Ini bukan kali pertama Alena pindah sekolah, lebih tepatnya ini yang keempat kalinya. Kelas 2 SD pindah ke Bandung hingga kenaikan kelas 6 ia pindah ke Jakarta. Pertengahan kelas 8 SMP, ia pindah ke Balikpapan dan sekarang ia pindah lagi ke Jakarta.
Sebenarnya Alena tidak suka dengan keadaan seperti ini. Namun, pekerjaan Budi yang hanya karyawan di sebuah perusahaan swasta, membuat Alena mau tak mau harus mengikuti ke mana pun papanya dipindahtugaskan. Alena belajar menerima, toh, papa bekerja untuk dirinya.
Namun, sejak mama dan kakaknya meninggal, papa jadi lebih protektif padanya. Mengiriminya pesan hingga menelepon berkali-kali jika ia terlambat pulang. Lebih parah lagi, papa sering minta tolong pada temannya yang dikenalnya untuk membantu mengawasi. Seperti Riga kemarin, contohnya. Papa meminta tolong laki-laki itu untuk mengawasinya. Pada akhirnya ia hanya bisa pasrah karena jawaban Riga.
“Om Budi nitipin lo ke gue,” ucap Riga saat di perjalanan pulang kemarin.
“Tolak aja. Lagian lo bukan bodyguard.”
“Gue udah terlanjur bilang iya.”
“Yah, gue kan nggak mau diawasin. Gini aja, deh, kalo misal Papa nanyain gue gimana-gimana, lo jawab yang baiknya aja, ya?"” sahut Alena. Ia benar-benar tidak mau diawasi.
“Bohong dosa, Al,” peringat Riga.
“Ya, udahlah terserah lo.”
Alena menghela napas pelan mengingat percakapan mereka kemarin. Riga susah sekali diajak bohong. Padahal, kan bohong demi kebaikannya juga.
Dan sekarang di sinilah Alena, di depan gerbang SMA Angkasa sambil menatap bangunan besar serupa universitas di depannya.
Maaf, Neng ini siapa, ya? Ada perlu apa di sini?”
Pertanyaan itu menyadarkan Alena. Gadis yang rambutnya sudah dicat hitam itu pun menoleh dan tersenyum pada pria gundul dengan pakaian security.
“Saya murid baru, Pak. Kenapa, ya?”
Oh murid baru. Pantesan wajahnya asing. Kalau begitu silakan masuk, Neng.” Satpam bernama Joko itu pun mempersilakan.
“Maaf, Pak, tapi kalau boleh tahu ruangan kepala sekolah di mana, ya?”
“Ruang kepala sekolah itu di lantai satu gedung utama. Eneng masuk lewat pintu kaca itu aja, terus belok kanan nanti ada tulisannya Ruang Kepala Sekolah,” jelas satpam tersebut.
Alena mengangguk paham dan mengucapkan terima kasih. Setelahnya, ia segera menuju bangunan yang dimaksud Pak Joko. Menyusuri paving block yang panjangnya hampir seratus meter sambil mulutnya menggerutu.
“Kok bisa, sih, Kak Luna dulu ngebet banget pengen masuk sini? Ini belum apa-apa, udah capek duluan. Gimana nanti? Tersiksa kali, ya?”
Namun, begitu sampai ruangan kepala sekolah, beliau belum datang. Alhasil, Alena keluar gedung. Jalan-jalan bentar kayaknya bukan ide yang buruk.
SMA Angkasa benar-benar besar. Total bangunan di sini saja ada enam gedung, itu pun empat gedung di antaranya memiliki tiga lantai. Gedung utama ada ruang kepala sekolah, guru dan para staf.
Gedung A ada ruang laboratorium, perpustakaan, ruang OSIS, UKS, dan gudang yang letaknya agak menjorok ke dalam. Gedung B merupakan kelas jurusan IPA dengan lantai satu untuk kelas dua belas, lantai dua kelas sebelas, dan lantai tiga untuk kelas sepuluh. Gedung C merupakan kelas jurusan IPS dengan pembagian lantainya sama seperti jurusan IPA.
Di antara gedung B dan C terdapat lapangan utama. Gedung D merupakan gedung ekskul, serta gedung E adalah aula. Bangunan kantin ada di utara gedung IPS dan lapangan basket.
Jam di layar ponsel Alena sudah menunjukkan pukul 06.45, ia pun menyudahi acara tour-nya dan kembali ke ruang kepala sekolah. Sepanjang koridor yang ia lewati sudah mulai ramai. Tak sedikit pula murid yang menatapnya penasaran. Meski risi, tapi ia berusaha bersikap biasa saja. Sesekali ia menyunggingkan senyum.
Setidaknya kalau ragu buat nyapa orang baru, mending kasih senyum aja, begitu prinsipnya.
Brak!
“Aduh!” ringis Alena saat tubuh bagian belakangnya membentur lantai koridor yang dingin. Ia mencoba bangkit saat tiba-tiba sebuah tangan terulur di hadapannya. Dengan cepat, ia meraih uluran tangan tersebut.
“Maka—Lo”
“Lo!” ujar mereka bersamaan.
Dia lagi.
“Lo pacarnya Gamma, kan?” tanyanya saat sudah bisa mengontrol keterkejutannya.
“Ah, iya, gue pacarnya Gamma. Sorry, tadi gue nggak sengaja nabrak lo. Lo nggak apa-apa, kan?” jawab Nada memastikan.
Ya, orang yang menabraknya tadi adalah Nada. Gadis yang kemarin di toko buku.
“Iya, gue nggak apa-apa. Thanks, udah ditolongin,” jawabnya seraya mengulas senyum manisnya.
Nada mengangguk. “By the way, lo sekolah di sini?”
“Iya, gue sekolah di sini. Tepatnya gue murid baru mulai hari ini. Salam kenal, ya, gue Alena. Lo Nada, kan?”
“Eh, kok tau nama gue Nada?”
“Nametag lo.”
Nada menepuk dahinya lalu tertawa. “Oh iya ya gue lupa. Iya, salam kenal juga.”
“Kalau gitu gue duluan, mau ke ruang kepala sekolah soalnya,” pamit Alena.
“Udah tau ruangannya? Kalau belum gue bisa nganterin lo,” tawar Nada, tapi Alena menggeleng.
“Nggak perlu, makasih. Tadi udah keliling bentar jadi dikit banyak gue tau beberapa tempat di sini,” tolaknya. “Ya, udah gue duluan. Bye, Nada.”
Setelahnya Alena bergegas menuju ruang kepala sekolah. Di sana ia harus menunggu kepala sekolah yang sedang membahas data siswa dengan salah satu guru.
“Jadi, kamu murid baru itu?” tanya Pak Sandi, kepala sekolah SMA Angkasa. Pria bertubuh gemuk itu duduk di kursinya sambil melihat lembaran kertas di meja. Entah tentang apa.
“Iya, Pak. Saya Alena Titania,” jawab Alena sopan. Tak lupa ia menyunggingkan senyum manisnya.
Pak Sandi mengangguk. “Baiklah, berdasarkan data yang saya dapat dari pihak TU, kamu masuk di kelas XI IPA 2. Perkenalkan ini Pak Anwar, beliau adalah wali kelas kamu,” jelas Pak Sandi seraya memperkenalkan pria berusia sekitar lima puluhan dengan tubuh kurus. Beliau tersenyum pada Alena.
Baru juga masuk, udah dapet guru killer, wali kelas pula.
“Saya Pak Anwar, wali kelas sekaligus guru Matematika kelas 11 IPA. Kalau begitu kami pamit, Pak. Saya mau mengantar Alena ke kelas. Permisi,” pamit Pak Anwar sopan. “Ayo, Alena saya antar ke kelas kamu.”
“Silakan.”
Alena mengikuti Pak Anwar dari belakang. Alasan utamanya, karena ia takut dengan wajah wali kelasnya yang terlihat killer. Dalam hati ia kembali menggerutu setelah tadi kakinya pegal karena jalanan menuju gedung yang lumayan panjang.
Saat akan masuk gedung jurusan IPA, seorang guru menyapa Pak Anwar. Guru berjilbab itu ternyata adalah guru Biologi yang kebetulan akan mengajar di kelasnya.
**
Entah ada yang salah atau memang ini hanya perasaannya saja, Alena sedikit merasa gugup. Mendadak ada keraguan di hatinya saat menginjakkan kaki di lantai dua. Koridor itu sepi, maklum bel pelajaran sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu. Alena berjalan di belakang Bu Arum dan Pak Anwar.
Langkah Alena perlahan melambat saat pandangannya menangkap sosok yang tidak asing berada di kelas yang akan dituju. Gadis itu hanya menatap lurus ke depan dan tampaknya teman sebangku gadis itu berkali-kali memanggil sambil menggoyangkan lengannya.
Oh My God! Sama aja mimpi buruk ini!
**
“Alena, ayo masuk.”
Alena tersentak kaget. Mengalihkan pandangannya dan mengangguk cepat. Alena menghela napas beberapa kali, lalu segera mengikuti kedua guru yang sudah lebih dulu masuk.
Kelas yang tadinya ramai pun seketika hening. Semua pandangan tertuju ke depan kelas. Tidak, lebih tepatnya ke arah Alena. Bagaimana tidak, gadis berkulit putih bersih itu bak dewi yang turun dari langit. Sempurna tanpa cacat sedikit pun.
Alena mengerjap memastikan apa yang dilihatnya. Ternyata tidak cuma ada Nada, tapi juga Riga. Tanpa sadar, ia mendesah kecewa. Gamma di kelas mana?
“Selamat pagi, anak-anak. Hari ini kelas kita kedatangan murid baru. Silakan kamu perkenalkan diri kamu,” ucap Pak Anwar yang berdiri di samping meja guru.
“Baik, terima kasih, Pak.” Alena maju selangkah. Gadis itu menyapukan pandangan ke seluruh murid di kelas XI IPA 2 kemudian tersenyum manis. “Hai semua. Perkenalkan nama saya Alena Titania. Panggil saja Alena. Saya pindahan dari Balikpapan. Salam kenal, mohon bantuannya. Terima kasih.”
Namun, keheningan tadi tidak bertahan lama. Buktinya setelah Alena memperkenalkan diri, para laki-laki di kelas ini berubah berisik.
“Hai, Alena. Udah punya pacar belum?”
“Alena rumahnya mana?”
“Neng Alena bagi nomor W*, dong.”
“Heh, sudah-sudah! Kalian ini kalau ada cewek cantik aja langsung gercep. Giliran Bapak kasih tugas ngeluhnya aja yang gercep, tapi enggak ngerjain. Gimana, sih?”
“Yah, itu mah beda, Pak. Masa cewek disamain sama tugas.”
“Sudah, diam kalian! Sekarang lanjut belajar, kenalannya bisa dilanjut saat istirahat. Alena, kamu bisa duduk di bangku sebelah Via,” ucap Pak Anwar seraya menunjuk bangku kosong di deretan sebelah Nada, baris keempat. Tepat di belakang Riga.
“Kalau begitu saya permisi dulu. Bu Arum silakan lanjutkan pelajarannya. Ini murid saya kalau bertindak macam-macam, dikasih hukuman saja tidak apa-apa, Bu. Saya ikhlas. Permisi,” pamit Pak Anwar yang justru malah disoraki murid sekelas.
Ada-ada saja wali kelasnya itu.
Alena segera melangkah ke bangku yang tadi ditunjuk wali kelasnya. Tanpa sengaja tatapannya bertemu pandang dengan Nada. Gadis itu mengulas senyum tipis pada Alena.
“Hai, Nada. Kita ketemu lagi.”
**
Keinginan pertama Alena sejak berangkat tadi pagi adalah bertemu dengan Gamma, mantan pacarnya sewaktu SMP. Enam bulan hubungan mereka, itu sudah cukup membekas di ingatannya. Ada sesal menyusup saat mengingat hal itu. Kesalahannya di masa lalu membuat Gamma membencinya hingga menyebabkan hubungan keduanya berakhir. Dan sekarang ia ingin menebus semuanya. Meskipun ia tahu sekarang Gamma sudah punya pacar, tapi ia merasa tetap harus menemuinya.
Namun, ternyata semua keinginannya itu tidak semudah itu diwujudkan. Alena pikir satu kelas dengan Nada bisa membuatnya cepat bertemu Gamma lagi. Biasanya kan cowok akan ke kelas ceweknya untuk diajak ke kantin bersama atau hanya sekadar ngobrol saja. Tapi ternyata tidak. Bahkan sampai jam istirahat kedua pun Gamma tidak ke kelasnya. Nada sendiri juga pergi ke kantin bersama teman sebangkunya, yang bernama Manda.
Kalau begini terus kapan ia bisa ketemu Gamma? Ia saja tidak tahu di mana kelas Gamma. Tidak mungkin juga, dia bertanya pada Nada, yang ada Nada akan berpikiran buruk tentangnya nanti.
Bosan. Seharusnya tadi ia menerima ajakan Via ke kantin. Kelas sepi dan sekarang hanya ada dirinya dan Riga saja di kelas.
“Riga?” panggil Alena.
Laki-laki yang sedang sibuk dengan ponselnya itu menatap Alena dengan alis terangkat.
“Ah, nggak jadi.” Alena sendiri juga bingung kenapa tiba-tiba memanggil Riga. Ia tadi hanya bosan dan tidak tahu mau ngapain. “Lo nggak ke kantin, Ri?”
“Enggak. Kenapa?”
“Nggak apa-apa. Nanya doang,” jawab Alena lalu memilih memainkan ponselnya.
Jujur, Alena masih canggung mengobrol dengan Riga meskipun kemarin mereka sudah bertemu, tapi tetap saja canggung. Faktor lama tidak bertemu ditambah tidak pernah saling bertukar kabar sejak hari ia pindah mungkin adalah alasannya.
“Lo sendiri kenapa nggak ngantin?”
Alena mendongak. Menatap Riga lurus lalu menggeleng pelan. “Males, Ri. Masih canggung jadi murid baru. Padahal biasanya enggak gini.”
“Males atau takut ketemu Gamma?”
Deg.
“Gamma sekolah di sini?”
Oke, ini pertanyaan konyol.
Riga hanya menjawabnya dengan gumaman.
“Gamma di kelas mana?” tanya Alena antusias.
Hening tak kunjung ada jawaban. Hingga akhirnya suara Riga memecah keheningan di antara keduanya.
“Al?”
“Iya?”
“Jangan ganggu Gamma lagi.”
***
Sekotak donat sudah berpindah dari tangan penjaga toko roti ke tangan Alena. Sekarang, ia ingin segera pulang. Membaca buku sambil ditemani sekotak donat pasti menyenangkan, begitu rencananya. Namun, baru saja tangannya mendorong keluar pintu, pandangannya langsung tertuju pada sebuah butik yang terletak tepat di seberang toko roti, tempatnya berada sekarang. Ralat, lebih tepatnya pada sosok laki-laki berjaket abu-abu yang sedang memarkir motornya di pelataran parkir butik tersebut. Ponsel yang rencana digunakan untuk memesan ojek online pun segera ia masukkan ke dalam tas dan tanpa membuang waktu lagi, Alena berlari menuju butik tersebut. Masa bodoh dengan donatnya yang terombang-ambing karena dibawanya berlari. Toh, sekalipun nanti topping-nya tercampur, donatnya masih enak dimakan. “Gam! Gamma!” Dua kali, panggilannya tidak mendapat respons. Laki-laki yang dipanggilnya itu malah melangkah menuju pintu butik setelah menyapa
“Gila, panas banget! Kipas anginnya kenapa pakai mati segala, sih? Bisa gosong dong gue,” keluh Manda seraya mengipaskan kedua telapak tangannya ke wajah. Cuaca hari ini begitu panas, bahkan terasa lebih panas dari biasanya, padahal waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Hal ini membuat Alena bersama dua teman barunya—Nada dan Manda— langsung ke kantin tepat sesaat setelah bel istirahat berbunyi. Sebenarnya Alena masih canggung bersosialisasi dengan teman-teman sekelasnya. Namun, Nada—pacar Gamma— terus membujuknya supaya mau ke kantin. Katanya biar mereka bisa lebih akrab sekalian mengobrol, ditambah lagi Via, teman sebangkunya tidak masuk, jadi mau tak mau Alena pun menyetujuinya. Alena pikir ia akan cukup sulit berteman dengan mereka, mengingat Nada adalah pacar dari orang yang disukainya. Namun, ternyata ia salah. Berteman dengan dua gadis itu ternyata bukan pilihan yang buruk. Mereka sama-sama bisa mencairkan suasana, terutama Manda. Jika Na
“Gimana sekolah kamu?” tanya Budi suatu pagi di tengah kegiatan sarapan mereka. “Lancar, Pa. Cuma lagi banyak tugas aja,” jawab Alena lalu memasukkan potongan kornet ke mulutnya. Budi menanggapinya dengan anggukan, paham. “Jangan terlalu diforsir ya, Len. Kalau sekiranya kamu merasa nggak enak badan, langsung istirahat biar nggak sampai drop. Terus jangan lupa vitaminnya diminum.” Alena meraih gelas air putih di hadapannya dan meneguknya sedikit. “Papa dan Bara tuh sama aja, ya? Sama-sama suka nyuruh Lena ini itu. Padahal tanpa disuruh pun, aku juga akan kontrol aktivitasku sendiri kok, Pa. Kondisi Lena, cuma Lena sendiri yang tahu. Dan Papa seharusnya juga nggak perlu kasih tahu Bara tentang kemarin. Sekarang, dia jadi ikutan ngomelin aku, Pa.” “Bagus, dong kalau begitu. Setidaknya Bara bisa jadi wakil Papa kalau omelan Papa sama sekali nggak kamu dengerin.” Awalnya Alena merasa biasa saja dengan sikap Bara tersebut. Namun, ia tid
“Riga, ada yang mau gue omongin sama lo.”Riga yang tengah membereskan buku-bukunya pun menoleh. Kelas sudah sepi, hanya tinggal Alena dan Riga saja. Laki-laki itu menatap Alena dengan alis terangkat.Alena berdeham sebentar lalu kembali menatap Riga. “Lo suka sama Nada?” tanyanya to the point.“Nada?” Riga bertanya memastikan.“Iya. Lo suka sama dia, kan? Ngaku aja, deh.”“Kalau gue suka sama Nada, kenapa?”Pertanyaan Riga sontak membuat Alena tersentak kaget. Entah harus senang atau sedih, ia sendiri bingung. Mendadak ia teringat sesuatu.“Jadi, lo belum tahu soal ini?”“Itu apa sih, Al? Kalau ngomong yang jelas.” Riga kesal sendiri, ia benar-benar tidak mengerti ke mana arah pembicaraan gadis itu.“Lo nggak tahu kalau Nada pacaran sama Gamma?”“Pacaran?” Alena mengangguk cepa
Entah kenapa, perasaan Alena pagi ini jauh lebih baik daripada hari-hari sebelumnya. Mungkin karena efek bisa menghabiskan waktu bersama Gamma di luar jam sekolah, ia jadi merasa sesenang ini. Oh, terima kasih kepada Tante Farah yang sudah menyuruh Gamma menjemputnya pulang sekolah, demi bisa bertemu dengannya.Langkah kakinya begitu ringan menyusuri jalanan paving menuju gedung sekolah. Sebenarnya, Alena ingin langsung ke kelas, tapi ia mengurungkan niatnya ketika melihat Nada duduk sendirian di salah satu meja kantin. Alena pun menghampirinya.Nada memakan makanannya tanpa minat. Akhir-akhir ini Alena memang sering melihat Nada sedikit murung, begitu juga dengan Manda. Entah apa yang sudah terjadi di antara kedua sahabatnya itu, ia sama sekali tidak tahu. Baik Nada ataupun Manda, mereka tidak mengatakan tentang masalah apa yang sedang mereka hadapi sekarang.Alena pun menemani Nada di kantin. Alena memilih
Dari semua hal yang di sekolah, bel pulang menjadi sesuatu yang paling ditunggu oleh semua murid dan mungkin para guru juga. Jika bel istirahat seperti oase di tengah gurun pasir, bel pulang seperti lautan luas yang ditemukan setelah perjalanan jauh melewati gurun pasir tersebut. Murid-murid akan berhamburan keluar kelas setelah bel pulang berbunyi. Sama seperti yang terjadi di kelas Alena sekarang. Bel berbunyi dan guru mata pelajaran terakhir baru saja keluar, tapi teman-teman sekelasnya sudah ramai keluar kelas. Beberapa lainnya masih sibuk bersiap-siap di bangku masing-masing. “Len, lo dijemput, kan? Ayo ke depan bareng.”Ajakan Via langsung disetujui oleh Alena. Gadis itu segera memasukkan buku dan alat tulisnya ke tas, lalu mencangklong tasnya seraya beranjak dari kursinya. “Ayo, Vi.”Alena ingin cepat pulang juga. Tadi pagi papanya bilang kalau beliau akan pulang cepat dari kantornya dan mengajak Alena makan di luar. Lagian, siapa pula ya
Hujan di pagi hari selalu berhasil membangkitkan hawa malas bagi kebanyakan orang. Dinginnya udara membuat mereka lebih memilih menenggelamkan diri di balik selimut tebal daripada bangun dan melakukan rutinitas masing-masing.Hal itu juga yang dilakukan Riga sekarang. Hujan yang mengguyur kota sejak dini hari tadi—bertepatan dengan ia akan pergi tidur setelah menyelesaikan PR Biologi—membuat laki-laki enam belas tahun itu kembali menarik selimutnya hingga menutupi leher. Riga kembali terlelap dengan dengan nyaman.Masa bodoh dengan sarapan, yang penting sekarang ia ingin tidur. Lagi pula, siapa yang akan memarahinya hanya karena tidur di hari libur yang hujan ini? Tidak ada. Lebih tepatnya, tidak ada orang di rumahny, selain ia sendiri, sampai beberapa hari ke depan.Setidaknya itu yang Riga yakini sebelum suara ketukan pintu terdengar berulang dan disusul decitan pintu yang dibuka secara tidak sabar, mengusik ketenangan paginya.“Ayah&h
Awan hitam menggantung di langit, siap untuk menumpahkan semua air yang ditampungnya. Setelah gagal mengajak Nada pulang bersama, Riga melajukan motornya menuju salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Tidak, bukan untuk belanja, tapi untuk bekerja. Riga bekerja paruh waktu di sebuah kafe yang dikelola oleh tantenya sendiri. Star Café, Namanya.Jika ada yang bertanya apa Riga malu bekerja di kafe? Laki-laki itu pasti menjawab tidak. Bagi Riga, daripada pergi jalan-jalan tidak jelas dengan uang dari orang tua, lebih baik ia bekerja di kafe saja. Lumayan, bisa untuk mencari pengalaman kerja dan gajinya bisa untuk ditabung.“Hai, Riga. Baru datang, ya?” Seorang laki-laki bertubuh kurus dan berambut cepak, menyapa Riga di depan kafe. Laki-laki bernama Tama itu sedang membersihkan salah satu meja yang baru saja ditinggalkan pembeli.“Iya, baru pulang sekolah tadi. Gue masuk dulu, ya, Bang. Mau ganti baju,” pamit Riga yang langsung diac