Share

2. Bertemu Kembali

Seruan itu menghentikan obrolan keduanya. Keduanya menoleh cepat. Alangkah terkejutnya Alena saat mendapati siapa pemilik suara barusan. Tubuhnya mendadak kaku saat matanya bertubrukan dengan iris cokelat milik orang itu. Orang yang kini berdiri beberapa meter di depannya, tepat di belakang gadis bernama Nada tersebut.

“Gamma?” ucapnya memastikan penglihatannya. Tubuh tinggi dan tegap, wajah tampan meski dengan kulit sawo matang seketika membius Alena.

“Gamma, ini beneran kamu? Astaga, nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini. Kamu apa kabar? Gimana kabar Mama Farah?” tanyanya beruntun. Tak lupa seulas senyum terukir di bibir Alena. Senang rasanya, ia bisa bertemu Gamma di tempat ini, tempat yang dulu sering mereka gunakan untuk kencan.

Raut terkejut laki-laki itu berubah datar. Gamma terdiam sejenak. “Oh, gue baik-baik aja. Kabar Mama juga baik. Lo sendiri gimana? Kapan pulang?”

Hati Alena mencelos mendengar Gamma menggunakan ‘gue-lo’, padahal dulu laki-laki itu selalu menggunakan ‘aku-kamu’ saat berbicara padanya. Namun, Alena hanya bisa memaksakan senyumnya.

Mungkin Gamma terlalu kaget dengan kehadirannya yang tiba-tiba makanya begitu, batinnya.

“Aku baik juga, Gam. Baru kemarin sampai Jakarta. Papa pindah tugas lagi soalnya.”

Pandangannya beralih ke gadis yang tadi bersamanya. Diliriknya sekilas lalu kembali menatap Gamma. “Ini ... pacar kamu, Gam?”

Sial! Kenapa pertanyaan itu harus terlontar dari bibirnya?

“Iya, ini pacar gue.”

Datar, tapi berhasil membuat Alena membelalakkan mata. Pacar? Sejak kapan Gamma punya pacar?

Belum sempat ia menetralkan keterkejutannya, suara Gamma mengalihkan perhatiannya.

“Ayo, pulang. Udah dicariin Mama lo, nih.”

Alena hanya bisa meneguk ludahnya susah payah. Suara Gamma terdengar lembut saat berbicara dengan gadis itu. Dan sialnya, ia tak tak suka.

“Sorry, kita balik duluan. Ayo, Nad,” ujar Gamma lalu menarik tangan Nada tanpa menoleh lagi.

“Kita duluan, ya?” imbuh Nada lalu keduanya pergi.

Alena mematung di tempatnya sambil menatap dua punggung mereka yang mulai menjauh. Dadanya sesak saat melihat kejadian barusan. Rasanya seperti mimpi buruk saat seseorang yang ia harapkan sudah tidak mengharapkannya lagi. Ia tertampar kenyataan bahwa laki-laki itu ternyata sudah memiliki pacar baru.

Semua itu terlalu tiba-tiba hingga ia sendiri bingung harus senang atau sedih. Semesta sudah baik mempertemukan keduanya lagi, tapi sayangnya semesta tidak berpihak padanya. Mungkin hanya ia yang terlalu berlebihan mengharapkan pertemuan yang baik dan berkesan. Kenyataannya kejadian beberapa menit yang lalu justru malah menyita ruang di otaknya.

Sesalah itukah ia dulu, sampai Tuhan tidak memberikannya kesempatan kedua?

“Lo mau setor nyawa, huh?!”

Kalimat sarkas dibarengi tarikan di lengan, membuat tubuh Alena terhuyung ke belakang dan menabrak sesuatu. Sontak ia menatap sekitar. Ia meringis saat mendapati posisinya hanya beberapa senti meter dari jalan raya. Efek Gamma tadi benar-benar besar.

“Zebra cross di sebelah sana,” tunjuk orang yang tadi menolongnya ke arah zebra cross di sebelah timur mereka. “Tapi kalau lo mau setor nyawa, lewat sini juga, silakan.”

Belum hilang keterkejutannya, semesta lagi-lagi mengejutkan Alena.

“Riga?”

Ya, orang itu adalah Auriga Wijaya, sahabatnya waktu SMP. Entah ia harus bagaimana sekarang, yang jelas kali ini ia benar-benar senang karena bisa bertemu lagi dengan kedua sahabatnya.

Riga, laki-laki itu bahkan sudah tumbuh lebih tinggi dari dirinya. Padahal dulu tinggi mereka tidak jauh berbeda, hanya beda lima senti meter saja. Tubuhnya ideal untuk ukuran laki-laki seusianya, dadanya juga lebih bidang. Rambutnya cepak, kelihatan sekali baru saja dicukur.

Sesaat pandangan mereka beradu, hanya sebentar sebelum laki-laki itu menjentikkan jari di depan wajah Alena. “Kenapa?”

Alena mengerjapkan matanya sambil berdeham. “Ah-Riga? Ini beneran lo, kan?” gugup Alena, membuat Riga berdecak.

“Iya, ini gue. Lo lupa?”

“Ah, enggak. Bukan gitu maksud gu—”

“Jangan ngobrol di sini,” potong Riga. Laki-laki itu menarik Alena untuk mengikuti langkahnya. Menyelip di keramaian lalu melipir hingga sampai di sebuah taman.

Dari bangku taman yang menghadap ke barat, menguntungkan keduanya untuk menikmati suasana sore, apalagi melihat sunset. Keceriaan dari para anak kecil dan orang tua mereka membuat perasaan Alena bahagia. Meski kadang terselip iri saat orang lain tengah bahagia bersama keluarganya yang utuh, tapi ia berusaha bersikap biasa saja. Setidaknya melihat orang lain bahagia dengan keluarga mereka, itu sudah cukup bagi Alena. Apalagi ia masih memiliki papa yang sangat menyayanginya.

“Lo apa kabar?”

Pertanyaan barusan menyadarkan Alena lagi. Gadis itu menoleh dan tersenyum manis. Sangat manis hingga membuat Riga terpaku sejenak.

“Gue baik-baik aja. Lo sendiri, gimana?”

“Baik. Lo kapan sampai sini?”

“Kemarin, tapi baru bisa keluar hari ini. Jet lag,” jawabnya seraya terkekeh pelan.

“Iyalah, perjalanan jauh, ya jelas jet lag. Lo, kan gampang mabuk perjalanan juga,” cibir Riga membuat Alena melayangkan tatapan tajam.

“Ya, nggak usah bongkar aib gue juga, dong, Auriga!” geramnya, tapi hanya dibalas gelak tawa menjengkelkan dari laki-laki itu.

“Riga ngeselin, ih!”

“Biarin. Kapan lagi bisa bongkar aib lo?” ejek Riga, membuat Alena langsung melayangkan pukulan di lengan kanan laki-laki itu.

“Lo tau nggak sih, gue tuh kangen banget sama kalian. Sama lo, sama Gamma juga. Kangen kumpul bareng, hangout bareng, banyak deh. Gamma apa kabar, ya?” cicit Alena sambil menatap ke arah segerombolan anak yang sedang kejar-kejaran.

“Gamma baik.”

“Dia udah punya pacar belum?” tanya Alena. Sebenarnya ini hanya alibi supaya bisa mendapatkan informasi tentang Gamma, mengingat pertemuan di toko buku tadi.

“Gue nggak tau. Kenapa?”

“Enggak. Gue cuma nanya aja, siapa tau belum punya,” ucapnya lalu tertawa.

“Kalau dia belum belum punya?” tanya Riga dengan alis terangkat.

“Ya, gue mau daftar,” serunya antusias. Namun, sesaat kemudian ia menyesali ucapannya.

“Lo belum move on?”

Eh?

Alena mengerjap matanya, bingung harus menjawab apa. Ditambah tatapan lurus Riga terasa menuntut jawaban.

“Gue ...”

“Nggak usah dijawab kalau masih bingung,” potong Riga. Laki-laki itu kembali menatap ke depan pada gerombolan anak yang sedang menggoda badut.

Hening. Tak ada pembicaraan lagi. Keduanya sibuk berkutat dengan pikirannya. Alena masih terdiam memikirkan ucapan Riga tadi. Bukan kalimatnya, tapi nada suaranya yang terkesan dingin. Entah Riga memang begini atau ini hanya perasaannya saja, yang jelas ia merasa laki-laki di sebelahnya ini terasa berbeda dari sosok Riga sahabatnya. Atau mungkin Riga begini karena canggung karena sudah lama tidak bertemu.

“Kenapa, Al?”

Alena tersentak dan buru-buru menggeleng. Sial, ia ketahuan memperhatikan Riga diam-diam.

“Kenapa? Ada yang salah sama gue, Al?” ulang Riga saat mendapati wajah Alena begitu bingung.

Lagi, Alena menggeleng. “Enggak, kok, nggak ada apa-apa,” jawabnya sambil menyunggingkan seulas senyum.

Jika papa dan teman-temannya lain memanggilnya Alena atau Lena, berbeda dengan Gamma dan Riga. Kedua laki-laki itu memanggilnya dengan sebutan ‘Al’ terdengar seperti cowok, tapi ia suka.

“Papa daftarin gue ke Angkasa. Lo sekolah di sana juga, kan?”

Riga menoleh sebentar lalu kembali menatap ke depan. “Iya, gue sekolah di sana. Kenapa? Mau bareng?” tanyanya.

“Enggak. Besok Papa yang nganterin sekalian mau urus berkas sama administrasinya,” tolak Alena. Ia tak mau merepotkan Riga apalagi besok hari pertama sekolah.

“Gue kira tadi Papa bohong soal katanya ketemu lo di minimarket, ternyata enggak,” ucap Alena yang langsung dihadiahi anggukan oleh Riga.

“Emang nggak bohong, gue emang ketemu sama Bokap lo waktu itu.”

“Terus cewek yang sama di lo minimarket itu, dia pacar lo?”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status