Arya memang lelaki yang sangat tidak suka melihat wanita lebay, menye-menye dan manja sepertiku, karena menurutnya wanita itu harus kuat dan pantang menyerah, jangan lemah dengan keadaan. Tapi, sebagai seorang wanita, air mata merupakan salah satu penghapus kesedihan untukku, dimana aku akan merasa lebih tenang dan damai setelah menumpahkan seluruh air mata yang jatuh membasahi pipiku.
"A-aku ti-dak menangis!" ucap ku dengan nada suara terbata-bata. "Bagaimana bisa tidak menangis, toh air mata mengalir membasahi pipi. Kamu ahli banget berbohong, belajar dimana?" ujar Arya sembari mencubit hidungku yang memang sangat jauh dari kata mancung. "Ini mah kelilipan!" Aku mencibir hingga lelaki tampan yang ada di depanku tersenyum. Ya, untuk sesaat aku merasa sangat terhibur dengan ocehan-ocehan ringan yang keluar dari lisan Arya, hingga rasa sakit yang kurasakan hilang walau untuk sesaat. "Yuk berdiri!" ucap Arya sembari mengulurkan satu tangannya kepadaku. Aku diam sembari menundukkan wajahku, bagaimana caranya diri ini untuk bangkit sementara tubuh ini tidak sanggup untuk berdiri. "Kania, apakah kamu benar-benar tidak bisa berdiri?" Arya mulai panik, dari wajahnya juga tergambar jelas sebuah penyesalan karena telah memarahi dan membentak ku, terlebih lagi aku tidak melakukan kesalahan apa-apa kepadanya. "Kania, maaf!" Arya menggendong tubuh mungilku seolah tanpa beban. "Turunkan aku!" ucapku protes sembari menggoyang-goyangkan kedua kakiku yang menjuntai. Namun Arya tidak mempedulikan ku, ia terus melangkah maju, hingga kini yang bisa kulakukan hanya diam dan pasrah saja dengan perlakuan lelaki itu. "Arya, apa yang kamu laku-," Belum selesai aku melanjutkan ucapanku, Arya sudah memotongnya. "Kania, sudah, jangan banyak bicara!" Aku terdiam, pasrah, karena mau tidak mau, suka tidak suka, aku harus menurut kepada Arya. Ku lingkarkan kedua tanganku di leher Arya sembari terus menatap wajah tampan lelaki yang ada di depanku itu, sementara Arya hanya terus melangkah maju tanpa menatapku sedikitpun. Entah apa yang ia rasakan, hanya saja sikap berbeda itu terkesan cuek, namun penuh perhatian kepadaku. "Kania, kita ke rumah sakit ya, sepertinya kamu terkilir," ujar Arya yang membuatku kikuk dan tidak bisa membantah lagi. "I-iya." Aku memalingkan wajahku dari Arya ketika mataku dan matanya saling bertemu untuk sesaat. Dak, dik, duk ... Jantungku berdetak luar biasa, seolah ada kelinci-kelinci kecil yang terperangkap hingga melompat-lompat disana. Perasaan berbeda yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. "Udah ah, jangan grogi, biasa aja!" Arya benar-benar sangat ahli membuatku salah tingkah hingga merasa rendah. "Iih, apaan sih!" Satu tanganku meninju dada Arya yang bidang. "Aw, sakit, Kania!" Aku seperti manusia yang tidak tahu terima kasih, seperti anak ular, sudah ditolong malah menggigit. "Kalau mau bantuin ya bantuin aja, jangan banyak gaya," ungkap ku dengan nada suara tinggi. Aku kesal dan tidak suka dengan sikap Arya kepadaku, walaupun sejujurnya sikap kasar ku ini karena salah tingkahku terhadap lelaki itu. "Sekarang duduk cantik ya!" Arya membaringkan ku di mobilnya, memperlakukanku dengan sangat baik penuh dengan kasih sayang. Hubunganku dan Arya memang tidak lebih dari sebatas sahabat, namun aku merasakan kasih sayang dan cinta yang tulus dari perlakuan Arya kepadaku, sikap manis yang membuatku merasa sangat nyaman sekali. Sudah lama sekali diri ini membatasi dekat dengan lelaki, karena rasa sakit dan trauma di masa lalu membuatku tidak ingin lagi menggantungkan harapan kepada manusia, tapi entah mengapa dengan Arya diri ini selalu bergantung, aku selalu bersikap manja kepadanya, mengganggunya dengan ocehan-ocehan receh yang sebenarnya tidak penting, bahkan aku hanya ingin berbagi suka dan duka ku dengan Arya, lantas sehari saja tidak ada kabar dari Arya membuatku menjadi gila. Aku dan ia seperti sendal, tidak sama tapi saling melengkapi. "Tunggu disini!" Arya menutup pintu mobil kemudian menyelamatkan motorku yang juga sudah mencium aspal. Kulihat Arya tengah menyelamatkan motorku dan membawanya ke tepi jalan. Ia menitipkan motor itu di salah satu rumah masyarakat. Arya kemudian berlari menghampiriku, membuka pintu mobil dengan gaya yang terlihat sangat cool, sungguh terlihat sangat tampan dan menawan. "Nia, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu ugal-ugalan di jalan?" tanya Arya di sela-sela perjalanan kami menuju rumah sakit. "Aku hanya lelah, aku hilang arah." Dengan santainya aku berbicara sesuka hati karena sejujurnya aku tidak lagi memiliki semangat untuk melanjutkan hidupku lagi. "Kania, siapakah lelaki itu?" Arya menghentikan mobilnya secara mendadak, hingga membuatku terkejut. "Apa-apain sih, Ya!" Aku membentak Arya sembari membelalakkan mataku kepadanya. Huft ... Arya menarik nafas panjang, kemudian memasang wajah serius kepadaku. "Kapan?" tanya Arya dengan pandangan tetap lurus ke depan, tapi aku memilih tetap diam sebab keadaan kami saat ini sangat tidak nyaman. Aku sangat tahu kalau pertanyaan Arya tertuju pada waktu pernikahanku. "Kapan, Kania?" tanya Arya sekali lagi. Pertanyaan yang terdengar seperti sebuah bom yang siap meledak tepat di depan wajahku. "Enam bulan lagi, setelah lebaran idul adha." Aku menunduk, memasang wajah sedih karena membahas pernikahan yang tidak diinginkan membuat hidupku tidak bersemangat. "Selamat, akhirnya kamu mendapatkan lelaki saleh seperti yang kamu inginkan, tidak seperti aku yang ilmu agamanya sangat dangkal." Kini giliran Arya yang memasang wajah sedih. Entah apa maksud dari sikap yang ia tunjukkan, ia memberikan selamat namun membandingkan dirinya dengan tunangan yang tidak kuinginkan. "Aku masih punya seratus delapan puluh hari lagi, bagaimana dengan rencana liburan kita ke Yogyakarta?" "Kita tetap akan berangkat." "Berangkat?" "Iya, kita akan pergi seperti rencana sebelumnya," ucap Arya dengan nada yang sangat meyakinkan. "Bisakah kita pergi dua bulan sebelum pernikahanku?" "Kenapa?" "Karena aku akan dipingit jika telah mendekati hari H." Aku dan Arya memang pernah merencanakan jalan-jalan ke Yogyakarta karena aku sangat penasaran dengan tempat kuliah dan kehidupan Arya selama di Yogyakarta. "Jika memang akan dipingit, pergilah dengan calon suamimu saja!" Wajah Arya memerah, ia menyetir kembali mobilnya dengan kecepatan tinggi seperti seorang pembalap, seolah sedang melampiaskan emosinya. "Arya, pelan-pelan, aku belum ingin mati!" Aku menghardik Arya, namun lelaki tampan itu sama sekali tidak mempedulikanku, ia tetap melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. "Arya, apa kamu cemburu?" Aku menatap wajah Arya dengan seksama, lelaki tampan itu terlihat salah tingkah dengan wajah memerah yang tertunduk. Arya adalah lelaki cuek yang tidak akan pernah mengungkapkan bagaimana perasaannya, tapi kali ini jelas ketara kalau saat ini Arya sedang menunjukkan sikap berbeda dari biasanya. "Arya, kamu tidak cemburu 'kan? Mobil yang melaju tiba-tiba berhenti di tepi jalan. "Aku ingin mencari angin!" Arya keluar dari mobil sembari membanting pintu mobil dengan sangat keras."Kania, Mas yakin kamu akan mendapatkan lelaki terbaik dan terhebat seperti yang kamu harapkan selama ini. Ikhlaskan dia yang telah pergi dan buka hati untuk dia yang nantinya akan mengisi hari-harimu. Mas yakin, wanita baik sepertimu akan mendapatkan lelaki terbaik juga, karena jodoh adalah cermin diri, dan wanita baik-baik akan dipersatukan juga dengan lelaki baik-baik," ucap Arya menasihati ku.Kutatap lelaki itu dengan seksama, penuh kekaguman dan rasa syukur. Ya, akhirnya aku menyadari kalau Arya adalah sosok lelaki yang bisa mengayomiku, ia menasehatiku layaknya seorang kakak laki-laki kepada adiknya, melindungi dan menjagaku seperti saudaranya sendiri. Aku tahu, Arya adalah laki-laki. Ia memiliki naluriah laki-laki, sikap dan jiwa seorang lelaki yang mungkin saja mudah jatuh dan dimanfaatkan oleh wanita yang tidak benar-benar tulus mencintainya. Ia mungkin juga akan tergoda dengan wanita cantik dan seksi seperti sebelumnya, karena tantangan terbesar seorang lelaki yang telah su
"Ma, Bella terkagum-kagum dengan agama islam. Islam begitu memuliakan kedua orang tua dan Mama adalah surganya Bella."Bella bersujud dan mencium telapak kaki mamanya dengan tulus dan ikhlas. "Sayang, apa yang kamu lakukan? Jangan seperti ini, Sayang!" Mama Ratna membantu putri kesayangannya untuk bangun dan bangkit. Beliau memeluk putri kesayanggannya itu. Rasa haru dan bahagia memenuhi hati dan fikiran mama Ratna, betapa ia sangat bahagia dan bersyukur karena memiliki putri yang teramat sangat baik dan berbakti seperti Bella."Nak, kamu benar-benar permata dalam kehidupan Mama dan Papa. Maaf karena selama ini kami membiarkanmu tumbuh sendiri tanpa perhatian dan kasih sayang."Mama Ratna membelai lembut rambut putrinya, matanya mengisyaratkan sebuah penyesalan yang teramat sangat dan keinginan untuk membalas sesuatu yang telah hilang menjadi senyum kebahagiaan untuk Bella."Ma, apa Bella boleh nggak usah ke kantor dulu? Bella ingin fokus di rumah dan belajar agama. Biar Lara saja y
"Tentu jadi, Sayang, nanti kita packing dan membereskan semua perlengkapan travelling," ujar mama Ratna bersemangat."Ma, emangnya Papa mau libur ngantor?" Papa Herman juga salah seorang manusia yang sangat gila dan mencintai pekerjaan, hingga Bella ragu papanya bisa ikut jalan-jalan dengan mereka atau tidak."Tenang, Sayang, perusahaannya 'kan punya kita, jadi tidak ada alasan bagi Papa untuk menolak," terang mana Ratna.Papa Herman menggeleng-gelengkan kepalanya sembari tersenyum melihat dua wanita yang sangat dicintainya itu terlihat bersangat untuk liburan di luar kota.Ya, memang benar, Bella dan keluarganya sudah lama sekali tidak liburan bersama. Setidaknya sakitnya Bella menjadi perekat hubungan keluarga Bella."Terima kasih, Papa." Bella tersenyum dan terlihat sangat bersemangat."Kalau begitu, sekarang Papa ke kantor dulu ya. Papa ingin menyiapkan semua berkas-berkas dan pekerjaan yang tertumpuk sekalian memberikan tugas untuk dikerjakan oleh sekretaris papa selama kita tid
Bella memeluk mama Ratna, ia tidak bisa berkata apa-apa karena saat ini yang bisa dilakukannya hanya menangis."Sayang, Mama ada untukmu."Mama Ratna menepuk-nepuk punggung putri kesayangannya sembari membelai rambut Bella dengan penuh cinta dan kasih sayang."Ma, apa kita boleh berjalan-jalan ke luar kota? Bella ingin sekali liburan dan menenangkan fikiran," ucap Bella lembut namun tersedu-sedu."Tentu boleh, Nak. Bella boleh pergi ke mana saja yang Bella inginkan. Apa kamu pengen ke luar negeri, Sayang?" Mama Ratna ingin mewujudkan semua keinginan anak kesayangannya karena yang terpenting baginya adalah Bella bisa kembali ceria lagi dan bisa tersenyum lagi seperti dulu."Ma, Bella ingin liburan sama Mama dan Papa, tapi Bella ingin di Indonesia saja," terang Bella.Bella menatap wajah mama dengan penuh harap.Mama Ratna kemudian menghapus air mata yang mengalir di pipi putri kesayangannya itu."Sayang, Bella ingin ke mana?" Mama Ratna bertanya dan mendengarkan keinginan putri kesay
Bella tidak peduli dengan pertanyaan Rasya, mau tidur atau berpura-pura tidur saat ini yang ingin Bella lakukan hanya diam sembari menutup matanya."Bella, aku tahu kamu tidak tidur, tapi kalaupun kamu tidur maka beristirahatlah dengan tenang, aku akan membangunkanmu ketika kita telah sampai di rumah," ujar Rasya.Rasya terus melajukan mobilnya dengan hati yang berkecamuk, penuh dengan kegelisahan dan rasa bersalah. Hingga akhirnya mereka sampai di rumah Bella.Rasya menatap Bella, gadis cantik itupun terlihat sangat cantik saat menutup mata.Rasya kemudian menghapus air mata yang sedari tadi membasahi pipi Bella, hati Rasya terlihat sangat hancur karena melihat hal itu terjadi."Bella, kita sudah sampai di rumah." Rasya membangunkan Bella yang sebenarnya tidak tidur itu.Bella membuka matanya kemudian memaksakan dirinya untuk tersenyum. Bella tidak ingin melihatkan wajah murung qtau bersedih lagi kepada Rasya."Sya, kamu harus singgah di rumah, aku ingin membuatkanmu salad buah untu
Mama Rasya menatap Bella dengan lembut dan penuh kasih sayang. Beliau kemudian menggenggam tangan Bella dengan hangat, Bella merasakan ketulusan di sana."Sayang, Mama sangat merindukan Bella, maaf untuk banyak hal dan terima kasih banyak karena masih mau datang berkunjung ke sini."Ucapan tulus yang ke luar dari mulut mama Rasya membuat Bella terharu, hingga tanpa sadar air mata lagi-lagi membasahi pipi Bella.Kutatap mata mama Rasya dengan air mata yang tidak bisa berhenti ke luar dari mataku. Beliau juga melakukan hal yang sama."Tante, apa benar Tante merindukan Bella?"Dengan nada tersedu-sedu aku ingin memastikan tentang apa yang baru saja aku dengar bukanlah mimpi belaka."Tentu, Sayang, hanya kamu seorang gadis yang Tante anggap seperti anak sendiri dan Tante berharap kamu bisa menjadi istrinya Rasya." Secara terang-terangan mama Rasya mengungkapkan apa yang disimpannya di hatinya. Sementara Bella saat ini terlihat haru bercampur kaget."Bagaimana mungkin seseorang yang melar