Seruan itu menghentikan obrolan keduanya. Keduanya menoleh cepat. Alangkah terkejutnya Alena saat mendapati siapa pemilik suara barusan. Tubuhnya mendadak kaku saat matanya bertubrukan dengan iris cokelat milik orang itu. Orang yang kini berdiri beberapa meter di depannya, tepat di belakang gadis bernama Nada tersebut.
“Gamma?” ucapnya memastikan penglihatannya. Tubuh tinggi dan tegap, wajah tampan meski dengan kulit sawo matang seketika membius Alena.
“Gamma, ini beneran kamu? Astaga, nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini. Kamu apa kabar? Gimana kabar Mama Farah?” tanyanya beruntun. Tak lupa seulas senyum terukir di bibir Alena. Senang rasanya, ia bisa bertemu Gamma di tempat ini, tempat yang dulu sering mereka gunakan untuk kencan.
Raut terkejut laki-laki itu berubah datar. Gamma terdiam sejenak. “Oh, gue baik-baik aja. Kabar Mama juga baik. Lo sendiri gimana? Kapan pulang?”
Hati Alena mencelos mendengar Gamma menggunakan ‘gue-lo’, padahal dulu laki-laki itu selalu menggunakan ‘aku-kamu’ saat berbicara padanya. Namun, Alena hanya bisa memaksakan senyumnya.
Mungkin Gamma terlalu kaget dengan kehadirannya yang tiba-tiba makanya begitu, batinnya.
“Aku baik juga, Gam. Baru kemarin sampai Jakarta. Papa pindah tugas lagi soalnya.”
Pandangannya beralih ke gadis yang tadi bersamanya. Diliriknya sekilas lalu kembali menatap Gamma. “Ini ... pacar kamu, Gam?”
Sial! Kenapa pertanyaan itu harus terlontar dari bibirnya?
“Iya, ini pacar gue.”
Datar, tapi berhasil membuat Alena membelalakkan mata. Pacar? Sejak kapan Gamma punya pacar?
Belum sempat ia menetralkan keterkejutannya, suara Gamma mengalihkan perhatiannya.
“Ayo, pulang. Udah dicariin Mama lo, nih.”
Alena hanya bisa meneguk ludahnya susah payah. Suara Gamma terdengar lembut saat berbicara dengan gadis itu. Dan sialnya, ia tak tak suka.
“Sorry, kita balik duluan. Ayo, Nad,” ujar Gamma lalu menarik tangan Nada tanpa menoleh lagi.
“Kita duluan, ya?” imbuh Nada lalu keduanya pergi.
Alena mematung di tempatnya sambil menatap dua punggung mereka yang mulai menjauh. Dadanya sesak saat melihat kejadian barusan. Rasanya seperti mimpi buruk saat seseorang yang ia harapkan sudah tidak mengharapkannya lagi. Ia tertampar kenyataan bahwa laki-laki itu ternyata sudah memiliki pacar baru.
Semua itu terlalu tiba-tiba hingga ia sendiri bingung harus senang atau sedih. Semesta sudah baik mempertemukan keduanya lagi, tapi sayangnya semesta tidak berpihak padanya. Mungkin hanya ia yang terlalu berlebihan mengharapkan pertemuan yang baik dan berkesan. Kenyataannya kejadian beberapa menit yang lalu justru malah menyita ruang di otaknya.
Sesalah itukah ia dulu, sampai Tuhan tidak memberikannya kesempatan kedua?
“Lo mau setor nyawa, huh?!”
Kalimat sarkas dibarengi tarikan di lengan, membuat tubuh Alena terhuyung ke belakang dan menabrak sesuatu. Sontak ia menatap sekitar. Ia meringis saat mendapati posisinya hanya beberapa senti meter dari jalan raya. Efek Gamma tadi benar-benar besar.
“Zebra cross di sebelah sana,” tunjuk orang yang tadi menolongnya ke arah zebra cross di sebelah timur mereka. “Tapi kalau lo mau setor nyawa, lewat sini juga, silakan.”
Belum hilang keterkejutannya, semesta lagi-lagi mengejutkan Alena.
“Riga?”
Ya, orang itu adalah Auriga Wijaya, sahabatnya waktu SMP. Entah ia harus bagaimana sekarang, yang jelas kali ini ia benar-benar senang karena bisa bertemu lagi dengan kedua sahabatnya.
Riga, laki-laki itu bahkan sudah tumbuh lebih tinggi dari dirinya. Padahal dulu tinggi mereka tidak jauh berbeda, hanya beda lima senti meter saja. Tubuhnya ideal untuk ukuran laki-laki seusianya, dadanya juga lebih bidang. Rambutnya cepak, kelihatan sekali baru saja dicukur.
Sesaat pandangan mereka beradu, hanya sebentar sebelum laki-laki itu menjentikkan jari di depan wajah Alena. “Kenapa?”
Alena mengerjapkan matanya sambil berdeham. “Ah-Riga? Ini beneran lo, kan?” gugup Alena, membuat Riga berdecak.
“Iya, ini gue. Lo lupa?”
“Ah, enggak. Bukan gitu maksud gu—”
“Jangan ngobrol di sini,” potong Riga. Laki-laki itu menarik Alena untuk mengikuti langkahnya. Menyelip di keramaian lalu melipir hingga sampai di sebuah taman.
Dari bangku taman yang menghadap ke barat, menguntungkan keduanya untuk menikmati suasana sore, apalagi melihat sunset. Keceriaan dari para anak kecil dan orang tua mereka membuat perasaan Alena bahagia. Meski kadang terselip iri saat orang lain tengah bahagia bersama keluarganya yang utuh, tapi ia berusaha bersikap biasa saja. Setidaknya melihat orang lain bahagia dengan keluarga mereka, itu sudah cukup bagi Alena. Apalagi ia masih memiliki papa yang sangat menyayanginya.
“Lo apa kabar?”
Pertanyaan barusan menyadarkan Alena lagi. Gadis itu menoleh dan tersenyum manis. Sangat manis hingga membuat Riga terpaku sejenak.
“Gue baik-baik aja. Lo sendiri, gimana?”
“Baik. Lo kapan sampai sini?”
“Kemarin, tapi baru bisa keluar hari ini. Jet lag,” jawabnya seraya terkekeh pelan.
“Iyalah, perjalanan jauh, ya jelas jet lag. Lo, kan gampang mabuk perjalanan juga,” cibir Riga membuat Alena melayangkan tatapan tajam.
“Ya, nggak usah bongkar aib gue juga, dong, Auriga!” geramnya, tapi hanya dibalas gelak tawa menjengkelkan dari laki-laki itu.
“Riga ngeselin, ih!”
“Biarin. Kapan lagi bisa bongkar aib lo?” ejek Riga, membuat Alena langsung melayangkan pukulan di lengan kanan laki-laki itu.
“Lo tau nggak sih, gue tuh kangen banget sama kalian. Sama lo, sama Gamma juga. Kangen kumpul bareng, hangout bareng, banyak deh. Gamma apa kabar, ya?” cicit Alena sambil menatap ke arah segerombolan anak yang sedang kejar-kejaran.
“Gamma baik.”
“Dia udah punya pacar belum?” tanya Alena. Sebenarnya ini hanya alibi supaya bisa mendapatkan informasi tentang Gamma, mengingat pertemuan di toko buku tadi.
“Gue nggak tau. Kenapa?”
“Enggak. Gue cuma nanya aja, siapa tau belum punya,” ucapnya lalu tertawa.
“Kalau dia belum belum punya?” tanya Riga dengan alis terangkat.
“Ya, gue mau daftar,” serunya antusias. Namun, sesaat kemudian ia menyesali ucapannya.
“Lo belum move on?”
Eh?
Alena mengerjap matanya, bingung harus menjawab apa. Ditambah tatapan lurus Riga terasa menuntut jawaban.
“Gue ...”
“Nggak usah dijawab kalau masih bingung,” potong Riga. Laki-laki itu kembali menatap ke depan pada gerombolan anak yang sedang menggoda badut.
Hening. Tak ada pembicaraan lagi. Keduanya sibuk berkutat dengan pikirannya. Alena masih terdiam memikirkan ucapan Riga tadi. Bukan kalimatnya, tapi nada suaranya yang terkesan dingin. Entah Riga memang begini atau ini hanya perasaannya saja, yang jelas ia merasa laki-laki di sebelahnya ini terasa berbeda dari sosok Riga sahabatnya. Atau mungkin Riga begini karena canggung karena sudah lama tidak bertemu.
“Kenapa, Al?”
Alena tersentak dan buru-buru menggeleng. Sial, ia ketahuan memperhatikan Riga diam-diam.
“Kenapa? Ada yang salah sama gue, Al?” ulang Riga saat mendapati wajah Alena begitu bingung.
Lagi, Alena menggeleng. “Enggak, kok, nggak ada apa-apa,” jawabnya sambil menyunggingkan seulas senyum.
Jika papa dan teman-temannya lain memanggilnya Alena atau Lena, berbeda dengan Gamma dan Riga. Kedua laki-laki itu memanggilnya dengan sebutan ‘Al’ terdengar seperti cowok, tapi ia suka.
“Papa daftarin gue ke Angkasa. Lo sekolah di sana juga, kan?”
Riga menoleh sebentar lalu kembali menatap ke depan. “Iya, gue sekolah di sana. Kenapa? Mau bareng?” tanyanya.
“Enggak. Besok Papa yang nganterin sekalian mau urus berkas sama administrasinya,” tolak Alena. Ia tak mau merepotkan Riga apalagi besok hari pertama sekolah.
“Gue kira tadi Papa bohong soal katanya ketemu lo di minimarket, ternyata enggak,” ucap Alena yang langsung dihadiahi anggukan oleh Riga.
“Emang nggak bohong, gue emang ketemu sama Bokap lo waktu itu.”
“Terus cewek yang sama di lo minimarket itu, dia pacar lo?”
***
Ini bukan kali pertama Alena pindah sekolah, lebih tepatnya ini yang keempat kalinya. Kelas 2 SD pindah ke Bandung hingga kenaikan kelas 6 ia pindah ke Jakarta. Pertengahan kelas 8 SMP, ia pindah ke Balikpapan dan sekarang ia pindah lagi ke Jakarta. Sebenarnya Alena tidak suka dengan keadaan seperti ini. Namun, pekerjaan Budi yang hanya karyawan di sebuah perusahaan swasta, membuat Alena mau tak mau harus mengikuti ke mana pun papanya dipindahtugaskan. Alena belajar menerima, toh, papa bekerja untuk dirinya. Namun, sejak mama dan kakaknya meninggal, papa jadi lebih protektif padanya. Mengiriminya pesan hingga menelepon berkali-kali jika ia terlambat pulang. Lebih parah lagi, papa sering minta tolong pada temannya yang dikenalnya untuk membantu mengawasi. Seperti Riga kemarin, contohnya. Papa meminta tolong laki-laki itu untuk mengawasinya. Pada akhirnya ia hanya bisa pasrah karena jawaban Riga. “Om Budi nitipin lo ke gue,” ucap Riga saat di perjalanan pulang
Sekotak donat sudah berpindah dari tangan penjaga toko roti ke tangan Alena. Sekarang, ia ingin segera pulang. Membaca buku sambil ditemani sekotak donat pasti menyenangkan, begitu rencananya. Namun, baru saja tangannya mendorong keluar pintu, pandangannya langsung tertuju pada sebuah butik yang terletak tepat di seberang toko roti, tempatnya berada sekarang. Ralat, lebih tepatnya pada sosok laki-laki berjaket abu-abu yang sedang memarkir motornya di pelataran parkir butik tersebut. Ponsel yang rencana digunakan untuk memesan ojek online pun segera ia masukkan ke dalam tas dan tanpa membuang waktu lagi, Alena berlari menuju butik tersebut. Masa bodoh dengan donatnya yang terombang-ambing karena dibawanya berlari. Toh, sekalipun nanti topping-nya tercampur, donatnya masih enak dimakan. “Gam! Gamma!” Dua kali, panggilannya tidak mendapat respons. Laki-laki yang dipanggilnya itu malah melangkah menuju pintu butik setelah menyapa
“Gila, panas banget! Kipas anginnya kenapa pakai mati segala, sih? Bisa gosong dong gue,” keluh Manda seraya mengipaskan kedua telapak tangannya ke wajah. Cuaca hari ini begitu panas, bahkan terasa lebih panas dari biasanya, padahal waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Hal ini membuat Alena bersama dua teman barunya—Nada dan Manda— langsung ke kantin tepat sesaat setelah bel istirahat berbunyi. Sebenarnya Alena masih canggung bersosialisasi dengan teman-teman sekelasnya. Namun, Nada—pacar Gamma— terus membujuknya supaya mau ke kantin. Katanya biar mereka bisa lebih akrab sekalian mengobrol, ditambah lagi Via, teman sebangkunya tidak masuk, jadi mau tak mau Alena pun menyetujuinya. Alena pikir ia akan cukup sulit berteman dengan mereka, mengingat Nada adalah pacar dari orang yang disukainya. Namun, ternyata ia salah. Berteman dengan dua gadis itu ternyata bukan pilihan yang buruk. Mereka sama-sama bisa mencairkan suasana, terutama Manda. Jika Na
“Gimana sekolah kamu?” tanya Budi suatu pagi di tengah kegiatan sarapan mereka. “Lancar, Pa. Cuma lagi banyak tugas aja,” jawab Alena lalu memasukkan potongan kornet ke mulutnya. Budi menanggapinya dengan anggukan, paham. “Jangan terlalu diforsir ya, Len. Kalau sekiranya kamu merasa nggak enak badan, langsung istirahat biar nggak sampai drop. Terus jangan lupa vitaminnya diminum.” Alena meraih gelas air putih di hadapannya dan meneguknya sedikit. “Papa dan Bara tuh sama aja, ya? Sama-sama suka nyuruh Lena ini itu. Padahal tanpa disuruh pun, aku juga akan kontrol aktivitasku sendiri kok, Pa. Kondisi Lena, cuma Lena sendiri yang tahu. Dan Papa seharusnya juga nggak perlu kasih tahu Bara tentang kemarin. Sekarang, dia jadi ikutan ngomelin aku, Pa.” “Bagus, dong kalau begitu. Setidaknya Bara bisa jadi wakil Papa kalau omelan Papa sama sekali nggak kamu dengerin.” Awalnya Alena merasa biasa saja dengan sikap Bara tersebut. Namun, ia tid
“Riga, ada yang mau gue omongin sama lo.”Riga yang tengah membereskan buku-bukunya pun menoleh. Kelas sudah sepi, hanya tinggal Alena dan Riga saja. Laki-laki itu menatap Alena dengan alis terangkat.Alena berdeham sebentar lalu kembali menatap Riga. “Lo suka sama Nada?” tanyanya to the point.“Nada?” Riga bertanya memastikan.“Iya. Lo suka sama dia, kan? Ngaku aja, deh.”“Kalau gue suka sama Nada, kenapa?”Pertanyaan Riga sontak membuat Alena tersentak kaget. Entah harus senang atau sedih, ia sendiri bingung. Mendadak ia teringat sesuatu.“Jadi, lo belum tahu soal ini?”“Itu apa sih, Al? Kalau ngomong yang jelas.” Riga kesal sendiri, ia benar-benar tidak mengerti ke mana arah pembicaraan gadis itu.“Lo nggak tahu kalau Nada pacaran sama Gamma?”“Pacaran?” Alena mengangguk cepa
Entah kenapa, perasaan Alena pagi ini jauh lebih baik daripada hari-hari sebelumnya. Mungkin karena efek bisa menghabiskan waktu bersama Gamma di luar jam sekolah, ia jadi merasa sesenang ini. Oh, terima kasih kepada Tante Farah yang sudah menyuruh Gamma menjemputnya pulang sekolah, demi bisa bertemu dengannya.Langkah kakinya begitu ringan menyusuri jalanan paving menuju gedung sekolah. Sebenarnya, Alena ingin langsung ke kelas, tapi ia mengurungkan niatnya ketika melihat Nada duduk sendirian di salah satu meja kantin. Alena pun menghampirinya.Nada memakan makanannya tanpa minat. Akhir-akhir ini Alena memang sering melihat Nada sedikit murung, begitu juga dengan Manda. Entah apa yang sudah terjadi di antara kedua sahabatnya itu, ia sama sekali tidak tahu. Baik Nada ataupun Manda, mereka tidak mengatakan tentang masalah apa yang sedang mereka hadapi sekarang.Alena pun menemani Nada di kantin. Alena memilih
Dari semua hal yang di sekolah, bel pulang menjadi sesuatu yang paling ditunggu oleh semua murid dan mungkin para guru juga. Jika bel istirahat seperti oase di tengah gurun pasir, bel pulang seperti lautan luas yang ditemukan setelah perjalanan jauh melewati gurun pasir tersebut. Murid-murid akan berhamburan keluar kelas setelah bel pulang berbunyi. Sama seperti yang terjadi di kelas Alena sekarang. Bel berbunyi dan guru mata pelajaran terakhir baru saja keluar, tapi teman-teman sekelasnya sudah ramai keluar kelas. Beberapa lainnya masih sibuk bersiap-siap di bangku masing-masing. “Len, lo dijemput, kan? Ayo ke depan bareng.”Ajakan Via langsung disetujui oleh Alena. Gadis itu segera memasukkan buku dan alat tulisnya ke tas, lalu mencangklong tasnya seraya beranjak dari kursinya. “Ayo, Vi.”Alena ingin cepat pulang juga. Tadi pagi papanya bilang kalau beliau akan pulang cepat dari kantornya dan mengajak Alena makan di luar. Lagian, siapa pula ya
Hujan di pagi hari selalu berhasil membangkitkan hawa malas bagi kebanyakan orang. Dinginnya udara membuat mereka lebih memilih menenggelamkan diri di balik selimut tebal daripada bangun dan melakukan rutinitas masing-masing.Hal itu juga yang dilakukan Riga sekarang. Hujan yang mengguyur kota sejak dini hari tadi—bertepatan dengan ia akan pergi tidur setelah menyelesaikan PR Biologi—membuat laki-laki enam belas tahun itu kembali menarik selimutnya hingga menutupi leher. Riga kembali terlelap dengan dengan nyaman.Masa bodoh dengan sarapan, yang penting sekarang ia ingin tidur. Lagi pula, siapa yang akan memarahinya hanya karena tidur di hari libur yang hujan ini? Tidak ada. Lebih tepatnya, tidak ada orang di rumahny, selain ia sendiri, sampai beberapa hari ke depan.Setidaknya itu yang Riga yakini sebelum suara ketukan pintu terdengar berulang dan disusul decitan pintu yang dibuka secara tidak sabar, mengusik ketenangan paginya.“Ayah&h