Ada rasa bersalah di dalam hati ini karena aku telah menolak menemui calon mertua ku.
"Maaf, Abi, Ummi, sepertinya Kania sudah tidur, sepertinya ia terlalu lelah karena seharian bekerja," ucapan yang keluar dari lisan mama Anita itu terdengar samar di telingaku. "Baiklah, kalau begitu kami pulang dulu, Bu Anita, Bapak Hermawan. Tapi tolong berikan cincin ini dan pasangkanlah cincin ini di jari manis Kania sebagai tanda kalau ia telah bertunangan," ucap ummi Halimah. "Baiklah, Ummi, terima kasih banyak." "Sampaikan salam kami kepada calon menantu kami," balas mama Anita ramah dan sangat sopan. Kini terdengar hiruk pikuk, sepertinya keluarga ustadz Fahri dan sanak saudaraku telah pamit ke rumah masing-masing, dan sekarang yang tertinggal adalah sebuah tanda bahwa aku telah bertunangan. Tok ..., Tok ..., Tok ... "Nia, Mama masuk ya, Nak!" ucap mama Anita yang masih tidak aku hiraukan. Mama duduk di ranjang ku, nafas beliau terdengar berat seolah sedang menahan banyak beban di hati dan pikirannya. "Nia, Mama ingin langsung saja, Mama tidak ingin ada perdebatan lagi antara kita. Mama ingin kamu tahu satu hal, kalau sekarang kamu telah menjadi tunangan seseorang, kamu harus mengenakan cincin ini di jari manis mu dan satu hal yang harus kamu tahu, kalau Ustadz Fahri adalah lelaki yang tepat untuk menjadi suamimu." Hatiku bergejolak penuh dengan sejuta tanda tanya. Ya, bagaimana mungkin aku bertunangan dalam sekejap bahkan pertunangan ini terjadi tanpa meminta pendapatku. Aku seperti tidak berhak atas diriku sendiri. "Mama, Nia tidak menyukai Ustadz itu!" "Suka tidak suka, mau tidak mau, semua telah terjadi dan ini adalah takdir dari Allah." "Takdir yang dipaksakan maksud Mama?" Aku bangkit dari pembaringan, duduk sembari menatap mama Anita dengan mata melotot, penuh dengan emosi dan amarah yang teramat sangat. Mama Anita mengangkat tangan kanannya dengan wajah yang penuh dengan emosi. Plak ... Sebuah tamparan keras mendarat di pipi ku, hingga sebelah tangan ini langsung refleks memegang pipi kiri yang memerah karena kesakitan. "Kania! Mama tidak pernah mendidik mu menjadi anak durhaka." Mata mama Anita mulai memerah, emosi yang berubah menjadi amarah hingga sebuah penyesalan, dimana air mata terus mengalir membasahi pipi beliau, wajah beliau penuh dengan rasa iba bercampur kekecewaan. "Pakailah ini dan putuskan hubungan tanpa status mu dengan Arya. Jauhi lelaki cemen itu, dia tidak pantas untukmu!" Mama Anita memberikan cincin tunangan di tanganku. Cincin berlian yang terlihat mewah itu terlihat sangat cantik dan mempesona. Namun, sebagus apapun cincin itu, jika kudapatkan dari seseorang yang tidak kuinginkan maka tidak membuatku ingin memakainya karena aku tidak ingin bertunangan secara paksa seperti ini. "Mama benar-benar jahat!" ucap ku dalam isak tangis yang kini tidak lagi bisa ku bendung. "Ini semua demi kebaikanmu, Nak!" Suara lembut dengan isak tangisan yang keluar dari lisan mama Anita sungguh membuat hatiku hancur, sebab ini kali pertamaku melawan kedua orang tuaku. Mama Anita membalikkan badannya dariku, berjalan pelan meninggalkan kamarku dengan kesedihan dan kekecewaan yang tergambar jelas di wajah beliau. Apalagi mama Anita meninggalkan kamar ku dengan air mata deras yang terus mengalir, hingga membuatku merasa menjadi anak durhaka yang tidak patuh kepada orang tua. 'Kania, apakah kehidupan seperti ini yang kamu harapkan? Apakah kamu ingin melawan kedua orang tua demi keegoisan hatimu?' Batinku mulai menyalahkan diriku sendiri. Penyesalan dan rasa bersalah membuat pergolakan batin pada diriku sendiri. Ya, walaupun aku memang sangat ingin menikah akan tetapi aku juga tidak ingin terburu-buru dalam mengambil keputusan, dan bagaimanapun hati ini terus menolak bahwa bukan pernikahan seperti ini yang ku harapkan. 'Enam bulan? Itu artinya aku masih punya seratus delapan puluh hari lagi untuk mengatur strategi, ini adalah kesempatan yang bagus,' ucap ku di dalam hati dengan secercah harapan yang ku jadikan peluang. Aku bangkit dari pembaringan ku, ku hapus air mata yang terus menggenangi pipi ku. Aku merasa Tuhan sedang memberi ku kesempatan untuk merubah takdir ku. Ya, aku pernah mendengar ceramah seorang ustadz kalau jodoh itu adalah takdir Allah yang bisa diusahakan dengan ikhtiar dan doa, jadi aku menggenggam suatu keyakinan penuh bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika Allah berkehendak, hanya dengan mengatakan, 'Kun Fayakun,' semua akan terjadi. Jadi, yang perlu kulakukan adalah berusaha dengan segenap kemampuan jiwa dan ragaku agar Tuhan membantu dan mengabulkan doaku. Aku percaya, Tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan hamba-Nya. Jika Tuhan memberikan ujian atau cobaan kepada seorang hamba, maka akan ada dua kemungkinan, yang pertama mungkin Tuhan ingin menghapus dosa-dosa orang itu dan yang kedua adalah untuk mengangkat derajatnya. Ya, satu hal yang ku yakini, Tuhan pasti memberikan hikmah terbaik atas semua pelajaran hidup yang ia berikan dan keyakinan ini yang ku pegang hingga saat ini. 'Kania, bersemangatlah, jika memang kamu telah menghadapi jalan buntu dalam perjalanan panjang mu, maka hadapi saja!' ucap ku di dalam hati sembari menyemangati diriku sendiri. Aku berjalan mengambil ponsel ku kembali, mencoba mencari tahu, mungkin saja Arya telah menjawab pertanyaan yang ku ajukan kepadanya. Tapi tidak ada balasan apapun dari Arya, lelaki itu hanya membaca pesan ku saja tanpa membalas atau bereaksi apa-apa. Untuk sesaat, terbayang olehku tentang hal yang dikatakan oleh mama kepadaku, kalau Arya bukanlah lelaki yang baik untukku, karena ia hanya ingin memanfaatkan kebaikan ku saja. Tapi, bagaimanapun juga hati dan pikiran terus menolak apa yang mama katakan. Namun, kini ada rasa penasaran dalam diriku, dimana jiwaku kembali bergejolak dan berusaha untuk mencari tahu sendiri tentang sesuatu yang tidak ku ketahui. Ya, mungkin saja perasaan yang tertanam di dalam hatiku membuat diri ini menjadi lupa kalau yang kulakukan sangat ini sangat salah, namun seluruh jiwaku enggan untuk menerima kebenaran. 'Arya, kamu sebenarnya kemana? Kenapa kamu menghilang dan tidak mengangkat panggilan dariku?" ucap ku di dalam hati dengan sejuta tanda tanya di dalam hatiku. Aku juga berusaha menghubungi Arya beberapa kali, tapi semuanya sia-sia, ia bukannya mengangkat teleponku tetapi malah menolaknya, hingga hati ini mulai memikirkan hal yang tidak-tidak. Bosan dengan perlakuan Arya kepadaku, kini pikiran ku tiba-tiba saja ingin membaca pesan singkat ustadz Fahri kepadaku. [Assalamualaikum, Kania, apa saya bisa berbicara dengan kamu?] Sebuah pesan yang tidak menarik bagiku, bahkan rasanya aku tidak ingin membalas pesan lelaki itu, karena aku terlalu muak jika menyangkut apapun tentang dirinya, selain itu aku tidak ingin berbicara dengan siapapun sekarang. 'Apa aku harus kabur saja dari rumah ini?'"Kania, Mas yakin kamu akan mendapatkan lelaki terbaik dan terhebat seperti yang kamu harapkan selama ini. Ikhlaskan dia yang telah pergi dan buka hati untuk dia yang nantinya akan mengisi hari-harimu. Mas yakin, wanita baik sepertimu akan mendapatkan lelaki terbaik juga, karena jodoh adalah cermin diri, dan wanita baik-baik akan dipersatukan juga dengan lelaki baik-baik," ucap Arya menasihati ku.Kutatap lelaki itu dengan seksama, penuh kekaguman dan rasa syukur. Ya, akhirnya aku menyadari kalau Arya adalah sosok lelaki yang bisa mengayomiku, ia menasehatiku layaknya seorang kakak laki-laki kepada adiknya, melindungi dan menjagaku seperti saudaranya sendiri. Aku tahu, Arya adalah laki-laki. Ia memiliki naluriah laki-laki, sikap dan jiwa seorang lelaki yang mungkin saja mudah jatuh dan dimanfaatkan oleh wanita yang tidak benar-benar tulus mencintainya. Ia mungkin juga akan tergoda dengan wanita cantik dan seksi seperti sebelumnya, karena tantangan terbesar seorang lelaki yang telah su
"Ma, Bella terkagum-kagum dengan agama islam. Islam begitu memuliakan kedua orang tua dan Mama adalah surganya Bella."Bella bersujud dan mencium telapak kaki mamanya dengan tulus dan ikhlas. "Sayang, apa yang kamu lakukan? Jangan seperti ini, Sayang!" Mama Ratna membantu putri kesayangannya untuk bangun dan bangkit. Beliau memeluk putri kesayanggannya itu. Rasa haru dan bahagia memenuhi hati dan fikiran mama Ratna, betapa ia sangat bahagia dan bersyukur karena memiliki putri yang teramat sangat baik dan berbakti seperti Bella."Nak, kamu benar-benar permata dalam kehidupan Mama dan Papa. Maaf karena selama ini kami membiarkanmu tumbuh sendiri tanpa perhatian dan kasih sayang."Mama Ratna membelai lembut rambut putrinya, matanya mengisyaratkan sebuah penyesalan yang teramat sangat dan keinginan untuk membalas sesuatu yang telah hilang menjadi senyum kebahagiaan untuk Bella."Ma, apa Bella boleh nggak usah ke kantor dulu? Bella ingin fokus di rumah dan belajar agama. Biar Lara saja y
"Tentu jadi, Sayang, nanti kita packing dan membereskan semua perlengkapan travelling," ujar mama Ratna bersemangat."Ma, emangnya Papa mau libur ngantor?" Papa Herman juga salah seorang manusia yang sangat gila dan mencintai pekerjaan, hingga Bella ragu papanya bisa ikut jalan-jalan dengan mereka atau tidak."Tenang, Sayang, perusahaannya 'kan punya kita, jadi tidak ada alasan bagi Papa untuk menolak," terang mana Ratna.Papa Herman menggeleng-gelengkan kepalanya sembari tersenyum melihat dua wanita yang sangat dicintainya itu terlihat bersangat untuk liburan di luar kota.Ya, memang benar, Bella dan keluarganya sudah lama sekali tidak liburan bersama. Setidaknya sakitnya Bella menjadi perekat hubungan keluarga Bella."Terima kasih, Papa." Bella tersenyum dan terlihat sangat bersemangat."Kalau begitu, sekarang Papa ke kantor dulu ya. Papa ingin menyiapkan semua berkas-berkas dan pekerjaan yang tertumpuk sekalian memberikan tugas untuk dikerjakan oleh sekretaris papa selama kita tid
Bella memeluk mama Ratna, ia tidak bisa berkata apa-apa karena saat ini yang bisa dilakukannya hanya menangis."Sayang, Mama ada untukmu."Mama Ratna menepuk-nepuk punggung putri kesayangannya sembari membelai rambut Bella dengan penuh cinta dan kasih sayang."Ma, apa kita boleh berjalan-jalan ke luar kota? Bella ingin sekali liburan dan menenangkan fikiran," ucap Bella lembut namun tersedu-sedu."Tentu boleh, Nak. Bella boleh pergi ke mana saja yang Bella inginkan. Apa kamu pengen ke luar negeri, Sayang?" Mama Ratna ingin mewujudkan semua keinginan anak kesayangannya karena yang terpenting baginya adalah Bella bisa kembali ceria lagi dan bisa tersenyum lagi seperti dulu."Ma, Bella ingin liburan sama Mama dan Papa, tapi Bella ingin di Indonesia saja," terang Bella.Bella menatap wajah mama dengan penuh harap.Mama Ratna kemudian menghapus air mata yang mengalir di pipi putri kesayangannya itu."Sayang, Bella ingin ke mana?" Mama Ratna bertanya dan mendengarkan keinginan putri kesay
Bella tidak peduli dengan pertanyaan Rasya, mau tidur atau berpura-pura tidur saat ini yang ingin Bella lakukan hanya diam sembari menutup matanya."Bella, aku tahu kamu tidak tidur, tapi kalaupun kamu tidur maka beristirahatlah dengan tenang, aku akan membangunkanmu ketika kita telah sampai di rumah," ujar Rasya.Rasya terus melajukan mobilnya dengan hati yang berkecamuk, penuh dengan kegelisahan dan rasa bersalah. Hingga akhirnya mereka sampai di rumah Bella.Rasya menatap Bella, gadis cantik itupun terlihat sangat cantik saat menutup mata.Rasya kemudian menghapus air mata yang sedari tadi membasahi pipi Bella, hati Rasya terlihat sangat hancur karena melihat hal itu terjadi."Bella, kita sudah sampai di rumah." Rasya membangunkan Bella yang sebenarnya tidak tidur itu.Bella membuka matanya kemudian memaksakan dirinya untuk tersenyum. Bella tidak ingin melihatkan wajah murung qtau bersedih lagi kepada Rasya."Sya, kamu harus singgah di rumah, aku ingin membuatkanmu salad buah untu
Mama Rasya menatap Bella dengan lembut dan penuh kasih sayang. Beliau kemudian menggenggam tangan Bella dengan hangat, Bella merasakan ketulusan di sana."Sayang, Mama sangat merindukan Bella, maaf untuk banyak hal dan terima kasih banyak karena masih mau datang berkunjung ke sini."Ucapan tulus yang ke luar dari mulut mama Rasya membuat Bella terharu, hingga tanpa sadar air mata lagi-lagi membasahi pipi Bella.Kutatap mata mama Rasya dengan air mata yang tidak bisa berhenti ke luar dari mataku. Beliau juga melakukan hal yang sama."Tante, apa benar Tante merindukan Bella?"Dengan nada tersedu-sedu aku ingin memastikan tentang apa yang baru saja aku dengar bukanlah mimpi belaka."Tentu, Sayang, hanya kamu seorang gadis yang Tante anggap seperti anak sendiri dan Tante berharap kamu bisa menjadi istrinya Rasya." Secara terang-terangan mama Rasya mengungkapkan apa yang disimpannya di hatinya. Sementara Bella saat ini terlihat haru bercampur kaget."Bagaimana mungkin seseorang yang melar