Share

1. Hari Kedua di Jakarta

Oh My God, kamar gue!”

“Gila! Ini kamar udah kayak medan perang aja. Bisa kena omel Pak Budi nih, gue. Dasar, Alena bego!” gerutu Alena seraya mengambil beberapa potong pakaian yang tersebar di atas ranjang lalu memasukkannya ke keranjang baju kotor.

Alena menatap miris kondisi kamarnya yang sudah seperti kapal pecah. Satu dari dua koper di samping pintu kamar terbuka dan isinya mencuat keluar, tiga buah kardus berukuran sedang di samping koper, jaket warna maroon tersampir asal di meja belajar, dan juga seprei yang salah satu sisinya berada di lantai.

Kemarin Alena tidak sempat membereskannya. Ralatㅡbukannya tidak sempat, tapi karena ia kelelahan. Bahkan untuk sekadar duduk saja, ia benar-benar tidak kuat saking lelahnya. Pasalnya penerbangan yang seharusnya memakan waktu sekitar dua jam, harus molor karena delay. Ditambah lagi ia memang tidak suka perjalanan jauh. Mabuk, katanya.

Dua jam sudah Alena berkutat dengan kamarnya. Kini semua barang-barang sudah berada di tempatnya masing-masing. Seprei yang semula berwarna krem, diganti seprei dengan motif bunga. Tak lupa ia menempelkan jam dinding berbentuk bulat warna biru dengan bergambar Pororo di atas meja belajar.

Selesai mandi, Alena menuju ruang tengah. Seorang pria dengan rambut yang mulai botak tampak sedang fokus dengan tayangan berita di televisi.

“Pagi, Pa,” sapanya riang.

Budi, papanya, menoleh dan menggeleng pelan. “Ini sudah jam sepuluh, Len. Nyenyak banget, ya, tidurnya?”

“Banget, capek soalnya,” jawab Alena seraya mendaratkan bokongnya di sofa. Tangannya menyodorkan piring berisi roti bakar. “Papa mau?”

“Tidak, buat kamu aja.”

Alena mengangguk dan melahap roti bakar dengan selai cokelat favoritnya. Dari dulu ia memang selalu sarapan roti bakar dengan selai cokelat. Katanya kalau sarapan nasi, perutnya suka mulas.

“Oh, iya hampir aja lupa. Papa ada sesuatu buat kamu. Bentar, Papa ambil dulu,” ucap Budi lalu bangkit. Tak lama kemudian Budi kembali dengan sebuah map merah dan sebuah paperbag cokelat di tangannya lalu menyerahkannya pada Alena.

“Ini apa, Pa-Papa daftarin aku ke SMA Angkasa?!” pekiknya saat mendapati map tersebut berisi berkas pendaftaran dan surat pernyataan bahwa ia diterima di sekolah tersebut.

“Iya, Papa daftarin kamu ke sana. Searah juga sama kantor Papa. Apalagi teman SMP kamu dulu juga ada yang sekolah di sana, loh. Papa lupa namanya, tapi wajahnya kayak nggak asing gitu. Kayak pernah liat di mana, ya?” Budi mencoba mengingat-ingat. Namun, tetap saja sulit. Semakin tua daya ingat seseorang akan semakin menurun.

Gerakan tangan Alena yang sedang membuka paperbag pun berhenti. Ia menatap Budi dengan alis terangkat. “Temen? Siapa, Pa?” tanyanya penasaran, mengingat ia jarang membawa teman-temannya ke rumah.

Jangan-jangan...

“Aduh, Papa beneran lupa, Nak, siapa namanya. Tapi kalau nggak salah, dia teman kamu yang waktu itu ikut ke bandara dulu.”

Bandara?

Ingatan Alena terlempar ke beberapa tahun sebelumnya. Cuma ada satu temannya yang ikut mengantarnya ke bandara.

“Riga maksud Papa?” tanya Alena antusias.

“Papa lupa namanya. Pokoknya dia yang waktu itu ada di bandara, terus Papa malah jadi obat nyamuk kalian pas di ruang tunggu,” jelas Budi dengan raut muka sedikit murung.

Benar, tidak salah lagi. Itu Riga.

Tunggu! kalau dia Riga, berarti ...

“Papa ketemu Riga di mana?!” Terlalu keras hingga membuat Budi terkejut dan kopi yang diminum tumpah ke meja. Alena tersenyum kikuk sambil menyatukan kedua telapak tangannya di dada. “Maaf,” lirihnya.

Budi menggeleng kecil sambil meletakkan kembali gelas kopi yang isinya sudah kosong. “Kemarin Papa ketemu dia di minimarket depan. Dia sama temannya, pacarnya mungkin. Pas temannya pergi, Papa coba samperin. Eh, dia ingat sama Papa. Dia juga nanyain kabar kamu.”

Alena mengangguk paham mendengar penjelasan Budi. Bibirnya membentuk lengkungan tipis, sangat tipis bahkan papanya tidak tahu. Satu titik terang pun muncul di otaknya. Mungkin dengan menemui Riga, ia bisa bertemu Dia.

“Papa tenang kalau kamu sekolah di sana. Selain itu sekolah impian Luna, di sana kamu sudah punya teman yang kamu kenal. Jadi, Papa juga bisa sekalian nitipin kamu ke Riga biar bantu awasin kamu.”

“Nggak, Lena nggak mau! Dikira Lena barang, pakai dititipin segala. Riga juga bukan bodyguard yang harus ngawasin Lena. Pa, Lena tuh udah gede, nggak perlu diawasin begitu. Jangan perlakuin Lena kayak anak kecil, dong!” protesnya. Dari dulu Alena tidak suka sikap papanya yang seperti ini, terlalu protective.

“Alena, ini semua demi kebaikan kamu. Kamu itu kalau nggak ada yang ngawasin selalu seenaknya, Papa nggak suka.”

“Pa...”

“Papa nggak mau denger alasan apapun, Alena. Maaf, Papa akan tetap minta Riga buat awasin kamu.”

Alena mengembuskan napas pasrah. Percuma, papanya tidak bisa dibantah.

“Maafin Papa. Dan satu lagi yang harus kamu tahu, kamu itu tetap putri kecil Papa,” ucap Budi sambil mengusap lembut rambut putrinya, menyalurkan kasih sayang dari orang tua.

“Pa, Lena kangen Mama,” ucap Alena setelah beberapa menit hanya diisi suara host acara makan di televisi. Cewek itu menatap Budi meminta persetujuan.

“Ya udah, kamu siap-siap. Sepuluh menit lagi kita berangkat.”

Alena mengangguk cepat dan langsung berlari ke kamarnya. Lima menit kemudian, ia sudah duduk di teras rumah menunggu papanya. Tak berselang lama, pria yang ditunggunya pun keluar.

Empat puluh lima menit perjalanan, mobil yang dikendarai Budi berhenti di area parkir sebuah pemakaman umum. Ini merupakan salah satu dari daftar agenda yang disusun Alena sebelum hari keberangkatannya ke Jakarta. Gadis yang memakai dress hitam lima senti di bawah lutut itu masuk lebih dulu ke area makam. Tujuannya adalah makam yang berada tepat di bawah pohon Kamboja.

Alena berjongkok di samping sebuah makam. Perlahan tangannya mengusap lembut nisan bertuliskan nama Widya binti Hartanto.

“Assalamualaikum, Ma. Mama apa kabar di sana? Baik-baik aja, kan? Alena sama Papa juga baik-baik aja. Maaf, dua tahun terakhir kita nggak bisa jengukin Mama. Lena kangen banget sama Mama,” ucap Alena masih sambil mengusap nisan almarhumah mamanya. Cairan bening yang sedari ditahan kini luruh membasahi kedua pipinya. Dadanya sesak setiap kali ke tempat ini.

“Ma, Luna jagain Mama, kan, di sana? Luna nggak bikin Mama kesel, kan?”

Lagi-lagi air mata Alena jatuh. Ia merasakan punggungnya ditepuk-tepuk pelan oleh papanya. Setelah tangisnya sedikit reda, Alena berbalik, membiarkan papanya melepas rindu. Ia menatap satu makam lagi yang tepat di samping makam mamanya. Aluna Prameswari.

“Halo, Kak Luna. Apa kabar? Maaf, ya, Lena sama Papa baru bisa jenguk sekarang. Soalnya, Kemarin baru aja pulang. Kak, Lena kangen banget sama kakak.” Alena menyeka air matanya. Tubuhnya bergetar diiringi isakan.

“Oh iya, Kak, Papa daftarin aku ke SMA Angkasa, loh. Aku seneng banget. Itu, kan, sekolah impian kakak dulu. Doain, ya, semoga aku bisa cepat beradaptasi di sekolah itu, Kak.

“Kak, udah siang, Lena sama Papa pulang dulu, ya? Besok Lena juga udah masuk sekolah. Tapi Lena janji bakalan sempatin waktu buat jengukin Mama dan Kak Luna. Nitip Mama, ya, Kak. Jagain Mama, jangan dibikin kesel terus. Bye, Kak Luna,” pamit Alena seraya mengusap nisan sang kakak dan mamanya.

“Ma, Lena sama Papa pulang dulu, ya? Lena janji bakalan sering ke sini. Assalamualaikum Mama, Kak Luna.”

Alena memandang sekali lagi kedua makam tersebut lalu beranjak pergi. Akhirnya rasa rindu pada dua perempuan yang disayanginya sedikit terobati. Pasalnya selama beberapa tahun terakhir, ia hanya bisa mengirimkan doa-doa tanpa bisa berkunjung ke makam mereka.

Mau makan dulu atau langsung pulang?" tanya Budi sesaat setelah mobil meninggalkan area parkir pemakaman.

“Langsung pulang aja, Pa. Lena mau istirahat dulu, sama sekalian Lena izin pergi, ya?”

“Mau ke mana kamu, Len?”

“Jalan-jalan doang, Pa. Udah lama nggak metime soalnya. Boleh, kan?”

“Ya sudah, Papa izinin. Asal pulangnya jangan kemalaman.”

“Siap!”

**

Di sinilah Alena sekarang, berada di antara deretan rak penuh buku yang memanjakan mata. Berpindah dari satu rak ke rak lain, jari tangannya menelusuri setiap judul sembari mengabsen ratusan judulnya. Sesekali ia mendengkus kesal jika tak menemukan buku yang sesuai.

Dulu waktu SMP, Alena sering menghabiskan akhir pekannya dengan pergi ke toko buku. Mengabsen jajaran buku atau novel yang ada di rak 'New Books' dan 'Best Seller'. Ditambah lagi, seseorang selalu menemaninya. Meski lama, tapi orang itu tidak pernah mengeluh dan tetap menemaninya. Istilahnya kencan di toko buku. Ah, mengingatnya saja membuat senyumnya mengembang.

Pandangan Alena jatuh pada sebuah novel dengan sampul bergambar langit malam. Summer Triangle karya Hara Hope. Segera ia meraihnya, tapi ternyata ada tangan lain yang juga menyentuh novel tersebut. Buru-buru ia menarik tangannya kembali tangannya, begitu juga orang tersebut.

Alena menoleh dan mendapati seorang gadis seusianya tersenyum kikuk. Tubuhnya ideal hanya mungkin lebih gemuk gadis itu daripada dirinya. Pipi tembam gadis itu sangat berbeda dengan pipinya yang tirus. Rambutnya hitam sepunggung. Namun, wajahnya terkesan judes.

Oke, skip. Ia malas berurusan dengan orang berwajah seperti itu.

“Maaf, mau ambil ini juga, silakan. Aku bisa cari yang lain,” ucap Alena.

“Enggak, ambil aja. Aku bisa cari novel lain,” jawab gadis itu dan kembali fokus pada jajaran novel di hadapannya.

“Eh, ini ada satu lagi ternyata. Kalau gitu, ini buat kamu, aku bisa ambil yang ini. Atau kamu mau tukeran?” ujar Alena sambil menyodorkan novel tersebut. Tangan kirinya mengambil novel yang sama dari rak.

“Isinya sama aja. Gue ambil yang ini,” jawab gadis itu sambil mengambil novel yang Alena sodorkan.

“Okay. Lo suka novel, ya? Eh, pakai ‘gue-lo’ nggak apa-apa, kan?” tanyanya ragu. Sebenarnya ia tidak mau sok akrab, tapi melihat sepertinya gadis itu juga suka novel, jadi ia penasaran.

Ternyata tidak buruk. Sikap gadis di depannya ini ternyata jauh berbeda dari wajahnya.

“Nggak apa-apa lah. Iya, gue suka novel. Lo juga?”

Alena mengangguk antusias. “Iya, gue juga. Dan ini salah satu yang gue incar, tapi baru nemu sekarang.”

“Lah, sama dong! Gue nyari ini buku dari lama, tapi baru nemu sekarang. Suka aja gitu sama yang berbau bintang.”

“Lo As—apa sih itu yang suka bintang sama luar angkasa?”

“Astrophile.”

“Nah, iya, Astrophile!”

“Lo Astrophile juga?”

Alena menggeleng cepat. “Bukan. Gue cuma penggila novel aja, bukan penggila unsur luar angkasa gitu. Tapi temen gue ada yang sama kayak lo. Maniak banget sama luar angkasa gitu.”

“Oh, ya? Seru, dong. Jarang banget loh, nemu orang yang suka luar angkasa gitu. Susah malah.”

“Seru apanya, yang paham dia—”

“Nada!”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status