Share

3. Murid Baru

Ini bukan kali pertama Alena pindah sekolah, lebih tepatnya ini yang keempat kalinya. Kelas 2 SD pindah ke Bandung hingga kenaikan kelas 6 ia pindah ke Jakarta. Pertengahan kelas 8 SMP, ia pindah ke Balikpapan dan sekarang ia pindah lagi ke Jakarta.

Sebenarnya Alena tidak suka dengan keadaan seperti ini. Namun, pekerjaan Budi yang hanya karyawan di sebuah perusahaan swasta, membuat Alena mau tak mau harus mengikuti ke mana pun papanya dipindahtugaskan. Alena belajar menerima, toh, papa bekerja untuk dirinya.

Namun, sejak mama dan kakaknya meninggal, papa jadi lebih protektif padanya. Mengiriminya pesan hingga menelepon berkali-kali jika ia terlambat pulang. Lebih parah lagi, papa sering minta tolong pada temannya yang dikenalnya untuk membantu mengawasi. Seperti Riga kemarin, contohnya. Papa meminta tolong laki-laki itu untuk mengawasinya. Pada akhirnya ia hanya bisa pasrah karena jawaban Riga.

“Om Budi nitipin lo ke gue,” ucap Riga saat di perjalanan pulang kemarin.

“Tolak aja. Lagian lo bukan bodyguard.”

“Gue udah terlanjur bilang iya.”

“Yah, gue kan nggak mau diawasin. Gini aja, deh, kalo misal Papa nanyain gue gimana-gimana, lo jawab yang baiknya aja, ya?"” sahut Alena. Ia benar-benar tidak mau diawasi.

“Bohong dosa, Al,” peringat Riga.

“Ya, udahlah terserah lo.”

Alena menghela napas pelan mengingat percakapan mereka kemarin. Riga susah sekali diajak bohong. Padahal, kan bohong demi kebaikannya juga.

Dan sekarang di sinilah Alena, di depan gerbang SMA Angkasa sambil menatap bangunan besar serupa universitas di depannya.

Maaf, Neng ini siapa, ya? Ada perlu apa di sini?”

Pertanyaan itu menyadarkan Alena. Gadis yang rambutnya sudah dicat hitam itu pun menoleh dan tersenyum pada pria gundul dengan pakaian security.

“Saya murid baru, Pak. Kenapa, ya?”

Oh murid baru. Pantesan wajahnya asing. Kalau begitu silakan masuk, Neng.” Satpam bernama Joko itu pun mempersilakan.

“Maaf, Pak, tapi kalau boleh tahu ruangan kepala sekolah di mana, ya?”

“Ruang kepala sekolah itu di lantai satu gedung utama. Eneng masuk lewat pintu kaca itu aja, terus belok kanan nanti ada tulisannya Ruang Kepala Sekolah,” jelas satpam tersebut.

Alena mengangguk paham dan mengucapkan terima kasih. Setelahnya, ia segera menuju bangunan yang dimaksud Pak Joko. Menyusuri paving block yang panjangnya hampir seratus meter sambil mulutnya menggerutu.

“Kok bisa, sih, Kak Luna dulu ngebet banget pengen masuk sini? Ini belum apa-apa, udah capek duluan. Gimana nanti? Tersiksa kali, ya?”

Namun, begitu sampai ruangan kepala sekolah, beliau belum datang. Alhasil, Alena keluar gedung. Jalan-jalan bentar kayaknya bukan ide yang buruk.

SMA Angkasa benar-benar besar. Total bangunan di sini saja ada enam gedung, itu pun empat gedung di antaranya memiliki tiga lantai. Gedung utama ada ruang kepala sekolah, guru dan para staf.

Gedung A ada ruang laboratorium, perpustakaan, ruang OSIS, UKS, dan gudang yang letaknya agak menjorok ke dalam. Gedung B merupakan kelas jurusan IPA dengan lantai satu untuk kelas dua belas, lantai dua kelas sebelas, dan lantai tiga untuk kelas sepuluh. Gedung C merupakan kelas jurusan IPS dengan pembagian lantainya sama seperti jurusan IPA.

Di antara gedung B dan C terdapat lapangan utama. Gedung D merupakan gedung ekskul, serta gedung E adalah aula. Bangunan kantin ada di utara gedung IPS dan lapangan basket.

Jam di layar ponsel Alena sudah menunjukkan pukul 06.45, ia pun menyudahi acara tour-nya dan kembali ke ruang kepala sekolah. Sepanjang koridor yang ia lewati sudah mulai ramai. Tak sedikit pula murid yang menatapnya penasaran. Meski risi, tapi ia berusaha bersikap biasa saja. Sesekali ia menyunggingkan senyum.

Setidaknya kalau ragu buat nyapa orang baru, mending kasih senyum aja, begitu prinsipnya.

Brak!

“Aduh!” ringis Alena saat tubuh bagian belakangnya membentur lantai koridor yang dingin. Ia mencoba bangkit saat tiba-tiba sebuah tangan terulur di hadapannya. Dengan cepat, ia meraih uluran tangan tersebut.

“Maka—Lo”

“Lo!” ujar mereka bersamaan.

Dia lagi.

“Lo pacarnya Gamma, kan?” tanyanya saat sudah bisa mengontrol keterkejutannya.

“Ah, iya, gue pacarnya Gamma. Sorry, tadi gue nggak sengaja nabrak lo. Lo nggak apa-apa, kan?” jawab Nada memastikan.

Ya, orang yang menabraknya tadi adalah Nada. Gadis yang kemarin di toko buku.

“Iya, gue nggak apa-apa. Thanks, udah ditolongin,” jawabnya seraya mengulas senyum manisnya.

Nada mengangguk. “By the way, lo sekolah di sini?”

“Iya, gue sekolah di sini. Tepatnya gue murid baru mulai hari ini. Salam kenal, ya, gue Alena. Lo Nada, kan?”

“Eh, kok tau nama gue Nada?”

Nametag lo.”

Nada menepuk dahinya lalu tertawa. “Oh iya ya gue lupa. Iya, salam kenal juga.”

“Kalau gitu gue duluan, mau ke ruang kepala sekolah soalnya,” pamit Alena.

“Udah tau ruangannya? Kalau belum gue bisa nganterin lo,” tawar Nada, tapi Alena menggeleng.

“Nggak perlu, makasih. Tadi udah keliling bentar jadi dikit banyak gue tau beberapa tempat di sini,” tolaknya. “Ya, udah gue duluan. Bye, Nada.”

Setelahnya Alena bergegas menuju ruang kepala sekolah. Di sana ia harus menunggu kepala sekolah yang sedang membahas data siswa dengan salah satu guru.

“Jadi, kamu murid baru itu?” tanya Pak Sandi, kepala sekolah SMA Angkasa. Pria bertubuh gemuk itu duduk di kursinya sambil melihat lembaran kertas di meja. Entah tentang apa.

“Iya, Pak. Saya Alena Titania,” jawab Alena sopan. Tak lupa ia menyunggingkan senyum manisnya.

Pak Sandi mengangguk. “Baiklah, berdasarkan data yang saya dapat dari pihak TU, kamu masuk di kelas XI IPA 2. Perkenalkan ini Pak Anwar, beliau adalah wali kelas kamu,” jelas Pak Sandi seraya memperkenalkan pria berusia sekitar lima puluhan dengan tubuh kurus. Beliau tersenyum pada Alena.

Baru juga masuk, udah dapet guru killer, wali kelas pula.

“Saya Pak Anwar, wali kelas sekaligus guru Matematika kelas 11 IPA. Kalau begitu kami pamit, Pak. Saya mau mengantar Alena ke kelas. Permisi,” pamit Pak Anwar sopan. “Ayo, Alena saya antar ke kelas kamu.”

“Silakan.”

Alena mengikuti Pak Anwar dari belakang. Alasan utamanya, karena ia takut dengan wajah wali kelasnya yang terlihat killer. Dalam hati ia kembali menggerutu setelah tadi kakinya pegal karena jalanan menuju gedung yang lumayan panjang.

Saat akan masuk gedung jurusan IPA, seorang guru menyapa Pak Anwar. Guru berjilbab itu ternyata adalah guru Biologi yang kebetulan akan mengajar di kelasnya.

**

Entah ada yang salah atau memang ini hanya perasaannya saja, Alena sedikit merasa gugup. Mendadak ada keraguan di hatinya saat menginjakkan kaki di lantai dua. Koridor itu sepi, maklum bel pelajaran sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu. Alena berjalan di belakang Bu Arum dan Pak Anwar.

Langkah Alena perlahan melambat saat pandangannya menangkap sosok yang tidak asing berada di kelas yang akan dituju. Gadis itu hanya menatap lurus ke depan dan tampaknya teman sebangku gadis itu berkali-kali memanggil sambil menggoyangkan lengannya.

Oh My God! Sama aja mimpi buruk ini!

**

“Alena, ayo masuk.”

Alena tersentak kaget. Mengalihkan pandangannya dan mengangguk cepat. Alena menghela napas beberapa kali, lalu segera mengikuti kedua guru yang sudah lebih dulu masuk.

Kelas yang tadinya ramai pun seketika hening. Semua pandangan tertuju ke depan kelas. Tidak, lebih tepatnya ke arah Alena. Bagaimana tidak, gadis berkulit putih bersih itu bak dewi yang turun dari langit. Sempurna tanpa cacat sedikit pun.

Alena mengerjap memastikan apa yang dilihatnya. Ternyata tidak cuma ada Nada, tapi juga Riga. Tanpa sadar, ia mendesah kecewa. Gamma di kelas mana?

“Selamat pagi, anak-anak. Hari ini kelas kita kedatangan murid baru. Silakan kamu perkenalkan diri kamu,” ucap Pak Anwar yang berdiri di samping meja guru.

“Baik, terima kasih, Pak.” Alena maju selangkah. Gadis itu menyapukan pandangan ke seluruh murid di kelas XI IPA 2 kemudian tersenyum manis. “Hai semua. Perkenalkan nama saya Alena Titania. Panggil saja Alena. Saya pindahan dari Balikpapan. Salam kenal, mohon bantuannya. Terima kasih.”

Namun, keheningan tadi tidak bertahan lama. Buktinya setelah Alena memperkenalkan diri, para laki-laki di kelas ini berubah berisik.

“Hai, Alena. Udah punya pacar belum?”

“Alena rumahnya mana?”

“Neng Alena bagi nomor W*, dong.”

“Heh, sudah-sudah! Kalian ini kalau ada cewek cantik aja langsung gercep. Giliran Bapak kasih tugas ngeluhnya aja yang gercep, tapi enggak ngerjain. Gimana, sih?”

“Yah, itu mah beda, Pak. Masa cewek disamain sama tugas.”

“Sudah, diam kalian! Sekarang lanjut belajar, kenalannya bisa dilanjut saat istirahat. Alena, kamu bisa duduk di bangku sebelah Via,” ucap Pak Anwar seraya menunjuk bangku kosong di deretan sebelah Nada, baris keempat. Tepat di belakang Riga.

“Kalau begitu saya permisi dulu. Bu Arum silakan lanjutkan pelajarannya. Ini murid saya kalau bertindak macam-macam, dikasih hukuman saja tidak apa-apa, Bu. Saya ikhlas. Permisi,” pamit Pak Anwar yang justru malah disoraki murid sekelas.

Ada-ada saja wali kelasnya itu.

Alena segera melangkah ke bangku yang tadi ditunjuk wali kelasnya. Tanpa sengaja tatapannya bertemu pandang dengan Nada. Gadis itu mengulas senyum tipis pada Alena.

“Hai, Nada. Kita ketemu lagi.”

**

Keinginan pertama Alena sejak berangkat tadi pagi adalah bertemu dengan Gamma, mantan pacarnya sewaktu SMP. Enam bulan hubungan mereka, itu sudah cukup membekas di ingatannya. Ada sesal menyusup saat mengingat hal itu. Kesalahannya di masa lalu membuat Gamma membencinya hingga menyebabkan hubungan keduanya berakhir. Dan sekarang ia ingin menebus semuanya. Meskipun ia tahu sekarang Gamma sudah punya pacar, tapi ia merasa tetap harus menemuinya.

Namun, ternyata semua keinginannya itu tidak semudah itu diwujudkan. Alena pikir satu kelas dengan Nada bisa membuatnya cepat bertemu Gamma lagi. Biasanya kan cowok akan ke kelas ceweknya untuk diajak ke kantin bersama atau hanya sekadar ngobrol saja. Tapi ternyata tidak. Bahkan sampai jam istirahat kedua pun Gamma tidak ke kelasnya. Nada sendiri juga pergi ke kantin bersama teman sebangkunya, yang bernama Manda.

Kalau begini terus kapan ia bisa ketemu Gamma? Ia saja tidak tahu di mana kelas Gamma. Tidak mungkin juga, dia bertanya pada Nada, yang ada Nada akan berpikiran buruk tentangnya nanti.

Bosan. Seharusnya tadi ia menerima ajakan Via ke kantin. Kelas sepi dan sekarang hanya ada dirinya dan Riga saja di kelas.

“Riga?” panggil Alena.

Laki-laki yang sedang sibuk dengan ponselnya itu menatap Alena dengan alis terangkat.

“Ah, nggak jadi.” Alena sendiri juga bingung kenapa tiba-tiba memanggil Riga. Ia tadi hanya bosan dan tidak tahu mau ngapain. “Lo nggak ke kantin, Ri?”

“Enggak. Kenapa?”

“Nggak apa-apa. Nanya doang,” jawab Alena lalu memilih memainkan ponselnya.

Jujur, Alena masih canggung mengobrol dengan Riga meskipun kemarin mereka sudah bertemu, tapi tetap saja canggung. Faktor lama tidak bertemu ditambah tidak pernah saling bertukar kabar sejak hari ia pindah mungkin adalah alasannya.

“Lo sendiri kenapa nggak ngantin?”

Alena mendongak. Menatap Riga lurus lalu menggeleng pelan. “Males, Ri. Masih canggung jadi murid baru. Padahal biasanya enggak gini.”

“Males atau takut ketemu Gamma?”

Deg.

“Gamma sekolah di sini?”

Oke, ini pertanyaan konyol.

Riga hanya menjawabnya dengan gumaman.

“Gamma di kelas mana?” tanya Alena antusias.

Hening tak kunjung ada jawaban. Hingga akhirnya suara Riga memecah keheningan di antara keduanya.

“Al?”

“Iya?”

“Jangan ganggu Gamma lagi.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status