin beserta papi dan maminya meninggalkan tempat acara. Dengan menggunakan mobil masing-masing mereka berpisah di basement hotel. Daffin masih ditemani oleh Reiki dan pak Budi. “Langsung ke apartemen aja ya pak!” titah Daffin. Pak Budi hanya mengangguk seba
Papi Ahmad membuka pintu ruang Shela, ia langsung berjalan mendekat mami. Duduk di sisi mami Shela sambil membelai rambut Shela dengan lembut. “kenapa kamu nggak bilang sakit parah seperti ini?” Lirih Ahmad, ia sudah tidak kuasa menahan air matanya agar tidak jatuh. Air mata itu menetes perlahan, Daffin yang mengetahuinya langsung mendekat ke arah sang papi mencoba untuk menenangkan. Kini mereka saling berpelukan mencoba untuk menguatkan diri. “Apa kita bawa mami ke Singapura aja ya?” tanya Ahmad pada putra satu-satunya itu. “Kalau itu yang terbaik kenapa tidak, tapi sepertinya kita harus menunggu mami benar-benar stabil dulu, baru kita bisa membawa mami,” jawab Daffin. Ahmad menyetujui ucapan Daffin. Mereka pun kembali diam sambil menatap wajah Shela yang pucat. Pikiran Ahmad kini kembali pada adik satu-satunya yang telah lama dipanggil yang maha kuasa. Sama seperti sekarang, waktu itu Ahmad juga lah yang menemani adiknya di rumah sakit sampai