“Oh My God, kamar gue!”
“Gila! Ini kamar udah kayak medan perang aja. Bisa kena omel Pak Budi nih, gue. Dasar, Alena bego!” gerutu Alena seraya mengambil beberapa potong pakaian yang tersebar di atas ranjang lalu memasukkannya ke keranjang baju kotor.
Alena menatap miris kondisi kamarnya yang sudah seperti kapal pecah. Satu dari dua koper di samping pintu kamar terbuka dan isinya mencuat keluar, tiga buah kardus berukuran sedang di samping koper, jaket warna maroon tersampir asal di meja belajar, dan juga seprei yang salah satu sisinya berada di lantai.
Kemarin Alena tidak sempat membereskannya. Ralatㅡbukannya tidak sempat, tapi karena ia kelelahan. Bahkan untuk sekadar duduk saja, ia benar-benar tidak kuat saking lelahnya. Pasalnya penerbangan yang seharusnya memakan waktu sekitar dua jam, harus molor karena delay. Ditambah lagi ia memang tidak suka perjalanan jauh. Mabuk, katanya.
Dua jam sudah Alena berkutat dengan kamarnya. Kini semua barang-barang sudah berada di tempatnya masing-masing. Seprei yang semula berwarna krem, diganti seprei dengan motif bunga. Tak lupa ia menempelkan jam dinding berbentuk bulat warna biru dengan bergambar Pororo di atas meja belajar.
Selesai mandi, Alena menuju ruang tengah. Seorang pria dengan rambut yang mulai botak tampak sedang fokus dengan tayangan berita di televisi.
“Pagi, Pa,” sapanya riang.
Budi, papanya, menoleh dan menggeleng pelan. “Ini sudah jam sepuluh, Len. Nyenyak banget, ya, tidurnya?”
“Banget, capek soalnya,” jawab Alena seraya mendaratkan bokongnya di sofa. Tangannya menyodorkan piring berisi roti bakar. “Papa mau?”
“Tidak, buat kamu aja.”
Alena mengangguk dan melahap roti bakar dengan selai cokelat favoritnya. Dari dulu ia memang selalu sarapan roti bakar dengan selai cokelat. Katanya kalau sarapan nasi, perutnya suka mulas.
“Oh, iya hampir aja lupa. Papa ada sesuatu buat kamu. Bentar, Papa ambil dulu,” ucap Budi lalu bangkit. Tak lama kemudian Budi kembali dengan sebuah map merah dan sebuah paperbag cokelat di tangannya lalu menyerahkannya pada Alena.
“Ini apa, Pa-Papa daftarin aku ke SMA Angkasa?!” pekiknya saat mendapati map tersebut berisi berkas pendaftaran dan surat pernyataan bahwa ia diterima di sekolah tersebut.
“Iya, Papa daftarin kamu ke sana. Searah juga sama kantor Papa. Apalagi teman SMP kamu dulu juga ada yang sekolah di sana, loh. Papa lupa namanya, tapi wajahnya kayak nggak asing gitu. Kayak pernah liat di mana, ya?” Budi mencoba mengingat-ingat. Namun, tetap saja sulit. Semakin tua daya ingat seseorang akan semakin menurun.
Gerakan tangan Alena yang sedang membuka paperbag pun berhenti. Ia menatap Budi dengan alis terangkat. “Temen? Siapa, Pa?” tanyanya penasaran, mengingat ia jarang membawa teman-temannya ke rumah.
Jangan-jangan...
“Aduh, Papa beneran lupa, Nak, siapa namanya. Tapi kalau nggak salah, dia teman kamu yang waktu itu ikut ke bandara dulu.”
Bandara?
Ingatan Alena terlempar ke beberapa tahun sebelumnya. Cuma ada satu temannya yang ikut mengantarnya ke bandara.
“Riga maksud Papa?” tanya Alena antusias.
“Papa lupa namanya. Pokoknya dia yang waktu itu ada di bandara, terus Papa malah jadi obat nyamuk kalian pas di ruang tunggu,” jelas Budi dengan raut muka sedikit murung.
Benar, tidak salah lagi. Itu Riga.
Tunggu! kalau dia Riga, berarti ...
“Papa ketemu Riga di mana?!” Terlalu keras hingga membuat Budi terkejut dan kopi yang diminum tumpah ke meja. Alena tersenyum kikuk sambil menyatukan kedua telapak tangannya di dada. “Maaf,” lirihnya.
Budi menggeleng kecil sambil meletakkan kembali gelas kopi yang isinya sudah kosong. “Kemarin Papa ketemu dia di minimarket depan. Dia sama temannya, pacarnya mungkin. Pas temannya pergi, Papa coba samperin. Eh, dia ingat sama Papa. Dia juga nanyain kabar kamu.”
Alena mengangguk paham mendengar penjelasan Budi. Bibirnya membentuk lengkungan tipis, sangat tipis bahkan papanya tidak tahu. Satu titik terang pun muncul di otaknya. Mungkin dengan menemui Riga, ia bisa bertemu Dia.
“Papa tenang kalau kamu sekolah di sana. Selain itu sekolah impian Luna, di sana kamu sudah punya teman yang kamu kenal. Jadi, Papa juga bisa sekalian nitipin kamu ke Riga biar bantu awasin kamu.”
“Nggak, Lena nggak mau! Dikira Lena barang, pakai dititipin segala. Riga juga bukan bodyguard yang harus ngawasin Lena. Pa, Lena tuh udah gede, nggak perlu diawasin begitu. Jangan perlakuin Lena kayak anak kecil, dong!” protesnya. Dari dulu Alena tidak suka sikap papanya yang seperti ini, terlalu protective.
“Alena, ini semua demi kebaikan kamu. Kamu itu kalau nggak ada yang ngawasin selalu seenaknya, Papa nggak suka.”
“Pa...”
“Papa nggak mau denger alasan apapun, Alena. Maaf, Papa akan tetap minta Riga buat awasin kamu.”
Alena mengembuskan napas pasrah. Percuma, papanya tidak bisa dibantah.
“Maafin Papa. Dan satu lagi yang harus kamu tahu, kamu itu tetap putri kecil Papa,” ucap Budi sambil mengusap lembut rambut putrinya, menyalurkan kasih sayang dari orang tua.
“Pa, Lena kangen Mama,” ucap Alena setelah beberapa menit hanya diisi suara host acara makan di televisi. Cewek itu menatap Budi meminta persetujuan.
“Ya udah, kamu siap-siap. Sepuluh menit lagi kita berangkat.”
Alena mengangguk cepat dan langsung berlari ke kamarnya. Lima menit kemudian, ia sudah duduk di teras rumah menunggu papanya. Tak berselang lama, pria yang ditunggunya pun keluar.
Empat puluh lima menit perjalanan, mobil yang dikendarai Budi berhenti di area parkir sebuah pemakaman umum. Ini merupakan salah satu dari daftar agenda yang disusun Alena sebelum hari keberangkatannya ke Jakarta. Gadis yang memakai dress hitam lima senti di bawah lutut itu masuk lebih dulu ke area makam. Tujuannya adalah makam yang berada tepat di bawah pohon Kamboja.
Alena berjongkok di samping sebuah makam. Perlahan tangannya mengusap lembut nisan bertuliskan nama Widya binti Hartanto.
“Assalamualaikum, Ma. Mama apa kabar di sana? Baik-baik aja, kan? Alena sama Papa juga baik-baik aja. Maaf, dua tahun terakhir kita nggak bisa jengukin Mama. Lena kangen banget sama Mama,” ucap Alena masih sambil mengusap nisan almarhumah mamanya. Cairan bening yang sedari ditahan kini luruh membasahi kedua pipinya. Dadanya sesak setiap kali ke tempat ini.
“Ma, Luna jagain Mama, kan, di sana? Luna nggak bikin Mama kesel, kan?”
Lagi-lagi air mata Alena jatuh. Ia merasakan punggungnya ditepuk-tepuk pelan oleh papanya. Setelah tangisnya sedikit reda, Alena berbalik, membiarkan papanya melepas rindu. Ia menatap satu makam lagi yang tepat di samping makam mamanya. Aluna Prameswari.
“Halo, Kak Luna. Apa kabar? Maaf, ya, Lena sama Papa baru bisa jenguk sekarang. Soalnya, Kemarin baru aja pulang. Kak, Lena kangen banget sama kakak.” Alena menyeka air matanya. Tubuhnya bergetar diiringi isakan.
“Oh iya, Kak, Papa daftarin aku ke SMA Angkasa, loh. Aku seneng banget. Itu, kan, sekolah impian kakak dulu. Doain, ya, semoga aku bisa cepat beradaptasi di sekolah itu, Kak.
“Kak, udah siang, Lena sama Papa pulang dulu, ya? Besok Lena juga udah masuk sekolah. Tapi Lena janji bakalan sempatin waktu buat jengukin Mama dan Kak Luna. Nitip Mama, ya, Kak. Jagain Mama, jangan dibikin kesel terus. Bye, Kak Luna,” pamit Alena seraya mengusap nisan sang kakak dan mamanya.
“Ma, Lena sama Papa pulang dulu, ya? Lena janji bakalan sering ke sini. Assalamualaikum Mama, Kak Luna.”
Alena memandang sekali lagi kedua makam tersebut lalu beranjak pergi. Akhirnya rasa rindu pada dua perempuan yang disayanginya sedikit terobati. Pasalnya selama beberapa tahun terakhir, ia hanya bisa mengirimkan doa-doa tanpa bisa berkunjung ke makam mereka.
Mau makan dulu atau langsung pulang?" tanya Budi sesaat setelah mobil meninggalkan area parkir pemakaman.
“Langsung pulang aja, Pa. Lena mau istirahat dulu, sama sekalian Lena izin pergi, ya?”
“Mau ke mana kamu, Len?”
“Jalan-jalan doang, Pa. Udah lama nggak metime soalnya. Boleh, kan?”
“Ya sudah, Papa izinin. Asal pulangnya jangan kemalaman.”
“Siap!”
**
Di sinilah Alena sekarang, berada di antara deretan rak penuh buku yang memanjakan mata. Berpindah dari satu rak ke rak lain, jari tangannya menelusuri setiap judul sembari mengabsen ratusan judulnya. Sesekali ia mendengkus kesal jika tak menemukan buku yang sesuai.
Dulu waktu SMP, Alena sering menghabiskan akhir pekannya dengan pergi ke toko buku. Mengabsen jajaran buku atau novel yang ada di rak 'New Books' dan 'Best Seller'. Ditambah lagi, seseorang selalu menemaninya. Meski lama, tapi orang itu tidak pernah mengeluh dan tetap menemaninya. Istilahnya kencan di toko buku. Ah, mengingatnya saja membuat senyumnya mengembang.
Pandangan Alena jatuh pada sebuah novel dengan sampul bergambar langit malam. Summer Triangle karya Hara Hope. Segera ia meraihnya, tapi ternyata ada tangan lain yang juga menyentuh novel tersebut. Buru-buru ia menarik tangannya kembali tangannya, begitu juga orang tersebut.
Alena menoleh dan mendapati seorang gadis seusianya tersenyum kikuk. Tubuhnya ideal hanya mungkin lebih gemuk gadis itu daripada dirinya. Pipi tembam gadis itu sangat berbeda dengan pipinya yang tirus. Rambutnya hitam sepunggung. Namun, wajahnya terkesan judes.
Oke, skip. Ia malas berurusan dengan orang berwajah seperti itu.
“Maaf, mau ambil ini juga, silakan. Aku bisa cari yang lain,” ucap Alena.
“Enggak, ambil aja. Aku bisa cari novel lain,” jawab gadis itu dan kembali fokus pada jajaran novel di hadapannya.
“Eh, ini ada satu lagi ternyata. Kalau gitu, ini buat kamu, aku bisa ambil yang ini. Atau kamu mau tukeran?” ujar Alena sambil menyodorkan novel tersebut. Tangan kirinya mengambil novel yang sama dari rak.
“Isinya sama aja. Gue ambil yang ini,” jawab gadis itu sambil mengambil novel yang Alena sodorkan.
“Okay. Lo suka novel, ya? Eh, pakai ‘gue-lo’ nggak apa-apa, kan?” tanyanya ragu. Sebenarnya ia tidak mau sok akrab, tapi melihat sepertinya gadis itu juga suka novel, jadi ia penasaran.
Ternyata tidak buruk. Sikap gadis di depannya ini ternyata jauh berbeda dari wajahnya.
“Nggak apa-apa lah. Iya, gue suka novel. Lo juga?”
Alena mengangguk antusias. “Iya, gue juga. Dan ini salah satu yang gue incar, tapi baru nemu sekarang.”
“Lah, sama dong! Gue nyari ini buku dari lama, tapi baru nemu sekarang. Suka aja gitu sama yang berbau bintang.”
“Lo As—apa sih itu yang suka bintang sama luar angkasa?”
“Astrophile.”
“Nah, iya, Astrophile!”
“Lo Astrophile juga?”
Alena menggeleng cepat. “Bukan. Gue cuma penggila novel aja, bukan penggila unsur luar angkasa gitu. Tapi temen gue ada yang sama kayak lo. Maniak banget sama luar angkasa gitu.”
“Oh, ya? Seru, dong. Jarang banget loh, nemu orang yang suka luar angkasa gitu. Susah malah.”
“Seru apanya, yang paham dia—”
“Nada!”
***
Seruan itu menghentikan obrolan keduanya. Keduanya menoleh cepat. Alangkah terkejutnya Alena saat mendapati siapa pemilik suara barusan. Tubuhnya mendadak kaku saat matanya bertubrukan dengan iris cokelat milik orang itu. Orang yang kini berdiri beberapa meter di depannya, tepat di belakang gadis bernama Nada tersebut. “Gamma?” ucapnya memastikan penglihatannya. Tubuh tinggi dan tegap, wajah tampan meski dengan kulit sawo matang seketika membius Alena. “Gamma, ini beneran kamu? Astaga, nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini. Kamu apa kabar? Gimana kabar Mama Farah?” tanyanya beruntun. Tak lupa seulas senyum terukir di bibir Alena. Senang rasanya, ia bisa bertemu Gamma di tempat ini, tempat yang dulu sering mereka gunakan untuk kencan. Raut terkejut laki-laki itu berubah datar. Gamma terdiam sejenak. “Oh, gue baik-baik aja. Kabar Mama juga baik. Lo sendiri gimana? Kapan pulang?” Hati Alena mencelos mendengar Gamma menggunakan ‘gue-lo’, padahal dulu lak
Ini bukan kali pertama Alena pindah sekolah, lebih tepatnya ini yang keempat kalinya. Kelas 2 SD pindah ke Bandung hingga kenaikan kelas 6 ia pindah ke Jakarta. Pertengahan kelas 8 SMP, ia pindah ke Balikpapan dan sekarang ia pindah lagi ke Jakarta. Sebenarnya Alena tidak suka dengan keadaan seperti ini. Namun, pekerjaan Budi yang hanya karyawan di sebuah perusahaan swasta, membuat Alena mau tak mau harus mengikuti ke mana pun papanya dipindahtugaskan. Alena belajar menerima, toh, papa bekerja untuk dirinya. Namun, sejak mama dan kakaknya meninggal, papa jadi lebih protektif padanya. Mengiriminya pesan hingga menelepon berkali-kali jika ia terlambat pulang. Lebih parah lagi, papa sering minta tolong pada temannya yang dikenalnya untuk membantu mengawasi. Seperti Riga kemarin, contohnya. Papa meminta tolong laki-laki itu untuk mengawasinya. Pada akhirnya ia hanya bisa pasrah karena jawaban Riga. “Om Budi nitipin lo ke gue,” ucap Riga saat di perjalanan pulang
Sekotak donat sudah berpindah dari tangan penjaga toko roti ke tangan Alena. Sekarang, ia ingin segera pulang. Membaca buku sambil ditemani sekotak donat pasti menyenangkan, begitu rencananya. Namun, baru saja tangannya mendorong keluar pintu, pandangannya langsung tertuju pada sebuah butik yang terletak tepat di seberang toko roti, tempatnya berada sekarang. Ralat, lebih tepatnya pada sosok laki-laki berjaket abu-abu yang sedang memarkir motornya di pelataran parkir butik tersebut. Ponsel yang rencana digunakan untuk memesan ojek online pun segera ia masukkan ke dalam tas dan tanpa membuang waktu lagi, Alena berlari menuju butik tersebut. Masa bodoh dengan donatnya yang terombang-ambing karena dibawanya berlari. Toh, sekalipun nanti topping-nya tercampur, donatnya masih enak dimakan. “Gam! Gamma!” Dua kali, panggilannya tidak mendapat respons. Laki-laki yang dipanggilnya itu malah melangkah menuju pintu butik setelah menyapa
“Gila, panas banget! Kipas anginnya kenapa pakai mati segala, sih? Bisa gosong dong gue,” keluh Manda seraya mengipaskan kedua telapak tangannya ke wajah. Cuaca hari ini begitu panas, bahkan terasa lebih panas dari biasanya, padahal waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Hal ini membuat Alena bersama dua teman barunya—Nada dan Manda— langsung ke kantin tepat sesaat setelah bel istirahat berbunyi. Sebenarnya Alena masih canggung bersosialisasi dengan teman-teman sekelasnya. Namun, Nada—pacar Gamma— terus membujuknya supaya mau ke kantin. Katanya biar mereka bisa lebih akrab sekalian mengobrol, ditambah lagi Via, teman sebangkunya tidak masuk, jadi mau tak mau Alena pun menyetujuinya. Alena pikir ia akan cukup sulit berteman dengan mereka, mengingat Nada adalah pacar dari orang yang disukainya. Namun, ternyata ia salah. Berteman dengan dua gadis itu ternyata bukan pilihan yang buruk. Mereka sama-sama bisa mencairkan suasana, terutama Manda. Jika Na
“Gimana sekolah kamu?” tanya Budi suatu pagi di tengah kegiatan sarapan mereka. “Lancar, Pa. Cuma lagi banyak tugas aja,” jawab Alena lalu memasukkan potongan kornet ke mulutnya. Budi menanggapinya dengan anggukan, paham. “Jangan terlalu diforsir ya, Len. Kalau sekiranya kamu merasa nggak enak badan, langsung istirahat biar nggak sampai drop. Terus jangan lupa vitaminnya diminum.” Alena meraih gelas air putih di hadapannya dan meneguknya sedikit. “Papa dan Bara tuh sama aja, ya? Sama-sama suka nyuruh Lena ini itu. Padahal tanpa disuruh pun, aku juga akan kontrol aktivitasku sendiri kok, Pa. Kondisi Lena, cuma Lena sendiri yang tahu. Dan Papa seharusnya juga nggak perlu kasih tahu Bara tentang kemarin. Sekarang, dia jadi ikutan ngomelin aku, Pa.” “Bagus, dong kalau begitu. Setidaknya Bara bisa jadi wakil Papa kalau omelan Papa sama sekali nggak kamu dengerin.” Awalnya Alena merasa biasa saja dengan sikap Bara tersebut. Namun, ia tid
“Riga, ada yang mau gue omongin sama lo.”Riga yang tengah membereskan buku-bukunya pun menoleh. Kelas sudah sepi, hanya tinggal Alena dan Riga saja. Laki-laki itu menatap Alena dengan alis terangkat.Alena berdeham sebentar lalu kembali menatap Riga. “Lo suka sama Nada?” tanyanya to the point.“Nada?” Riga bertanya memastikan.“Iya. Lo suka sama dia, kan? Ngaku aja, deh.”“Kalau gue suka sama Nada, kenapa?”Pertanyaan Riga sontak membuat Alena tersentak kaget. Entah harus senang atau sedih, ia sendiri bingung. Mendadak ia teringat sesuatu.“Jadi, lo belum tahu soal ini?”“Itu apa sih, Al? Kalau ngomong yang jelas.” Riga kesal sendiri, ia benar-benar tidak mengerti ke mana arah pembicaraan gadis itu.“Lo nggak tahu kalau Nada pacaran sama Gamma?”“Pacaran?” Alena mengangguk cepa
Entah kenapa, perasaan Alena pagi ini jauh lebih baik daripada hari-hari sebelumnya. Mungkin karena efek bisa menghabiskan waktu bersama Gamma di luar jam sekolah, ia jadi merasa sesenang ini. Oh, terima kasih kepada Tante Farah yang sudah menyuruh Gamma menjemputnya pulang sekolah, demi bisa bertemu dengannya.Langkah kakinya begitu ringan menyusuri jalanan paving menuju gedung sekolah. Sebenarnya, Alena ingin langsung ke kelas, tapi ia mengurungkan niatnya ketika melihat Nada duduk sendirian di salah satu meja kantin. Alena pun menghampirinya.Nada memakan makanannya tanpa minat. Akhir-akhir ini Alena memang sering melihat Nada sedikit murung, begitu juga dengan Manda. Entah apa yang sudah terjadi di antara kedua sahabatnya itu, ia sama sekali tidak tahu. Baik Nada ataupun Manda, mereka tidak mengatakan tentang masalah apa yang sedang mereka hadapi sekarang.Alena pun menemani Nada di kantin. Alena memilih
Dari semua hal yang di sekolah, bel pulang menjadi sesuatu yang paling ditunggu oleh semua murid dan mungkin para guru juga. Jika bel istirahat seperti oase di tengah gurun pasir, bel pulang seperti lautan luas yang ditemukan setelah perjalanan jauh melewati gurun pasir tersebut. Murid-murid akan berhamburan keluar kelas setelah bel pulang berbunyi. Sama seperti yang terjadi di kelas Alena sekarang. Bel berbunyi dan guru mata pelajaran terakhir baru saja keluar, tapi teman-teman sekelasnya sudah ramai keluar kelas. Beberapa lainnya masih sibuk bersiap-siap di bangku masing-masing. “Len, lo dijemput, kan? Ayo ke depan bareng.”Ajakan Via langsung disetujui oleh Alena. Gadis itu segera memasukkan buku dan alat tulisnya ke tas, lalu mencangklong tasnya seraya beranjak dari kursinya. “Ayo, Vi.”Alena ingin cepat pulang juga. Tadi pagi papanya bilang kalau beliau akan pulang cepat dari kantornya dan mengajak Alena makan di luar. Lagian, siapa pula ya