“Kau mau mencoba mengigitku?” tanyanya sambil menyerahkan lengannya pada Jane.
Gadis itu membulatkan matanya tak percaya ketika mendengar penawaran Cuna, “Kau gila?” tanyanya menatap lengan Cuna yang masih mengarah ke dirinya.
Cuna lalu menarik tangannya kembali sambil mengangkat bahu tak acuh, “Ini kan hanya teoriku saja, tak ada salahnya mencoba.”
Jane menggeleng cepat sambil melipat tangan di depan dada, “Tidak, bahkan jika teori itu berakhir benar, aku tetap takkan mau melakukannya.”
Gadis itu menoleh menatap Jane sejenak lalu kembali fokus pada jalanan di hadapannya, “Kenapa?” tanyanya.
“Tidak ada alasan lebih, aku hanya merasa bahwa kanibalisme bukanlah sesuatu yang seharusnya menjadi wajar untuk manusia.”
Cuna mengangguk santai, “Hanya karena prinsip ya?” gumamnya tanpa sadar, “Menurutmu, apa aku adalah tipe yang berani memakan sesama untuk bertahan hidup?” tanyanya pada Jane.
“Kau tipe yang berani mencoba hanya karena iseng, menurutku.”
Gadis itu tersenyum tipis mendengar balasan Jane, “Itu juga tidak salah,” balasnya santai. “Walaupun jujur saja, aku berani memakan sesama untuk iseng. Tapi untuk bertahan hidup, kupikir juga tidak.”
“Apa kau memilih mati?” tanya Jane dibalas gelengan oleh gadis itu.
“Aku sudah siap mati kapanpun Jane,” balas gadis itu dengan tenang. “Bahkan sebelum dunia berubah seperti ini, aku sudah sangat lama mempersiapkan diri untuk mati.”
“Why?” cicit gadis itu tak paham.
“Dunia ini membosankan,” balas Cuna pelan, “Kupikir musibah sebesar ini akan membuatku tertarik untuk hidup lebih lama, namun ternyata tak juga.” Gadis itu mengangkat bahu tak acuh, “Apa yang harus ku kejar? Aku tak mengharapkan apapun dan tak ingin diharapkan sama sekali, aku hanya menunggu kematianku saja.”
“Kenapa tak bunuh diri?” tanya Jane asal hanya membuat Cuna terkekeh kecil.
“Bunuh diri itu tingkah seorang pengecut, dia kalah lebih dulu bahkan sebelum menghadapi dunia. Aku ingin mati karena aku sudah berjuang untuk hidupku, dan karena sudah saatnya aku mati, bukan karena aku menyerah ataupun kalah.”
Jane mengangguk paham, dia cukup mengerti dengan apa yang Cuna katakan perihal kematian tersebut. Jujur saja dia tahu bagaimana membosankannya hidup, namun ketika dunia mendadak berubah dan mulai menyiksa mereka secara terang-terangan seperti ini, entah mengapa dia malah merasa tertarik dan ingin melihat lebih jauh apa yang akan terjadi.
Namun sama seperti apa yang dia katakan pada Wonu sebelumnya, dia bisa bertahan, dia sangat tahu dirinya bisa bertahan hidup, namun dia tak tahu apakah dia siap atas segala kematian yang kemungkinan akan selalu dia hadapi.
Kehidupan seperti ini tidak akan pernah berjalan dengan mudah, sekalipun dia menggunakan pola pikir gilanya untuk tetap menjadi waras.
“Tidurlah,” gumam Cuna sambil memelankan mobil mereka. “Setidaknya istirahatkan matamu dengan terus terpejam jika kau tak bisa benar-benar tidur, tenangkan pikiranmu juga.”
Gadis itu menghentikan mobilnya, lalu membangunkan Nira untuk bertukar tugas mengemudi. “Jika kau tahu cara bermeditasi, lakukan itu dan cobalah untuk tidur. Terjaga hanya memperlemah tubuhmu dan kau bisa menyusahkan orang lain nantinya.”
Jane terdiam mendengar hal itu, kini Nira sudah bangun dan berpindah untuk duduk di kursi kemudi sedangkan Cuna duduk di belakang Jane. Nira lalu melirik gadis yang sejak tadi duduk di kursi samping kemudi lalu mengangkat alis menatap Jane dengan heran, “Kau belum ada tidur?” tanyanya tak percaya.
Jane tersenyum tipis sambil memejamkan matanya, “Baru akan tidur,” balasnya santai.
Nira ingin membalas namun melihat Jane yang sudah bersiap untuk terlelap, gadis itu memilih membungkam diri, tak lagi bersuara. Dia lalu kembali menjalankan mobil sesuai dengan arahan yang Cuna berikan sebelum dia tidur.
Nyaris 6 jam tidur membuat isi kepalanya kembali tenang tanpa dia sadari, gadis itu lalu menatap sekelilingnya yang sunyi sedangkan embun kini benar-benar menutupi penglihatannya. Walaupun hanya mengandalkan penglihatan dan pendengaran yang minim, gadis itu berusaha untuk tetap berhari-hati melewati jalanan tersebut.
Cuna sebelumnya sudah bilang bahwa mereka telah masuk ke jalan raya sejak dua jam yang lalu dan kini pergi menuju ke Bandung, sesuai dengan apa yang dia jelaskan, gadis itu sejujurnya hanya perlu mengikuti jalanan raya ini saja dan perlahan mematikan lampu mobil jika dia mendengar sesuatu yang datang.
Nira menghela napas pelan setelah menyadari bahwa matahari kembali bersinar dan menghilangkan kumpulan embun yang sejak tadi menutupi penglihatannya. Dia menatap sekitarnya, memerhatikan bangunan rusak serta asap-asap yang memenuhi bangunan tersebut.
Tempat ini habis dilewati tornado, pikirnya tanpa sadar.
Gadis itu lalu mematikan lampu mobilnya, membiarkan sinar mentari menggantikan cahaya yang dia perlukan untuk tetap mengemudi, lalu kembali terfokus pada sekelilingnya.
Tempat itu lebih parah dibandingkan jalanan di luar hotel yang kemarin mereka lewati, banyak sekali mobil-mobil dan motor yang menghantam bangunan serta mayat-mayat tak terurus yang tertimbun di sekitarnya.
Kemana para tentara? Tak mungkin hanya kita yang selamat kan? Batinnya tanpa sadar.
Jika dipikir-pikir juga mereka memang tak ada bertemu dengan manusia lain yang sama warasnya seperti mereka, sejak kemarin mereka hanya bertemu dengan mahluk sejenis zombie ataupun mahluk yang memakan manusia.
Juga mahluk aneh bersayap? Nira menggelengkan kepalanya dengan keras ketika mengingat gambaran mahluk itu di kepalanya, “Tidak, itu pasti hanya imajinasiku saja!” cicitnya tanpa sadar.
“Kita akan menca—“
“AKH!” jeritnya kaget karena mendengar suara berat Wonu yang baru terbangun. Gadis itu melirik Wonu dengan cepat lalu kembali menatap ke depan, “Kau mengagetkanku sialan!” kesalnya hanya membuat Wonu terkekeh kecil.
“Di dekat sini ada minimarket seharusnya,” gumam pemuda itu pelan. “Kita akan berhenti di sana.”
Nira mengangguk pelan mendengar hal itu, setelahnya dia kembali melanjutkan perjalanan dengan arahan Wonu agar mereka bisa menghindari mahluk sejenis zombie ataupun mencari jalur tercepat untuk sampai ke minimarket tersebut.
Beberapa waktu setelahnya Cuna terbangun, sedangkan Jane masih terlelap di dalam tidurnya. Nira lalu dengan perlahan menghentikan mobil mereka tepat di depan minimarket, gadis itu lalu menoleh ke belakang memerhatikan Wonu dan Cuna yang sudah bersiap lengkap dengan tas yang mereka temukan di kursi belakang mobil tersebut.
“Aku dan Cuna akan memeriksa keadaan sekaligus mencari makanan yang bisa kita konsumsi,” gumam Wonu santai. “Kau tunggu sekitar 15-30 menit, dan jika kita tak memberikan tanda apapun, kau bisa masuk dan ikut mencari makanan yang bisa kita makan, bangunkan Jane juga. Kupikir tempat ini tak terlalu banyak mahluk aneh karena sejak tadi aku juga tak melihatnya.”
Nira mengangguk santai, “Tanda apa yang akan kalian berikan jika di dalam ada masalah?” tanya gadis itu mencoba memastikan.
“Pasti akan ada suara keributan,” balas Cuna santai. “Jika hal seperti itu terjadi, tetaplah di mobil dan bersiap untuk pergi. Kami akan segera keluar dan kita akan langsung meninggalkan tempat ini, namun jika suara keributan itu berakhir dan bukan kita yang keluar, apapun itu … kalian berdua harus pergi dari sini dan selamat.”
Setelah mengatakan pesannya pada Nira, mereka lalu dengan segera langsung pergi keluar dari mobil untuk menuju minimarket tersebut. Cuna menoleh kebelakang sejenak untuk melihat keadaan sekitar sekaligus menyaksikan matahari yang kini benar-benar sudah memperlihatkan bulatnya, sedangkan Wonu memilih masuk ke dalam minimarket tersebut.
Keduanya lalu terdiam setelah mereka masuk ke dalam minimarket itu. Tempat tersebut sedikit berantakkan namun mayoritas makanan dan minuman masih terlihat layak dan utuh. Pemuda itu lalu mengambil keranjang belajaan sambil menatap sekelilingnya, “Jadi apa kita akan mencoba seluruhnya untuk memastikan apa saja yang bisa kita makan?” tanyanya dibalas anggukkan pelan oleh Cuna.
“Air mineral dan roti tak bisa kita makan, jadi coba kelompokkan sesuatu sesuai dengan bahan dasarnya.”
Wonu terdiam sejenak mencoba mencerna kalimat tersebut sebelum akhirnya mengangguk santai, “Ok, aku akan mencari di dua rak sebelah kanan sedangkan kau dua rak sisanya?” ujarnya sambil menunjuk barisan rak-rak tersebut, Cuna mengangguk pelan membalas perintah tersebut.
“Siap!” balasnya cepat ketika Wonu menoleh menatapnya untuk meminta respon lebih.
Mereka lalu berjalan dengan cepat sambil mencoba berbagai makanan, sesuai dengan apa yang Cuna katakan. Wonu hanya perlu mencoba sesuatu sesuai dengan bahan dasarnya, dan jika rasanya sama seperti roti yang sebelumnya mereka makan, maka dia harus menghindari makanan dengan bahan dasar sejenis.
Dia tak memikirkan banyak hal, lebih tepatnya mungkin malas memikirkan hal-hal dibalik semua ini. Bahkan ketika dia tahu bahwa mereka tak bisa mengonsumsi roti dan air mineral, dia langsung menerima kenyataan itu dan mencoba untuk langsung melompat pada solusi setelahnya.
Pemuda itu menggeleng kecil setelah meludahkan berbagai jenis makanan seperti mie instan, nasi pada onigiri instan, buah-buahan, sampai ciki-ciki berbahan dasar kentang ataupun singkong. Dia menghela napas pelan, semua hal yang dia coba adalah makanan-makanan dasar yang biasa dikonsumsi manusia dan kini semuanya tak bisa dia konsumsi.
Air mineral pun tidak, teh ataupun jus juga terasa sangat menjijikkan di lidahnya.
Ini mengerikan, pikirnya tanpa sadar.
“Kau menemukan sesuatu?” tanyanya sedikit keras agar Cuna mendengar suaranya.
“Tidak!” balas gadis itu cepat.
Wonu kembali terdiam, tiba-tiba saja dia kembali teringat dengan ayahnya yang memakan ibunya sendiri dan itu malah membuat pikirannya melayang kemana-mana. Apa mungkin? Pemuda itu menggeleng dengan cepat mencoba mengabaikan teorinya sendiri.
Sekalipun itu benar, sepertinya dia takkan mau mencoba dan memilih untuk mati kelaparan. Membayangkannya saja sudah membuat perutnya mual sendiri.
“Wonu …” tegur seseorang sama sekali tak didengar oleh pemuda itu, “WONU!”
“HAH?! IYA?”
Cuna menghela napas pelan mendengar balasan kaget itu, “Aku mencoba kacang mete,” balas gadis itu sambil menghampiri Wonu dan memberikan kacang tersebut pada pemuda itu, “Cobalah.”
Wonu mengambil kacang tersebut dan menatap Cuna mencoba meyakinkan dirinya, namun melihat Cuna yang sedang mengunyah kacang tersebut tanpa membuat ekspresi aneh, dia jadi mulai mempercayai gadis itu.
Sampai akhirnya dia mencoba sendiri, dan membulatkan matanya tak percaya ketika menyadari bahwa kacang itu memiliki rasa yang sama seperti kacang pada umumnya, rasanya tak berubah menjadi menjijikkan seperti makanan yang dia coba sebelumnya. Senyuman pemuda itu merekah lebar tanpa sadar, “Ini bisa dimakan!” hebohnya membuat Cuna ingin terbahak.
“Ya, kupikir hanya itu yang bisa dimakan.” Gadis itu kembali berjalan mencari makanan lain, “Ayo kita kumpulkan segala hal yang berbahan dasar kacang,” lanjutnya langsung disetujui oleh Wonu dengan semangat.
Syukurlah.
.
.
.
Nira menatap sekilas Jane yang masih terlelap itu dalam diam. 15 menit lebih telat berlalu dan tak ada tanda apapun di dalam minimarket itu hingga dia mencoba menyimpulkan bahwa di dalam sana sudah aman, namun melihat Jane yang tidur dengan begitu lelap, dia malah tak tega membangunkan gadis itu.
Minimarket tersebut bersampingan langsung dengan satu ruto tutup sedangkan sisi lainnya terdapat gang kecil yang hanya bisa dilalui pejalan kaki. Matahari pagi sudah terbit sejak beberapa jam yang lalu, dan mungkin kini jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi.
Cuaca pagi itu terlihat bagus bagi Nira, dia mengecek sekitarnya sebelum benar-benar berani untuk membuka kaca mobil dan menjulurkan tangannya, mencoba menikmati sinar pagi yang mulai menyentuh permukaan lengannya.
“Jane …” gumamnya pelan mencoba membangunkan gadis di sampingnya itu. Mau bagaimanapun mereka harus bergegas masuk ke minimarket dan membantu kedua orang tersebut. “Jane!”
Gadis yang sejak tadi namanya dipanggil itu hanya menggeram pelan sambil merenggangkan tangannya, dia lalu membuka mata, dan melirik sekitarnya menyadari bahwa mobil mereka sudah berhenti.
“Ah … kita sudah sampai?” gumamnya setengah menguap.
Nira tersenyum tipis sambil mengangguk pelan, “Ya, ayo ke minimark—“ gadis itu terdiam ketika mendengar suara berisik dari samping bangunan minimarket itu.
“GAK MAU!! KAK!” teriakan itu semakin keras sedangkan Jane tak begitu mendengar karena belum benar-benar terbangun dari tidurnya.
“Tunggulah disini Jane, aku ingin melihat-lihat sebentar.”
Nira bergegas keluar sedangkan Jane hanya mengangguk kecil mendengar ucapan gadis itu. Dia lalu berjalan sedikit tergesa menuju gang kecil yang ada di samping minimarket tersebut, sebelum akhirnya membulatkan mata tak percaya ketika melihat pemandangan yang ada di sana.
Terlalu banyak mayat berserakan dengan bagian-bagian tubuh yang sudah menghilang, banyak bekas koyakan ataupun gigitan di tubuh-tubuh mayat tersebut membuat Nira menahan mualnya. Dia lalu terfokus pada anak kecil yang sedang berteriak dalam keadaan tertindih tubuh orang dewasa, kedua tangan anak kecil itu di tahan sedangkan kakinya di duduki oleh orang tersebut.
Dia menjerit keras dan terus menggelengkan kepala menolak daging yang sejak tadi ingin dijejalkan ke mulutnya oleh orang dewasa itu. Melihat hal tersebut, tanpa pikir panjang Nira dengan cepat mendorong orang tersebut dan menarik anak kecil itu untuk diselamatkan, dia menyembunyikan anak itu di belakang punggungnya sambil menatap takut sosok di hadapannya.
Pemuda itu memiliki taring tajam dengan daerah sekitar mulut yang sudah dipenuhi oleh darah, tangannya terlihat begitu kuat dengan urat-urat keras yang muncul di sekitar lengannya, salah satu matanya berwarna hijau gelap, sedangkan geraman tipis dari mulutnya membuat Nira sadar bahwa sosok itu bukanlah manusia lagi, walaupun dia juga tahu orang tersebut juga bukanlah mahluk sejenis zombie.
“APA MAKSUDMU?!” kesal Nira dengan suara bergetar tanpa sadar meneriaki orang tersebut, suara itu juga yang membuat kesadaran Jane kembali sepenuhnya dan membuat gadis itu langsung keluar dari mobilnya.
Pemuda yang sejak tadi memaksa adiknya memakan daging manusia itu melotot sambil menggeram kesal melihat Nira menghalangi kegiatannya, “Apa maksudmu?! Kau tak melihat berita huh?!” balas pemuda itu menatap Nira penuh emosi.
Dia kembali mencoba meraih adiknya itu namun Nira terus menghalanginya, “KEMBALIKAN! DIA ADIKKU! BIARKAN DIA HIDUP!” amuknya mencoba meraih tangan anak kecil itu.
Anak itu masih dengan ketakutan sembunyi di belakang Nira, memeluk gadis itu seakan sedang menyalurkan rasa takutnya pada sosok pemuda di hadapan mereka.
Di waktu yang bersamaan, Jane datang dan menahan tangan pemuda itu, dia lalu menoleh menatap Nira. “Bawa anak itu ke mobil dan beritahu Wonu serta Cuna …” dia lalu kembali menatap pemuda di hadapannya, “… di sini ada kanibal.”
“APA MAKSUDMU?!” kesal pemuda itu tak terima, sedangkan Nira memilih untuk membawa pergi anak kecil itu bersamanya. “KAU BODOH HUH?!” amuknya pada Jane dan mencoba mengejar Nira, namun Jane yang ada di hadapannya dengan cepat langsung menendang perutnya.
Nira menatap panik anak itu dan membawanya masuk ke dalam mobil, dia lalu menghapus noda-noda bekas darah di sekitar mulut anak tersebut sebelum akhirnya menutup mobil tersebut dan beranjak pergi. “Kau tunggulah disini, aku akan mencari bantuan!” perintahnya pada anak tersebut.
Dia lalu pergi memasuki minimarket tersebut, dan mencari keberadaan Cuna serta Wonu masih dengan gelagat paniknya. “WONU! CUNA! KALIAN DI SINI?!” teriaknya mencoba memastikan.
“Ke—“
“ADA KANIBAL! JANE SEDANG MENAHANNYA! CEPATLAH!”
Setelah memasukan anak kecil itu ke dalam mobil, Nira dengan panik langsung berlari ke dalam minimarket dan memanggil kedua orang itu, setelahnya kembali berlari untuk menghampiri Jane. Tepat di waktu ketika Nira membawa anak itu pergi, Jane dengan sekuat tenaga mencoba mencari cara agar dia tetap bisa menahan pemuda itu di hadapannya. “KAU BODOH HUH?!” kesal pemuda itu mencoba mengejar anak kecil yang Nira bawa namun Jane dengan cepat menendangnya hingga ambruk, pemuda itu menggeram kesal menatap Jane. “Kau yang bodoh! Apa maksudmu ingin membuat adikmu hidup dengan memakan daging manusia?!” “Itu satu-satunya cara agar kita semua bisa bertahan! Kau tak tahu apapun huh?!” kesalnya bangkit berdiri, mencoba menyerang Jane namun gadis itu dengan sigap menahan serangannya. “Hanya dengan memakan sesama kita bisa hidup! Mereka telah merubah berbagai indra di tubuh kita!” Jane menatap pemuda itu tak paham, “Mereka siapa?!” “WRENA! KAU
Cuaca pagi hari menjelang siang itu sangatlah sejuk, Wonu bahkan sempat berkata bahwa ini pertamakalinya Jakarta memiliki cuaca sesejuk ini, bahkan jauh lebih sejuk dibandingkan Bandung. Walaupun upayanya membuka topik tetaplah gagal karena Jane sama sekali tak bersuara sedangkan Cuna kini sibuk menghabiskan susu kedelai untuk terus dia konsumsi. Setelah pernyataan Cuna bahwa dia merasa ingin terus mencoba menyantap manusia, gadis itu juga dengan cepat mengambil susu kedelai dan beberapa kacang untuk dia konsumsi. Dia dengan cepat membuat Jane tenang karena dia yakin gadis itu sudah cukup frustasi atas kematian Nira dan pembunuhan yang baru saja dia lakukan. Wonu juga tak ingin membahas lebih perihal apa yang baru saja mereka lewati karena dia tahu bahwa Jane masih sangatlah terluka akan hal itu. Dia tahu bahwa gadis itu memerlukan waktu untuk meluruskan isi pikirannya seperti saat dia pertama kali membunuh ayahnya sendiri. Pemuda itu malah tak begitu mengerti mengap
Tak perlu waktu lama bagi mereka untuk sampai ke Bandung, rest area sebelumnya sudah membawa mereka pergi cukup jauh dari Jakarta dan kini mereka akhirnya sampai ke pembuka jalanan yang mulai memperlihatkan beberapa bangunan –tanda bahwa mereka sudah dekat dengan kota itu. Ketiganya terdiam, masih tak yakin dengan apa yang mereka lihat bersama, entah itu adalah kenyataan atau mereka hanya sedang berhalusinasi. “Apa … itu salju?” buka Jane pada akhirnya menyuarakan keraguannya sendiri. Wonu yang sejak tadi memegang kendali kemudi masih tak menjawab, cukup tak percaya dengan apa yang Jane katakan sekalipun dia juga melihatnya. Kumpulan salju itu turun dengan pelan layaknya sebuah kapas-kapas kecil yang berjatuhan. Perlahan juga jalanan yang mereka lewati mulai memperlihatkan tumpukkan-tumpukkan salju yang memenuhi pinggiran jalan dan bangunan. “Apa benar salju?” balas Wonu ikut bertanya. Cuna yang duduk di belakang masih terdia
“Masih lama?” tanya Jane ragu. Ini sudah dua jam berlalu semenjak mereka keluar dari mall dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke kota selanjutnya. Wonu sama sekali tak membalas pertanyaan Jane, dia yakin bahwa dia tidak tersesat mengingat bahwa pemuda itu sangat suka berpergian keluar kota sejak dia SMA, namun semua ini terasa begitu aneh. Hari sudah mulai sore dan matahari seakan terasa lebih cepat ketika hendak ternggelam. Pemuda itu hanya menatap sekelilingnya, dia tak merasa mereka melewati jalan yang sama, namun disisi lain juga, dia merasa bahwa mereka sejak tadi hanya berputar-putar saja. Di kursi belakang, Cuna menatap ke luar jendela memerhatikan bangunan tua yang memiliki patung gurita besar di atapnya. Dia tak begitu yakin, namun rasanya mereka sejak tadi hanya memutari pusat bangunan itu sejak dua jam yang lalu. “Rumah Gurita itu, bangunan lama ya?” tanya Cuna mengalihkan perhatian Jane dan Wonu yang sejak tadi sibuk dengan pikiran
Setelah kepergian Cuna menuju rumah gurita itu, Jane dan Wonu benar-benar disibukkan dengan berbagai tornado yang muncul di banyak tempat. Jane bertugas untuk melihat segala bahaya di berbagai arah, sedangkan Wonu terfokus pada kendali mobil agar mereka bisa terus melarikan diri. “Lebih baik menjadi Wrena dibandingkan Pati, sumpah!” kesal Wonu tanpa sadar. “Kita bisa saling gigit jika ingin menjadi wrena,” balas Jane masih dengan raut wajah seriusnya. Wonu terkekeh pelan mendengar hal itu, mereka lantas memutar haluan menyadari ada pusaran angin yang perlahan mulai membentuk tornado di hadapan mereka. “Pati!” jerit Jane cepat namun Wonu sama sekali tak menahan diri untuk menabrak sekumpulan manusia tak berjiwa itu. Apapun itu mereka harus selamat, lagi pula Pati takkan berbahaya selama mereka tak tiba-tiba menyerang Wonu dan Jane menggunakan tangan tajam mereka. “Arah jam 2, kosong!” ucap Jane cepat membuat Wonu kembali membanting stir.
Ketika kau terbiasa menikmati film ataupun cerita-cerita bertema horror maupun thriller, kau mungkin sudah sangat terbiasa dengan berbagai adegan sadis yang ada di dalam sana. Tak peduli seberapa menyeramkan rupa para mahluk yang datang, tak peduli seberapa sadis adegan yang sedang berputar, kau akan tetap menganggap itu hal biasa ―atau mungkin menyenangkan― karena kau tahu bahwa semua itu tak nyata, dan itu takkan membuatmu benar-benar ketakutan. Namun saat adegan itu berada di depan matamu. Ketika kau bisa mendengar suara jeritan itu dengan jelas, ketika kau bisa melihat sendiri bagaimana tubuh itu diremas, dirobek menjadi dua bagian, dikoyak, dan dihancurkan. Ketika kau benar-benar bisa melihat bagaimana rupa mengerikan itu sedang menyeringai saat menikmati daging segarnya, ketika kau dapat melihat dengan jelas bagaimana tangan itu habis tertelan masuk ke dalam mulutnya. Kau mungkin akan mendapatkan rasa baru yang berbeda, reaksi tubuhmu menunjukkan bahwa
“PORTAL HITAM ITU DATANG! CEPAT KE MOBIL!” teriak Cuna keras bersamaan dengan sosok siren raksasa yang kini muncul tepat di belakangnya. Ketiganya langsung berlari kencang menuju mobil yang ada di tengah atap gedung tersebut, namun ketika sebuah helaian rambut yang menajam itu menghantam mobil tersebut hingga hancur, Cuna dan Wonu tanpa sadar langsung terdiam. Sedangkan Jane yang nyaris saja sampai ke mobil itu langsung melompat menjauh untuk menghindari sisa-sisa bagian mobil yang terhempas itu. Cuna yang berdiri paling dekat dengan posisi siren raksasa itu sama sekali tak berani menoleh ke belakang, sedangkan Wonu yang berdiri jauh di hadapannya kini bisa melihat dengan jelas sosok siren tersebut. Pijakannya terasa melemah. Dewiana Surya, siren berukuran raksasa yang berada tepat di belakang Cuna itu terlihat mengerikan. Mahluk itu meletakkan satu tangannya pada rooftop bangunan, sedangkan tangan lainnya dia gunakan untuk menyangga daguny
Keraton Yogyakarta rata dengan tanah. Dua pohon beringin yang berada di tengah alun-alun kini telah rubuh dan memutuskan pintu dimensi menuju pusat kerajaan milik Sang Ratu di Pantai Selatan. Semua prajurit yang dikerakan sudah jatuh tanpa bisa berperang lebih lama, segala cara mereka lakukan untuk tetap bertahan hidup, namun para iblis yang datang secara tiba-tiba sama sekali tak memberi mereka ampun. Kota itu tak bisa kembali berdiri dengan megah. Banyak yang berharap bahwa Ratu akan datang mengingat bahwa mereka telah begitu setia mengabdi pada Sang Pemilik Tanah Jawa, semua orang beranggapan bahwa Ratu akan datang menolong mereka, atau setidaknya membiarkan orang-orang penting yang selama ini memiliki tahta tetap hidup. Mereka berharap bahwa setidaknya segala hal yang selama berabad-abad ini mereka jaga, tetap memiliki sisa dan tak hancur dengan sia-sia. Namun harapan tetaplah sebuah harapan. Tak ada keajaiban di dalam sebuah harap