Share

4. Toko Roti dan Kekecewaan

Sekotak donat sudah berpindah dari tangan penjaga toko roti ke tangan Alena. Sekarang, ia ingin segera pulang. Membaca buku sambil ditemani sekotak donat pasti menyenangkan, begitu rencananya.

Namun, baru saja tangannya mendorong keluar pintu, pandangannya langsung tertuju pada sebuah butik yang terletak tepat di seberang toko roti, tempatnya berada sekarang. Ralat, lebih tepatnya pada sosok laki-laki berjaket abu-abu yang sedang memarkir motornya di pelataran parkir butik tersebut.

Ponsel yang rencana digunakan untuk memesan ojek online pun segera ia masukkan ke dalam tas dan tanpa membuang waktu lagi, Alena berlari menuju butik tersebut.

Masa bodoh dengan donatnya yang terombang-ambing karena dibawanya berlari. Toh, sekalipun nanti topping-nya tercampur, donatnya masih enak dimakan.

“Gam! Gamma!”

Dua kali, panggilannya tidak mendapat respons. Laki-laki yang dipanggilnya itu malah melangkah menuju pintu butik setelah menyapa seorang satpam.

Alena menyusul tanpa memperhatikan jalan. Kebiasaan Alena yang akan melupakan sekitar jika sudah fokus pada satu hal. Untung saja jalanan itu sedang sepi, jadi tidak sampai kejadian kecelakaan karena Alena tiba-tiba menyeberang.

Alena tidak menyerah. Ia mencoba peruntungan sekali lagi.

“GAMMA!”

Berhasil! Teriakan Alena berhasil menahan langkah Gamma tepat dua langkah sebelum mencapai pintu butik.

Sudut bibir Alena terangkat. Ia mengembuskan napas lega dan segera menghampiri Gamma yang kini menatapnya dengan tatapan kaget. Ia bahkan tidak peduli dengan orang-orang yang menatapnya aneh. Fokusnya hanya pada Gamma.

“Gamma, ih! Dipanggil dari tadi juga kenapa nggak nengok-nengok, sih?” gerutu Alena ketika sudah sampai di hadapan Gamma.

“Ngapain ke sini?” Begitu respons pertama Gamma.

“Jutek banget, sih, Gam. Tadi aku habis dari toko roti di depan sana beli donat, terus aku lihat kamu di sini, makanya aku samperin. Kamu nggak suka, ya aku samperin ke sini?”

“Enggak. Udah deh, nggak usah basa-basi. Jujur aja, ada perlu apa lo ke sini?”

Hati Alena mencelos mendengar kata demi kata yang keluar dari mulut Gamma. Nada bicaranya terkesan dingin dan tidak ada tanda-tanda keramahan sama sekali. Benar-benar berbeda dengan Gamma yang ia kenal dulu.

Rasa kecewanya semakin menyerang saat menyadari Gamma menggunakan kata ‘lo’ dalam bicaranya. Padahal dulu, semarah apa pun Gamma padanya, laki-laki itu tidak pernah menggunakan panggilan tersebut ketika berbicara dengannya.

Mungkinkah itu karena Gamma terbiasa dengan pergaulannya yang sekarang?

“Gam?”

“Apa?”

“Kamu nggak kangen sama aku, Gam? Kita kan sudah lama nggak ketemu.” Pandangan Alena masih setia tertuju pada iris cokelat Gamma. Iris cokelat yang selalu jadi candu bagi Alena untuk terus memandang laki-laki itu.

Gamma berdecak. “Kalau cuma itu tujuan lo ke sini, mending lo pulang aja. Dan satu lagi, gue sama sekali nggak kangen sama lo,” tegasnya lalu beranjak pergi. Namun, tangan Alena lebih dulu menahannya.

“Tapi, Gam—”

“Lepas!” desis Gamma seraya menyentak kasar tangan Alena.

“Gam! Gamma, tunggu!”

Namun, Gamma mengabaikan seruan Alena. Laki-laki itu tetap melangkah masuk ke butik tanpa memedulikan Alena yang masih tetap di posisinya sambil menatap punggung Gamma yang kian menjauh.

Alena tersenyum tipis. Sungguh, ia tidak menyangka orang yang selama ini ia harapkan, malah bersikap seperti ini kepadanya.

Perasaannya tidak karuan sekarang. Antara senang karena bisa bertemu Gamma lagi, dan juga kecewa karena Gamma mengabaikannya, kini menjadi satu.

Alena mengembuskan napas pelan, ia lantas berbalik pergi. Tidak peduli jika cairan bening yang sejak tadi ditahannya pun mulai membasahi pipinya.

Jujur, dalam hati Alena masih berharap Gamma tiba-tiba berbalik dan memanggil namanya. Sekadar minta maaf atas sikap dinginnya barusan atau mungkin pada akhirnya Gamma menawarkan makan bersama sebagai permintaan maafnya.

Namun, ekspektasi selalu lebih tinggi daripada realita yang ada. Karena buktinya, sampai Alena mencegat dan masuk ke dalam taksi, Gamma tidak juga keluar.

“Sebenci itukah kamu sama aku, Gam?”

**

“Kalau jalan itu fokus, jangan melamun. Bahaya!”

Sindiran itu nyatanya tidak berhasil membangkitkan kesadaran seorang gadis. Hingga suara deru motor dari arah kanan dibarengi suara tarikan serta kalimat sarkas, berhasil mengembalikan kesadarannya.

“Sejak kapan, sih lo hobi melamun sambil jalan? Bahaya, Al!”

Alena mengerjap. Ia meringis menatap sekitarnya. Lagi-lagi di pinggir jalan.

“Sori, makasih udah nolongin gue,” ucapnya.

“Maafnya jangan ke gue, tapi ke diri lo sendiri. Kalau diri lo sampai kenapa-napa itu salah lo. Salah lo karena jalan sambil melamun dan membahayakan diri sendiri atau bisa juga membahayakan nyawa orang lain.”

“Iya-iya, gue minta maaf ke diri gue. Nggak usah pakai marah-marah, dong. Lagian kenapa sih lo jadi galak gini sama gue? Mana Riga yang dulu—”

“Jangan bahas masa lalu, Al,” potong Riga cepat.

“Lo masih kepikiran soal itu, Ri?” tanya Alena mengerti ke mana maksud ucapan laki-laki itu.

Alena menghela napas. “Riga, udah. Kejadian dulu itu kesalahan kita, bukan cuma lo doang. Jangan hanya karena masalah itu, terus lo jadi berubah gini sama gue. Gue sedih, Ri. Masa sahabat-sahabat gue nggak ada yang peduli lagi sama gue, sejak gue datang?”

“Al—”

“Ri, lo nggak bisa kayak gini. Ini bukan Riga yang gue kenal,” ucap Alena seraya menatap tepat di manik mata Riga. Ada sorot keraguan terpancar di sana.

“Lo nggak tau apa-apa, Al. Biarin gue ngelakuin apa yang seharusnya gue lakuin.”

Dasar keras kepala!

“Oke, terserah. Tapi gue mohon lo jangan berubah. Tetap jadi Riga yang gue kenal, sekarang ataupun nanti, ya?”

Riga tak menjawab.

“Oh iya, sama satu lagi. Minta tolong sekalian anterin gue pulang, ya? Gue capek,” pinta Alena sambil memasang wajah memelas.

Riga berdecak. “Dasar manja!”

“Manja, tapi lo suka, kan?”

**

Alena pikir dengan kembali ke Jakarta, ia bisa bertemu Gamma dan memperbaiki kesalahannya di masa lalu. Namun, ternyata tidak. Gamma dengan jelas menunjukkan rasa tidak suka akan kehadirannya dan mengganti panggilan ‘aku-kamu’ menjadi ‘gue-lo’ saat berbicara dengannya.

Gamma seperti sedang membangun tembok tinggi yang sudah dirobohkan Alena. Pun sorot matanya juga dipenuhi kilatan amarah saat menatap Alena.

Alena akui sikapnya dulu memang salah, tapi ia tak menyangka kebencian Gamma berlanjut sampai sekarang. Padahal sudah sekitar dua tahun Alena pergi dari kehidupan laki-laki itu. Meskipun sudah terpisah selama itu, tapi perasaan Alena pada Gamma tetap tumbuh di hati kecilnya.

Sebenarnya tidak hanya Gamma saja yang mengganggu pikiran Alena, ada Riga juga. Sahabatnya itu juga berubah cuek, sarkas, dan dingin. Sangat berbeda dengan Riga yang Alena kenal dulu.

Alena yakin pasti ada sesuatu yang terjadi di antara mereka setelah kepindahannya ke Kalimantan dulu, mengingat sikap mereka yang berubah padanya. Jika cuma canggung karena lama tidak bertemu itu wajar, tapi entah kenapa ia merasa ada hal lain yang membuat mereka jadi seperti ini.

Belum lagi tentang obrolannya dengan Riga kemarin semakin mengganggu pikirannya.

“Jangan ganggu Gamma lagi.”

“M-maksudnya?”

“Lo jangan ganggu Gamma lagi.”

“Kenapa? Gue cuma pengen ketemu Gamma emang nggak boleh? Gue kangen banget sama dia, Ri.”

“Nggak usah berharap lebih sama Gamma. Dia udah move on dari lo.”

“Tapi perasaan gue buat dia masih sama, Ri. Lo nggak bisa ngelarang gue.”

“Jangan keras kepala, Al. Gamma berhak bahagia. Nggak cukup apa lo bikin dia down, terus lo balik lagi seolah semuanya baik-baik aja?”

“Alasan utama gue balik ke sini itu karena dia, Ri. Gue mau memperbaiki kesalahan gue dulu. Gue pengin semuanya balik kayak dulu lagi. Emangnya salah, ya?”

“Lo nggak salah, tapi lo dateng di saat yang nggak tepat. Gamma udah move on. Dia udah nemuin kebahagiaannya. Jadi, daripada lo sakit hati mending lo lepasin dia. Relain dia sama orang lain.”

“Apa lo masih suka sama gue, Ri?”

“Tau ah pusing! Pokoknya besok gue harus bisa ketemu Gamma gimana pun caranya,” geramnya sambil melempar bolpoin ke atas meja. Tugas Matematika saja sudah bikin pusing ditambah lagi kepikiran dua sahabatnya itu, jelas makin membuatnya pusing.

Getaran singkat dari ponselnya mengalihkan perhatian Alena dari buku paket. Cewek itu segera meraih ponselnya dan mengecek notifikasi. Sudut bibirnya terangkat saat mendapati siapa si pengirim pesan.

Bara

[Hai, Len. Apa kabar? Om Budi sehat? Sori, baru chat sekarang, beberapa hari ini sibuk soalnya. Gimana di sana? Aman kan?]

Alena

[Aku baik kok, Bar. Papa juga sehat. Kamu sendiri gimana? Om sama Tante apa kabar? Iya gak papa kok. Tenang aja. Di sini aman.]

Bara

[Kita semua baik, Len. Syukurlah kalo di sana kamu baik-baik aja. Aku turut senang.]

Alena

[Makasih Bara. Aku juga udah ketemu sama sahabat lamaku. Sumpah aku kangen banget sama mereka, Bar.]

Bara

[Sahabat cowok yang pernah kamu ceritain dulu?]

Alena

[Iya, yang sering aku ceritain ke kamu dulu. Tapi aneh deh, Bar. Mereka tuh kayak ada yang disembunyikan gitu loh, tapi aku nggak tau apa.]

Bara

[Pikiran kamu doang mungkin. Udah gak usah dipikirin. Fokus sama sekolah kamu aja. Ya udah kalo gitu istirahat gih. Jangan lupa makan.]

Alena

[Oke, siap.]

Mungkin Bara benar. Ini hanya pikirannya saja dan belum tentu dugaannya benar. Kita masih tidak tahu apa yang terjadi setelah ini. Masih ada banyak kejutan yang disiapkan Sang Pencipta pada makhluk-Nya.

Alena menghela napas pelan, melakukan peregangan sebentar lalu beranjak. Lebih baik ia tidur. Otaknya sedang tidak bisa diajak kerja sama.

Laki-laki dan soal matematika benar-benar menguras tenaga dan pikirannya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status