Sekotak donat sudah berpindah dari tangan penjaga toko roti ke tangan Alena. Sekarang, ia ingin segera pulang. Membaca buku sambil ditemani sekotak donat pasti menyenangkan, begitu rencananya.
Namun, baru saja tangannya mendorong keluar pintu, pandangannya langsung tertuju pada sebuah butik yang terletak tepat di seberang toko roti, tempatnya berada sekarang. Ralat, lebih tepatnya pada sosok laki-laki berjaket abu-abu yang sedang memarkir motornya di pelataran parkir butik tersebut.
Ponsel yang rencana digunakan untuk memesan ojek online pun segera ia masukkan ke dalam tas dan tanpa membuang waktu lagi, Alena berlari menuju butik tersebut.
Masa bodoh dengan donatnya yang terombang-ambing karena dibawanya berlari. Toh, sekalipun nanti topping-nya tercampur, donatnya masih enak dimakan.
“Gam! Gamma!”
Dua kali, panggilannya tidak mendapat respons. Laki-laki yang dipanggilnya itu malah melangkah menuju pintu butik setelah menyapa seorang satpam.
Alena menyusul tanpa memperhatikan jalan. Kebiasaan Alena yang akan melupakan sekitar jika sudah fokus pada satu hal. Untung saja jalanan itu sedang sepi, jadi tidak sampai kejadian kecelakaan karena Alena tiba-tiba menyeberang.
Alena tidak menyerah. Ia mencoba peruntungan sekali lagi.
“GAMMA!”
Berhasil! Teriakan Alena berhasil menahan langkah Gamma tepat dua langkah sebelum mencapai pintu butik.
Sudut bibir Alena terangkat. Ia mengembuskan napas lega dan segera menghampiri Gamma yang kini menatapnya dengan tatapan kaget. Ia bahkan tidak peduli dengan orang-orang yang menatapnya aneh. Fokusnya hanya pada Gamma.
“Gamma, ih! Dipanggil dari tadi juga kenapa nggak nengok-nengok, sih?” gerutu Alena ketika sudah sampai di hadapan Gamma.
“Ngapain ke sini?” Begitu respons pertama Gamma.
“Jutek banget, sih, Gam. Tadi aku habis dari toko roti di depan sana beli donat, terus aku lihat kamu di sini, makanya aku samperin. Kamu nggak suka, ya aku samperin ke sini?”
“Enggak. Udah deh, nggak usah basa-basi. Jujur aja, ada perlu apa lo ke sini?”
Hati Alena mencelos mendengar kata demi kata yang keluar dari mulut Gamma. Nada bicaranya terkesan dingin dan tidak ada tanda-tanda keramahan sama sekali. Benar-benar berbeda dengan Gamma yang ia kenal dulu.
Rasa kecewanya semakin menyerang saat menyadari Gamma menggunakan kata ‘lo’ dalam bicaranya. Padahal dulu, semarah apa pun Gamma padanya, laki-laki itu tidak pernah menggunakan panggilan tersebut ketika berbicara dengannya.
Mungkinkah itu karena Gamma terbiasa dengan pergaulannya yang sekarang?
“Gam?”
“Apa?”
“Kamu nggak kangen sama aku, Gam? Kita kan sudah lama nggak ketemu.” Pandangan Alena masih setia tertuju pada iris cokelat Gamma. Iris cokelat yang selalu jadi candu bagi Alena untuk terus memandang laki-laki itu.
Gamma berdecak. “Kalau cuma itu tujuan lo ke sini, mending lo pulang aja. Dan satu lagi, gue sama sekali nggak kangen sama lo,” tegasnya lalu beranjak pergi. Namun, tangan Alena lebih dulu menahannya.
“Tapi, Gam—”
“Lepas!” desis Gamma seraya menyentak kasar tangan Alena.
“Gam! Gamma, tunggu!”
Namun, Gamma mengabaikan seruan Alena. Laki-laki itu tetap melangkah masuk ke butik tanpa memedulikan Alena yang masih tetap di posisinya sambil menatap punggung Gamma yang kian menjauh.
Alena tersenyum tipis. Sungguh, ia tidak menyangka orang yang selama ini ia harapkan, malah bersikap seperti ini kepadanya.
Perasaannya tidak karuan sekarang. Antara senang karena bisa bertemu Gamma lagi, dan juga kecewa karena Gamma mengabaikannya, kini menjadi satu.
Alena mengembuskan napas pelan, ia lantas berbalik pergi. Tidak peduli jika cairan bening yang sejak tadi ditahannya pun mulai membasahi pipinya.
Jujur, dalam hati Alena masih berharap Gamma tiba-tiba berbalik dan memanggil namanya. Sekadar minta maaf atas sikap dinginnya barusan atau mungkin pada akhirnya Gamma menawarkan makan bersama sebagai permintaan maafnya.
Namun, ekspektasi selalu lebih tinggi daripada realita yang ada. Karena buktinya, sampai Alena mencegat dan masuk ke dalam taksi, Gamma tidak juga keluar.
“Sebenci itukah kamu sama aku, Gam?”
**
“Kalau jalan itu fokus, jangan melamun. Bahaya!”
Sindiran itu nyatanya tidak berhasil membangkitkan kesadaran seorang gadis. Hingga suara deru motor dari arah kanan dibarengi suara tarikan serta kalimat sarkas, berhasil mengembalikan kesadarannya.
“Sejak kapan, sih lo hobi melamun sambil jalan? Bahaya, Al!”
Alena mengerjap. Ia meringis menatap sekitarnya. Lagi-lagi di pinggir jalan.
“Sori, makasih udah nolongin gue,” ucapnya.
“Maafnya jangan ke gue, tapi ke diri lo sendiri. Kalau diri lo sampai kenapa-napa itu salah lo. Salah lo karena jalan sambil melamun dan membahayakan diri sendiri atau bisa juga membahayakan nyawa orang lain.”
“Iya-iya, gue minta maaf ke diri gue. Nggak usah pakai marah-marah, dong. Lagian kenapa sih lo jadi galak gini sama gue? Mana Riga yang dulu—”
“Jangan bahas masa lalu, Al,” potong Riga cepat.
“Lo masih kepikiran soal itu, Ri?” tanya Alena mengerti ke mana maksud ucapan laki-laki itu.
Alena menghela napas. “Riga, udah. Kejadian dulu itu kesalahan kita, bukan cuma lo doang. Jangan hanya karena masalah itu, terus lo jadi berubah gini sama gue. Gue sedih, Ri. Masa sahabat-sahabat gue nggak ada yang peduli lagi sama gue, sejak gue datang?”
“Al—”
“Ri, lo nggak bisa kayak gini. Ini bukan Riga yang gue kenal,” ucap Alena seraya menatap tepat di manik mata Riga. Ada sorot keraguan terpancar di sana.
“Lo nggak tau apa-apa, Al. Biarin gue ngelakuin apa yang seharusnya gue lakuin.”
Dasar keras kepala!
“Oke, terserah. Tapi gue mohon lo jangan berubah. Tetap jadi Riga yang gue kenal, sekarang ataupun nanti, ya?”
Riga tak menjawab.
“Oh iya, sama satu lagi. Minta tolong sekalian anterin gue pulang, ya? Gue capek,” pinta Alena sambil memasang wajah memelas.
Riga berdecak. “Dasar manja!”
“Manja, tapi lo suka, kan?”
**
Alena pikir dengan kembali ke Jakarta, ia bisa bertemu Gamma dan memperbaiki kesalahannya di masa lalu. Namun, ternyata tidak. Gamma dengan jelas menunjukkan rasa tidak suka akan kehadirannya dan mengganti panggilan ‘aku-kamu’ menjadi ‘gue-lo’ saat berbicara dengannya.
Gamma seperti sedang membangun tembok tinggi yang sudah dirobohkan Alena. Pun sorot matanya juga dipenuhi kilatan amarah saat menatap Alena.
Alena akui sikapnya dulu memang salah, tapi ia tak menyangka kebencian Gamma berlanjut sampai sekarang. Padahal sudah sekitar dua tahun Alena pergi dari kehidupan laki-laki itu. Meskipun sudah terpisah selama itu, tapi perasaan Alena pada Gamma tetap tumbuh di hati kecilnya.
Sebenarnya tidak hanya Gamma saja yang mengganggu pikiran Alena, ada Riga juga. Sahabatnya itu juga berubah cuek, sarkas, dan dingin. Sangat berbeda dengan Riga yang Alena kenal dulu.
Alena yakin pasti ada sesuatu yang terjadi di antara mereka setelah kepindahannya ke Kalimantan dulu, mengingat sikap mereka yang berubah padanya. Jika cuma canggung karena lama tidak bertemu itu wajar, tapi entah kenapa ia merasa ada hal lain yang membuat mereka jadi seperti ini.
Belum lagi tentang obrolannya dengan Riga kemarin semakin mengganggu pikirannya.
“Jangan ganggu Gamma lagi.”
“M-maksudnya?”
“Lo jangan ganggu Gamma lagi.”
“Kenapa? Gue cuma pengen ketemu Gamma emang nggak boleh? Gue kangen banget sama dia, Ri.”
“Nggak usah berharap lebih sama Gamma. Dia udah move on dari lo.”
“Tapi perasaan gue buat dia masih sama, Ri. Lo nggak bisa ngelarang gue.”
“Jangan keras kepala, Al. Gamma berhak bahagia. Nggak cukup apa lo bikin dia down, terus lo balik lagi seolah semuanya baik-baik aja?”
“Alasan utama gue balik ke sini itu karena dia, Ri. Gue mau memperbaiki kesalahan gue dulu. Gue pengin semuanya balik kayak dulu lagi. Emangnya salah, ya?”
“Lo nggak salah, tapi lo dateng di saat yang nggak tepat. Gamma udah move on. Dia udah nemuin kebahagiaannya. Jadi, daripada lo sakit hati mending lo lepasin dia. Relain dia sama orang lain.”
“Apa lo masih suka sama gue, Ri?”
“Tau ah pusing! Pokoknya besok gue harus bisa ketemu Gamma gimana pun caranya,” geramnya sambil melempar bolpoin ke atas meja. Tugas Matematika saja sudah bikin pusing ditambah lagi kepikiran dua sahabatnya itu, jelas makin membuatnya pusing.
Getaran singkat dari ponselnya mengalihkan perhatian Alena dari buku paket. Cewek itu segera meraih ponselnya dan mengecek notifikasi. Sudut bibirnya terangkat saat mendapati siapa si pengirim pesan.
Bara
[Hai, Len. Apa kabar? Om Budi sehat? Sori, baru chat sekarang, beberapa hari ini sibuk soalnya. Gimana di sana? Aman kan?]
Alena
[Aku baik kok, Bar. Papa juga sehat. Kamu sendiri gimana? Om sama Tante apa kabar? Iya gak papa kok. Tenang aja. Di sini aman.]
Bara
[Kita semua baik, Len. Syukurlah kalo di sana kamu baik-baik aja. Aku turut senang.]
Alena
[Makasih Bara. Aku juga udah ketemu sama sahabat lamaku. Sumpah aku kangen banget sama mereka, Bar.]
Bara
[Sahabat cowok yang pernah kamu ceritain dulu?]
Alena
[Iya, yang sering aku ceritain ke kamu dulu. Tapi aneh deh, Bar. Mereka tuh kayak ada yang disembunyikan gitu loh, tapi aku nggak tau apa.]
Bara
[Pikiran kamu doang mungkin. Udah gak usah dipikirin. Fokus sama sekolah kamu aja. Ya udah kalo gitu istirahat gih. Jangan lupa makan.]
Alena
[Oke, siap.]
Mungkin Bara benar. Ini hanya pikirannya saja dan belum tentu dugaannya benar. Kita masih tidak tahu apa yang terjadi setelah ini. Masih ada banyak kejutan yang disiapkan Sang Pencipta pada makhluk-Nya.
Alena menghela napas pelan, melakukan peregangan sebentar lalu beranjak. Lebih baik ia tidur. Otaknya sedang tidak bisa diajak kerja sama.
Laki-laki dan soal matematika benar-benar menguras tenaga dan pikirannya.
***
“Gila, panas banget! Kipas anginnya kenapa pakai mati segala, sih? Bisa gosong dong gue,” keluh Manda seraya mengipaskan kedua telapak tangannya ke wajah. Cuaca hari ini begitu panas, bahkan terasa lebih panas dari biasanya, padahal waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Hal ini membuat Alena bersama dua teman barunya—Nada dan Manda— langsung ke kantin tepat sesaat setelah bel istirahat berbunyi. Sebenarnya Alena masih canggung bersosialisasi dengan teman-teman sekelasnya. Namun, Nada—pacar Gamma— terus membujuknya supaya mau ke kantin. Katanya biar mereka bisa lebih akrab sekalian mengobrol, ditambah lagi Via, teman sebangkunya tidak masuk, jadi mau tak mau Alena pun menyetujuinya. Alena pikir ia akan cukup sulit berteman dengan mereka, mengingat Nada adalah pacar dari orang yang disukainya. Namun, ternyata ia salah. Berteman dengan dua gadis itu ternyata bukan pilihan yang buruk. Mereka sama-sama bisa mencairkan suasana, terutama Manda. Jika Na
“Gimana sekolah kamu?” tanya Budi suatu pagi di tengah kegiatan sarapan mereka. “Lancar, Pa. Cuma lagi banyak tugas aja,” jawab Alena lalu memasukkan potongan kornet ke mulutnya. Budi menanggapinya dengan anggukan, paham. “Jangan terlalu diforsir ya, Len. Kalau sekiranya kamu merasa nggak enak badan, langsung istirahat biar nggak sampai drop. Terus jangan lupa vitaminnya diminum.” Alena meraih gelas air putih di hadapannya dan meneguknya sedikit. “Papa dan Bara tuh sama aja, ya? Sama-sama suka nyuruh Lena ini itu. Padahal tanpa disuruh pun, aku juga akan kontrol aktivitasku sendiri kok, Pa. Kondisi Lena, cuma Lena sendiri yang tahu. Dan Papa seharusnya juga nggak perlu kasih tahu Bara tentang kemarin. Sekarang, dia jadi ikutan ngomelin aku, Pa.” “Bagus, dong kalau begitu. Setidaknya Bara bisa jadi wakil Papa kalau omelan Papa sama sekali nggak kamu dengerin.” Awalnya Alena merasa biasa saja dengan sikap Bara tersebut. Namun, ia tid
“Riga, ada yang mau gue omongin sama lo.”Riga yang tengah membereskan buku-bukunya pun menoleh. Kelas sudah sepi, hanya tinggal Alena dan Riga saja. Laki-laki itu menatap Alena dengan alis terangkat.Alena berdeham sebentar lalu kembali menatap Riga. “Lo suka sama Nada?” tanyanya to the point.“Nada?” Riga bertanya memastikan.“Iya. Lo suka sama dia, kan? Ngaku aja, deh.”“Kalau gue suka sama Nada, kenapa?”Pertanyaan Riga sontak membuat Alena tersentak kaget. Entah harus senang atau sedih, ia sendiri bingung. Mendadak ia teringat sesuatu.“Jadi, lo belum tahu soal ini?”“Itu apa sih, Al? Kalau ngomong yang jelas.” Riga kesal sendiri, ia benar-benar tidak mengerti ke mana arah pembicaraan gadis itu.“Lo nggak tahu kalau Nada pacaran sama Gamma?”“Pacaran?” Alena mengangguk cepa
Entah kenapa, perasaan Alena pagi ini jauh lebih baik daripada hari-hari sebelumnya. Mungkin karena efek bisa menghabiskan waktu bersama Gamma di luar jam sekolah, ia jadi merasa sesenang ini. Oh, terima kasih kepada Tante Farah yang sudah menyuruh Gamma menjemputnya pulang sekolah, demi bisa bertemu dengannya.Langkah kakinya begitu ringan menyusuri jalanan paving menuju gedung sekolah. Sebenarnya, Alena ingin langsung ke kelas, tapi ia mengurungkan niatnya ketika melihat Nada duduk sendirian di salah satu meja kantin. Alena pun menghampirinya.Nada memakan makanannya tanpa minat. Akhir-akhir ini Alena memang sering melihat Nada sedikit murung, begitu juga dengan Manda. Entah apa yang sudah terjadi di antara kedua sahabatnya itu, ia sama sekali tidak tahu. Baik Nada ataupun Manda, mereka tidak mengatakan tentang masalah apa yang sedang mereka hadapi sekarang.Alena pun menemani Nada di kantin. Alena memilih
Dari semua hal yang di sekolah, bel pulang menjadi sesuatu yang paling ditunggu oleh semua murid dan mungkin para guru juga. Jika bel istirahat seperti oase di tengah gurun pasir, bel pulang seperti lautan luas yang ditemukan setelah perjalanan jauh melewati gurun pasir tersebut. Murid-murid akan berhamburan keluar kelas setelah bel pulang berbunyi. Sama seperti yang terjadi di kelas Alena sekarang. Bel berbunyi dan guru mata pelajaran terakhir baru saja keluar, tapi teman-teman sekelasnya sudah ramai keluar kelas. Beberapa lainnya masih sibuk bersiap-siap di bangku masing-masing. “Len, lo dijemput, kan? Ayo ke depan bareng.”Ajakan Via langsung disetujui oleh Alena. Gadis itu segera memasukkan buku dan alat tulisnya ke tas, lalu mencangklong tasnya seraya beranjak dari kursinya. “Ayo, Vi.”Alena ingin cepat pulang juga. Tadi pagi papanya bilang kalau beliau akan pulang cepat dari kantornya dan mengajak Alena makan di luar. Lagian, siapa pula ya
Hujan di pagi hari selalu berhasil membangkitkan hawa malas bagi kebanyakan orang. Dinginnya udara membuat mereka lebih memilih menenggelamkan diri di balik selimut tebal daripada bangun dan melakukan rutinitas masing-masing.Hal itu juga yang dilakukan Riga sekarang. Hujan yang mengguyur kota sejak dini hari tadi—bertepatan dengan ia akan pergi tidur setelah menyelesaikan PR Biologi—membuat laki-laki enam belas tahun itu kembali menarik selimutnya hingga menutupi leher. Riga kembali terlelap dengan dengan nyaman.Masa bodoh dengan sarapan, yang penting sekarang ia ingin tidur. Lagi pula, siapa yang akan memarahinya hanya karena tidur di hari libur yang hujan ini? Tidak ada. Lebih tepatnya, tidak ada orang di rumahny, selain ia sendiri, sampai beberapa hari ke depan.Setidaknya itu yang Riga yakini sebelum suara ketukan pintu terdengar berulang dan disusul decitan pintu yang dibuka secara tidak sabar, mengusik ketenangan paginya.“Ayah&h
Awan hitam menggantung di langit, siap untuk menumpahkan semua air yang ditampungnya. Setelah gagal mengajak Nada pulang bersama, Riga melajukan motornya menuju salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Tidak, bukan untuk belanja, tapi untuk bekerja. Riga bekerja paruh waktu di sebuah kafe yang dikelola oleh tantenya sendiri. Star Café, Namanya.Jika ada yang bertanya apa Riga malu bekerja di kafe? Laki-laki itu pasti menjawab tidak. Bagi Riga, daripada pergi jalan-jalan tidak jelas dengan uang dari orang tua, lebih baik ia bekerja di kafe saja. Lumayan, bisa untuk mencari pengalaman kerja dan gajinya bisa untuk ditabung.“Hai, Riga. Baru datang, ya?” Seorang laki-laki bertubuh kurus dan berambut cepak, menyapa Riga di depan kafe. Laki-laki bernama Tama itu sedang membersihkan salah satu meja yang baru saja ditinggalkan pembeli.“Iya, baru pulang sekolah tadi. Gue masuk dulu, ya, Bang. Mau ganti baju,” pamit Riga yang langsung diac
Riga sadar semakin hari perasaannya untuk Nada semakin besar. Ia benar-benar menyukai Nada. Karenanya, berbekal saran dari teman-teman kerjanya, Riga ingin mencari peruntungan untuk bisa semakin dekat dengan gadis itu. Ia ingin membuat Nada benar-benar nyaman bersamanya.Hari ini, Riga berencana mengajak Nada pulang bersama. Sayangnya, ketika ia akan menyampaikan ajakannya tersebut, seseorang justru lebih dulu mengajak Nada pulang bersama. Awalnya Riga merasa tidak yakin Nada akan menerima ajakan tersebut, tapi ternyata gadis itu menerimanya tanpa paksaan.Sial! Ia kalah cepat dari Gamma.Lebih yang lebih sialnya lagi, Pak Ganjar justru memanggilnya ke ruang guru hanya untuk membantu mengembalikan buku ke perpustakaan. Mau tak mau Riga mengiakan permintaan gurunya tersebut walaupun dalam hati ia ingin tahu ke mana perginya Nada dan Gamma tadi.Setelah mengembalikan semua buku tadi, Riga bergegas pulang. Suasana hatinya yang tidak cukup baik karena pemanda