“Kau mau mencoba mengigitku?” tanyanya sambil menyerahkan lengannya pada Jane.
Gadis itu membulatkan matanya tak percaya ketika mendengar penawaran Cuna, “Kau gila?” tanyanya menatap lengan Cuna yang masih mengarah ke dirinya.
Cuna lalu menarik tangannya kembali sambil mengangkat bahu tak acuh, “Ini kan hanya teoriku saja, tak ada salahnya mencoba.”
Jane menggeleng cepat sambil melipat tangan di depan dada, “Tidak, bahkan jika teori itu berakhir benar, aku tetap takkan mau melakukannya.”
Gadis itu menoleh menatap Jane sejenak lalu kembali fokus pada jalanan di hadapannya, “Kenapa?” tanyanya.
“Tidak ada alasan lebih, aku hanya merasa bahwa kanibalisme bukanlah sesuatu yang seharusnya menjadi wajar untuk manusia.”
Cuna mengangguk santai, “Hanya karena prinsip ya?” gumamnya tanpa sadar, “Menurutmu, apa aku adalah tipe yang berani memakan sesama untuk bertahan hidup?” tanyanya pada Jane.
“Kau tipe yang berani mencoba hanya karena iseng, menurutku.”
Gadis itu tersenyum tipis mendengar balasan Jane, “Itu juga tidak salah,” balasnya santai. “Walaupun jujur saja, aku berani memakan sesama untuk iseng. Tapi untuk bertahan hidup, kupikir juga tidak.”
“Apa kau memilih mati?” tanya Jane dibalas gelengan oleh gadis itu.
“Aku sudah siap mati kapanpun Jane,” balas gadis itu dengan tenang. “Bahkan sebelum dunia berubah seperti ini, aku sudah sangat lama mempersiapkan diri untuk mati.”
“Why?” cicit gadis itu tak paham.
“Dunia ini membosankan,” balas Cuna pelan, “Kupikir musibah sebesar ini akan membuatku tertarik untuk hidup lebih lama, namun ternyata tak juga.” Gadis itu mengangkat bahu tak acuh, “Apa yang harus ku kejar? Aku tak mengharapkan apapun dan tak ingin diharapkan sama sekali, aku hanya menunggu kematianku saja.”
“Kenapa tak bunuh diri?” tanya Jane asal hanya membuat Cuna terkekeh kecil.
“Bunuh diri itu tingkah seorang pengecut, dia kalah lebih dulu bahkan sebelum menghadapi dunia. Aku ingin mati karena aku sudah berjuang untuk hidupku, dan karena sudah saatnya aku mati, bukan karena aku menyerah ataupun kalah.”
Jane mengangguk paham, dia cukup mengerti dengan apa yang Cuna katakan perihal kematian tersebut. Jujur saja dia tahu bagaimana membosankannya hidup, namun ketika dunia mendadak berubah dan mulai menyiksa mereka secara terang-terangan seperti ini, entah mengapa dia malah merasa tertarik dan ingin melihat lebih jauh apa yang akan terjadi.
Namun sama seperti apa yang dia katakan pada Wonu sebelumnya, dia bisa bertahan, dia sangat tahu dirinya bisa bertahan hidup, namun dia tak tahu apakah dia siap atas segala kematian yang kemungkinan akan selalu dia hadapi.
Kehidupan seperti ini tidak akan pernah berjalan dengan mudah, sekalipun dia menggunakan pola pikir gilanya untuk tetap menjadi waras.
“Tidurlah,” gumam Cuna sambil memelankan mobil mereka. “Setidaknya istirahatkan matamu dengan terus terpejam jika kau tak bisa benar-benar tidur, tenangkan pikiranmu juga.”
Gadis itu menghentikan mobilnya, lalu membangunkan Nira untuk bertukar tugas mengemudi. “Jika kau tahu cara bermeditasi, lakukan itu dan cobalah untuk tidur. Terjaga hanya memperlemah tubuhmu dan kau bisa menyusahkan orang lain nantinya.”
Jane terdiam mendengar hal itu, kini Nira sudah bangun dan berpindah untuk duduk di kursi kemudi sedangkan Cuna duduk di belakang Jane. Nira lalu melirik gadis yang sejak tadi duduk di kursi samping kemudi lalu mengangkat alis menatap Jane dengan heran, “Kau belum ada tidur?” tanyanya tak percaya.
Jane tersenyum tipis sambil memejamkan matanya, “Baru akan tidur,” balasnya santai.
Nira ingin membalas namun melihat Jane yang sudah bersiap untuk terlelap, gadis itu memilih membungkam diri, tak lagi bersuara. Dia lalu kembali menjalankan mobil sesuai dengan arahan yang Cuna berikan sebelum dia tidur.
Nyaris 6 jam tidur membuat isi kepalanya kembali tenang tanpa dia sadari, gadis itu lalu menatap sekelilingnya yang sunyi sedangkan embun kini benar-benar menutupi penglihatannya. Walaupun hanya mengandalkan penglihatan dan pendengaran yang minim, gadis itu berusaha untuk tetap berhari-hati melewati jalanan tersebut.
Cuna sebelumnya sudah bilang bahwa mereka telah masuk ke jalan raya sejak dua jam yang lalu dan kini pergi menuju ke Bandung, sesuai dengan apa yang dia jelaskan, gadis itu sejujurnya hanya perlu mengikuti jalanan raya ini saja dan perlahan mematikan lampu mobil jika dia mendengar sesuatu yang datang.
Nira menghela napas pelan setelah menyadari bahwa matahari kembali bersinar dan menghilangkan kumpulan embun yang sejak tadi menutupi penglihatannya. Dia menatap sekitarnya, memerhatikan bangunan rusak serta asap-asap yang memenuhi bangunan tersebut.
Tempat ini habis dilewati tornado, pikirnya tanpa sadar.
Gadis itu lalu mematikan lampu mobilnya, membiarkan sinar mentari menggantikan cahaya yang dia perlukan untuk tetap mengemudi, lalu kembali terfokus pada sekelilingnya.
Tempat itu lebih parah dibandingkan jalanan di luar hotel yang kemarin mereka lewati, banyak sekali mobil-mobil dan motor yang menghantam bangunan serta mayat-mayat tak terurus yang tertimbun di sekitarnya.
Kemana para tentara? Tak mungkin hanya kita yang selamat kan? Batinnya tanpa sadar.
Jika dipikir-pikir juga mereka memang tak ada bertemu dengan manusia lain yang sama warasnya seperti mereka, sejak kemarin mereka hanya bertemu dengan mahluk sejenis zombie ataupun mahluk yang memakan manusia.
Juga mahluk aneh bersayap? Nira menggelengkan kepalanya dengan keras ketika mengingat gambaran mahluk itu di kepalanya, “Tidak, itu pasti hanya imajinasiku saja!” cicitnya tanpa sadar.
“Kita akan menca—“
“AKH!” jeritnya kaget karena mendengar suara berat Wonu yang baru terbangun. Gadis itu melirik Wonu dengan cepat lalu kembali menatap ke depan, “Kau mengagetkanku sialan!” kesalnya hanya membuat Wonu terkekeh kecil.
“Di dekat sini ada minimarket seharusnya,” gumam pemuda itu pelan. “Kita akan berhenti di sana.”
Nira mengangguk pelan mendengar hal itu, setelahnya dia kembali melanjutkan perjalanan dengan arahan Wonu agar mereka bisa menghindari mahluk sejenis zombie ataupun mencari jalur tercepat untuk sampai ke minimarket tersebut.
Beberapa waktu setelahnya Cuna terbangun, sedangkan Jane masih terlelap di dalam tidurnya. Nira lalu dengan perlahan menghentikan mobil mereka tepat di depan minimarket, gadis itu lalu menoleh ke belakang memerhatikan Wonu dan Cuna yang sudah bersiap lengkap dengan tas yang mereka temukan di kursi belakang mobil tersebut.
“Aku dan Cuna akan memeriksa keadaan sekaligus mencari makanan yang bisa kita konsumsi,” gumam Wonu santai. “Kau tunggu sekitar 15-30 menit, dan jika kita tak memberikan tanda apapun, kau bisa masuk dan ikut mencari makanan yang bisa kita makan, bangunkan Jane juga. Kupikir tempat ini tak terlalu banyak mahluk aneh karena sejak tadi aku juga tak melihatnya.”
Nira mengangguk santai, “Tanda apa yang akan kalian berikan jika di dalam ada masalah?” tanya gadis itu mencoba memastikan.
“Pasti akan ada suara keributan,” balas Cuna santai. “Jika hal seperti itu terjadi, tetaplah di mobil dan bersiap untuk pergi. Kami akan segera keluar dan kita akan langsung meninggalkan tempat ini, namun jika suara keributan itu berakhir dan bukan kita yang keluar, apapun itu … kalian berdua harus pergi dari sini dan selamat.”
Setelah mengatakan pesannya pada Nira, mereka lalu dengan segera langsung pergi keluar dari mobil untuk menuju minimarket tersebut. Cuna menoleh kebelakang sejenak untuk melihat keadaan sekitar sekaligus menyaksikan matahari yang kini benar-benar sudah memperlihatkan bulatnya, sedangkan Wonu memilih masuk ke dalam minimarket tersebut.
Keduanya lalu terdiam setelah mereka masuk ke dalam minimarket itu. Tempat tersebut sedikit berantakkan namun mayoritas makanan dan minuman masih terlihat layak dan utuh. Pemuda itu lalu mengambil keranjang belajaan sambil menatap sekelilingnya, “Jadi apa kita akan mencoba seluruhnya untuk memastikan apa saja yang bisa kita makan?” tanyanya dibalas anggukkan pelan oleh Cuna.
“Air mineral dan roti tak bisa kita makan, jadi coba kelompokkan sesuatu sesuai dengan bahan dasarnya.”
Wonu terdiam sejenak mencoba mencerna kalimat tersebut sebelum akhirnya mengangguk santai, “Ok, aku akan mencari di dua rak sebelah kanan sedangkan kau dua rak sisanya?” ujarnya sambil menunjuk barisan rak-rak tersebut, Cuna mengangguk pelan membalas perintah tersebut.
“Siap!” balasnya cepat ketika Wonu menoleh menatapnya untuk meminta respon lebih.
Mereka lalu berjalan dengan cepat sambil mencoba berbagai makanan, sesuai dengan apa yang Cuna katakan. Wonu hanya perlu mencoba sesuatu sesuai dengan bahan dasarnya, dan jika rasanya sama seperti roti yang sebelumnya mereka makan, maka dia harus menghindari makanan dengan bahan dasar sejenis.
Dia tak memikirkan banyak hal, lebih tepatnya mungkin malas memikirkan hal-hal dibalik semua ini. Bahkan ketika dia tahu bahwa mereka tak bisa mengonsumsi roti dan air mineral, dia langsung menerima kenyataan itu dan mencoba untuk langsung melompat pada solusi setelahnya.
Pemuda itu menggeleng kecil setelah meludahkan berbagai jenis makanan seperti mie instan, nasi pada onigiri instan, buah-buahan, sampai ciki-ciki berbahan dasar kentang ataupun singkong. Dia menghela napas pelan, semua hal yang dia coba adalah makanan-makanan dasar yang biasa dikonsumsi manusia dan kini semuanya tak bisa dia konsumsi.
Air mineral pun tidak, teh ataupun jus juga terasa sangat menjijikkan di lidahnya.
Ini mengerikan, pikirnya tanpa sadar.
“Kau menemukan sesuatu?” tanyanya sedikit keras agar Cuna mendengar suaranya.
“Tidak!” balas gadis itu cepat.
Wonu kembali terdiam, tiba-tiba saja dia kembali teringat dengan ayahnya yang memakan ibunya sendiri dan itu malah membuat pikirannya melayang kemana-mana. Apa mungkin? Pemuda itu menggeleng dengan cepat mencoba mengabaikan teorinya sendiri.
Sekalipun itu benar, sepertinya dia takkan mau mencoba dan memilih untuk mati kelaparan. Membayangkannya saja sudah membuat perutnya mual sendiri.
“Wonu …” tegur seseorang sama sekali tak didengar oleh pemuda itu, “WONU!”
“HAH?! IYA?”
Cuna menghela napas pelan mendengar balasan kaget itu, “Aku mencoba kacang mete,” balas gadis itu sambil menghampiri Wonu dan memberikan kacang tersebut pada pemuda itu, “Cobalah.”
Wonu mengambil kacang tersebut dan menatap Cuna mencoba meyakinkan dirinya, namun melihat Cuna yang sedang mengunyah kacang tersebut tanpa membuat ekspresi aneh, dia jadi mulai mempercayai gadis itu.
Sampai akhirnya dia mencoba sendiri, dan membulatkan matanya tak percaya ketika menyadari bahwa kacang itu memiliki rasa yang sama seperti kacang pada umumnya, rasanya tak berubah menjadi menjijikkan seperti makanan yang dia coba sebelumnya. Senyuman pemuda itu merekah lebar tanpa sadar, “Ini bisa dimakan!” hebohnya membuat Cuna ingin terbahak.
“Ya, kupikir hanya itu yang bisa dimakan.” Gadis itu kembali berjalan mencari makanan lain, “Ayo kita kumpulkan segala hal yang berbahan dasar kacang,” lanjutnya langsung disetujui oleh Wonu dengan semangat.
Syukurlah.
.
.
.
Nira menatap sekilas Jane yang masih terlelap itu dalam diam. 15 menit lebih telat berlalu dan tak ada tanda apapun di dalam minimarket itu hingga dia mencoba menyimpulkan bahwa di dalam sana sudah aman, namun melihat Jane yang tidur dengan begitu lelap, dia malah tak tega membangunkan gadis itu.
Minimarket tersebut bersampingan langsung dengan satu ruto tutup sedangkan sisi lainnya terdapat gang kecil yang hanya bisa dilalui pejalan kaki. Matahari pagi sudah terbit sejak beberapa jam yang lalu, dan mungkin kini jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi.
Cuaca pagi itu terlihat bagus bagi Nira, dia mengecek sekitarnya sebelum benar-benar berani untuk membuka kaca mobil dan menjulurkan tangannya, mencoba menikmati sinar pagi yang mulai menyentuh permukaan lengannya.
“Jane …” gumamnya pelan mencoba membangunkan gadis di sampingnya itu. Mau bagaimanapun mereka harus bergegas masuk ke minimarket dan membantu kedua orang tersebut. “Jane!”
Gadis yang sejak tadi namanya dipanggil itu hanya menggeram pelan sambil merenggangkan tangannya, dia lalu membuka mata, dan melirik sekitarnya menyadari bahwa mobil mereka sudah berhenti.
“Ah … kita sudah sampai?” gumamnya setengah menguap.
Nira tersenyum tipis sambil mengangguk pelan, “Ya, ayo ke minimark—“ gadis itu terdiam ketika mendengar suara berisik dari samping bangunan minimarket itu.
“GAK MAU!! KAK!” teriakan itu semakin keras sedangkan Jane tak begitu mendengar karena belum benar-benar terbangun dari tidurnya.
“Tunggulah disini Jane, aku ingin melihat-lihat sebentar.”
Nira bergegas keluar sedangkan Jane hanya mengangguk kecil mendengar ucapan gadis itu. Dia lalu berjalan sedikit tergesa menuju gang kecil yang ada di samping minimarket tersebut, sebelum akhirnya membulatkan mata tak percaya ketika melihat pemandangan yang ada di sana.
Terlalu banyak mayat berserakan dengan bagian-bagian tubuh yang sudah menghilang, banyak bekas koyakan ataupun gigitan di tubuh-tubuh mayat tersebut membuat Nira menahan mualnya. Dia lalu terfokus pada anak kecil yang sedang berteriak dalam keadaan tertindih tubuh orang dewasa, kedua tangan anak kecil itu di tahan sedangkan kakinya di duduki oleh orang tersebut.
Dia menjerit keras dan terus menggelengkan kepala menolak daging yang sejak tadi ingin dijejalkan ke mulutnya oleh orang dewasa itu. Melihat hal tersebut, tanpa pikir panjang Nira dengan cepat mendorong orang tersebut dan menarik anak kecil itu untuk diselamatkan, dia menyembunyikan anak itu di belakang punggungnya sambil menatap takut sosok di hadapannya.
Pemuda itu memiliki taring tajam dengan daerah sekitar mulut yang sudah dipenuhi oleh darah, tangannya terlihat begitu kuat dengan urat-urat keras yang muncul di sekitar lengannya, salah satu matanya berwarna hijau gelap, sedangkan geraman tipis dari mulutnya membuat Nira sadar bahwa sosok itu bukanlah manusia lagi, walaupun dia juga tahu orang tersebut juga bukanlah mahluk sejenis zombie.
“APA MAKSUDMU?!” kesal Nira dengan suara bergetar tanpa sadar meneriaki orang tersebut, suara itu juga yang membuat kesadaran Jane kembali sepenuhnya dan membuat gadis itu langsung keluar dari mobilnya.
Pemuda yang sejak tadi memaksa adiknya memakan daging manusia itu melotot sambil menggeram kesal melihat Nira menghalangi kegiatannya, “Apa maksudmu?! Kau tak melihat berita huh?!” balas pemuda itu menatap Nira penuh emosi.
Dia kembali mencoba meraih adiknya itu namun Nira terus menghalanginya, “KEMBALIKAN! DIA ADIKKU! BIARKAN DIA HIDUP!” amuknya mencoba meraih tangan anak kecil itu.
Anak itu masih dengan ketakutan sembunyi di belakang Nira, memeluk gadis itu seakan sedang menyalurkan rasa takutnya pada sosok pemuda di hadapan mereka.
Di waktu yang bersamaan, Jane datang dan menahan tangan pemuda itu, dia lalu menoleh menatap Nira. “Bawa anak itu ke mobil dan beritahu Wonu serta Cuna …” dia lalu kembali menatap pemuda di hadapannya, “… di sini ada kanibal.”
“APA MAKSUDMU?!” kesal pemuda itu tak terima, sedangkan Nira memilih untuk membawa pergi anak kecil itu bersamanya. “KAU BODOH HUH?!” amuknya pada Jane dan mencoba mengejar Nira, namun Jane yang ada di hadapannya dengan cepat langsung menendang perutnya.
Nira menatap panik anak itu dan membawanya masuk ke dalam mobil, dia lalu menghapus noda-noda bekas darah di sekitar mulut anak tersebut sebelum akhirnya menutup mobil tersebut dan beranjak pergi. “Kau tunggulah disini, aku akan mencari bantuan!” perintahnya pada anak tersebut.
Dia lalu pergi memasuki minimarket tersebut, dan mencari keberadaan Cuna serta Wonu masih dengan gelagat paniknya. “WONU! CUNA! KALIAN DI SINI?!” teriaknya mencoba memastikan.
“Ke—“
“ADA KANIBAL! JANE SEDANG MENAHANNYA! CEPATLAH!”
[BAGIAN; DI UJUNG NAPAS YANG TERCEKAT]Dalam satu detik yang terasa begitu lama, Dirga menelan salivanya menatap sosok Arta yang kini baru saja menjatuhkan mayat Cuna di hadapan Jane dan Putra. Pemuda itu menahan napas sejenak, mencoba sekeras mungkin untuk mengabaikan apa yang dia lihat. Dirga lalu kembali mengalihkan atensinya ke arah Kendari ⸺mendapati wanita itu sedang terdesak dengan Gilang yang sedang mencengkeram belakang kepalanya⸺ dan dengan segera meloncat terbang hendak meninggalkan Dewiana jika saja wanita itu tidak dengan cepat menusuk lehernya menggunakan tongkat putih bercorak biru tersebut, lalu menjatuhkan pemuda itu, membuat wujud Barong Dirga jatuh ke menghempas kolam raksasa yang ada di dalam tembok.“Kau harus perhatikan lawanmu, Dirga.” Wanita itu menyeringai tanpa sadar, “Tak peduli apa pun yang sedang terjadi di sekitarmu.”Dirga menahan jeritannya, sedangkan tangan pemuda yang memegang pe
Jane dan Putra ada di dalam perisai yang Kintan ciptakan ketika Hindia pertama kali muncul di udara dengan sekumpulan salju yang mulai bersatu dan membentuk tubuh tingginya. Di detik setelahnya, seluruh salju yang melapisi tubuhnya itu seketika lenyap bersamaan dengan hujan salju di sekitar mereka yang kini berubah menjadi ribuan butir bola api. Mereka dalam diam menatap hujan itu mengingat bahwa mayoritas dari para prajurit pun kini juga ada di dalam perisai yang telah di ciptakan oleh beberapa Pilar. Api itu tak bisa menembus perisai yang telah mereka ciptakan, jadi mayoritas dari mereka berpikir ... semua akan aman selama perisai yang kini melindungi mereka tak terbuka. “Kota ini terlihat sepi jadi aku membawa sedikit pasukan,” ucap Hindia bersamaan dengan perisai milik Gandi yang dia buka secara tiba-tiba karena luapan api yang kian membesar di dalamnya. Beberapa pasukan yang ada di sekitar Gandi itu membuka seragam bagian terluar mereka karena bekas salju yang m
Dalam kurang dari satu detik setelah meminta izin secara sepihak pada Kendari, Andra kini sudah benar-benar ada di hadapan Hindia. Membuat wanita itu menahan rasa kaget sekaligus takjub karena aura panas mencekam yang tiba-tiba saja ingin membakar habis tubuhnya.Hindia selalu menikmati momen-momen ketika dia bisa melawan seseorang yang lebih kuat darinya. Hingga pada umumnya, wanita itu akan memanfaatkan waktu sebaik dan selama mungkin agar bisa membuat perkelahian mereka berjalan dengan sangat lama.Berbeda dengan seseorang yang dia anggap lebih lemah, dia akan membuat skenario baru seakan dia adalah sosok yang baik, yang membiarkan korbannya itu untuk hidup lebih lama. Lalu, dengan kelengahan yang korban itu miliki karena merasa telah selamat, dia akan memanfaatkan korban itu dan memainkannya seperti boneka di waktu-waktu yang tepat.Seperti apa yang dia lakukan pada Cuna.Tepat di satu detik setelahnya, tangan Andra sudah lebih dulu mencengke
Bisa dibilang, mereka direkrut sebagai anak buah para Cendrasa di waktu yang bersamaan. Sebagai angkatan yang cukup tua, baik Dewiana maupun Dirga sama-sama dianggap sebagai kandidat terkuat untuk menjadi anggota Cendrasa, bersama dengan Hindia.Dirga tahu persis sekuat apa Dewiana, begitu sebaliknya. Mereka mungkin jarang bertarung bersama, keduanya juga jarang dimasukkan ke dalam misi yang sama. Namun, mereka cukup dekat ketika rapat terjadi karena Dirga suka sekali memancing emosi Dewiana, sedangkan wanita itu juga terkadang suka menjaili Dirga dengan cara yang tak normal.Misalnya dengan tiba-tiba mendorong Dirga keluar dari Kastil dan membuatnya menghempas jatuh tenggelam ke Black Ocean yang ada di bawah Kastil itu. Tak semua orang bisa bertahan jika jatuh ataupun bersentuhan dengan Black Ocean karena bisa dibilang, itu adalah lautan yang tak pandang bulu dalam memakan sesuatu. Namun, Dewiana juga tahu bahwa Dirga memiliki sesuatu yang bisa membuatnya bertahan jik
“Ini baru lima menit pertama sejak kau muncul, Dewiana Surya ...” Suara itu menggema bersamaan dengan sekumpulan salju yang membentuk sebuah tubuh lengkap dengan gaun panjang, serta tiga bola api yang melayang berputar di atas telapak tangan kirinya. Perlahan, salju-salju itu menghilang dan digantikan oleh wujud sempurna Hindiana Putri, dengan rambut bergelombang yang menutupi sepanjang punggung sampai pinggulnya, dengan payung hitam yang menutupi pucuk kepalanya, bibir yang dipolesi warna merah darah, selaras dengan iris matanya. Wanita itu setinggi 200 sentimeter, dengan gaun berenda hitam yang melapisi seluruh tubuh tinggi semampainya.Hindia memasang senyuman miring sambil mengangkat payungnya, bersamaan dengan itu semua salju yang sebelumnya menghujani mereka, ⸺yang jatuh dan menutupi nyaris seluruh daratan serta pohon-pohon di pulau Bali⸺ kini kembali ke dalam wujud asli mereka, yaitu api.Dalam seke
“Dewiana, namanya ... Dewiana Surya.” Cuna membeku mendengar bisikan itu lagi di dalam kepalanya. Walaupun baru beberapa hari berlalu, rasanya seperti sudah lama sekali dia tak mendengar suara itu lagi.“Mungkinkah?” pikir gadis itu bersamaan dengan Arta dan Rolla yang terbang di sampingnya, mereka berada beberapa kilometer di hadapan Dewiana.“Kau bisa mendengarku kan, Cuna?” tegur suara itu. Cuna menelan salivanya tanpa sadar, benar-benar tak menyangka bahwa dia akan kembali mendengar suara itu dengan sangat jelas di dalam kepalanya.Gadis itu sama sekali tak bisa bereaksi atau pun membuka suara. Rasa takut itu perlahan menggerogoti tubuhnya, dia sama sekali tak bisa mengendalikan diri ataupun membalas ucapan Hindia di dalam kepalanya.“Kau tahu, ada hal yang sangat mustahil dilakukan manusia dengan mudah ketika dia pertama kali menjadi Wrena. Hal itu adalah ... me